Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta cocok dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya tanpa
didasarkan pada keterangan yang benar menurut syari ’at Islam. Mereka sering berdalil bahwa suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi itu) masih belum disepakati para ulama, oleh karenanya mereka tidak
dapat disalahkan secara mutlak.
Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para ulama, tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan
hawa nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan syariat dan mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya :
Dalam QS Shad : 26 : “..dan janganlah kamu mengikuti hawa (nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.
Dalam QS An-Nisa : 135 : “...maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala ap yang kamu kerjakan”
Dalam QS Al-Jatsiyah : 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu diatas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang dzalim”.
Dalam QS Al-Furqan : 43-44 : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. Atau, apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternah, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)”.
Dalam QS Al-Maidah : 70 : “Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak di-ingini oleh hawa nafsunya, maka sebagian dari para Rasul itu mereka dustakan dan sebagiannya lagi
mereka bunuh “.
Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim (pandai) diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya). Dia berfirman dalam QS Al-A’raf : 176 :
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah..”.
Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang sering mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas kita mengetahui secara pasti bahwa tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan suatu masalah agama
tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya terhadap suatu masalah tersebut.
Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap mujtahid
(orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti) pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab imam
(mujtahid) nya.
Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah,
atau mengambil yang paling mudah dan ringan saja.
Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini berkata kepada Rasulallah saw. : Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti itulah (urusan duniawi)
Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah berdasarkan hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau,
mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.
Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt.,
umpamanya:
a) Orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya.
b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan
tanah (tayammum) sebagai ganti air. Dengan demikian, hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari yang paling
mudah atau paling ringan menurut pikirannya dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.
Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh Al-
Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu ’ah . Dia menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (dibuat-buat). Juga hadits yang lain: Sesungguhnya
Allah menyukai untuk diterima rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya.
Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk menggunakan hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih, kita
tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang ber- tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan
bolehnya berbuka puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, (dan tidak sama maksudnya dengan bolehnya atau rukhsah/ samahat tentang qashar/penyingkatan sholat wajib bila dalam
perjalanan,-- pen.) .
Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam
masalah yang lain.
Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan
pendapat kita. Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar, asalkan
pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijma ’ (kesepakatan) kebanyakan ulama.
Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai hal-hal yang semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah,
harus kita jauhi. Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap dirinya seorang mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan
dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang memperlihatkan keberaniannya/ tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya
sebagai seorang reformer (pembaharu) atau juga sebagai seorang innovator (seorang ahli pikir), padahal sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa.
Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini, tidak perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan
sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan.
Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap mujtahid
(orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti) pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab imam (mujtahid) nya.
Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas ini :
1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy ; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah
padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.
2. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil)
semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya, atau
antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban )”.
Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I :46.
3. ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan : “...maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada
dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatiby kata-kata tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa
dalil syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un : 5 ;
‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat’.
4. Al-Hafidh Al-Dzhaby dalam Sayr A’lam Al-Nubala’ mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti ini
juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam hal ghina
(lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”.
Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan
lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).
5. Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa nya I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya),
karena dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan
mengikuti dari satu madzhab yang sesuai dengan pilihannya.
Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali
Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”.
Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali. Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan
dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada
dosanya.
(Syeikh Hasan bin Ali As-Saqaf dalam Kitab Shahih Shifat Shalat An-Nabiy Min At-Takbir Ila At-Taslim Ka'annaka Tanzhur Ilaiha )
Previous
Posting Lebih BaruNext
Posting Lama.
PALING DIMINATI
-
-- Oleh : Ust. Masaji Antoro (Admin) 1. Wiridan wanita hamil رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ [الفرق...
-
Beberapa tahun yang lalu setelah beredar buku MANTAN KIAI NU MENGGUGAT, terdapat sebuah buku baru hasil kajian generasi NU untuk membuongkar...
-
Menurut fatwa seorang Ulama besar : Asy-Syekh Al Hafidz As-Suyuthi menerangkan bahwa mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, deng...
-
-- Tradisi yang berkembang dikalangan NU, jika ada orang yang meningal, maka akan diadakan acara tahlilan, do’a, dzikir fida dan lain seba...
-
Kumpulan khutbah dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia lengkap bisa anda dowload disini (24 mb) .... atau di sini juga bisa .... Khutbah N...
-
PERTANYAAN : Assalamu'a laikum sedulur... .... mau tanya tentang syarat menjadi khatib (terutama pada shalat jum'at...
-
PERTANYAAN Puasa mutih, Puasa ngrowot,Puasa patigeni, boleh apa tidak?? Apakah tidak termasuk wishol yang dilarang? JAWABAN Setiap ...
-
Hari Selasa, 11 Jumada Al-Tsaniya h 1235 H atau 1820 M. ‘Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan...
-
Banyak orang salah mengartikan makna hadits berikut ini, dengan adanya salah penafsiran tersebut mereka mudah meng haramkan atau mensesatkan...
-
Para Saudara kita dari qabilah Ba'alawy masyhur meyakini bahwasanya para Walisongo adalah saheh sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari...