Kalau kita perhatikan asma'ul husna, terdapat nama Allah yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama, yaitu Allah Maha Adil, yang pertama al 'Adl dan yang kedua al Muqsith. Sepintas orang-orang tidak ambil pusing terhadap kedua kata tersebut, yang jelas bagi mereka Allah berkeadilan. Allah menegaskan dalam kitabNya, bahwa Dia adalah yang paling berkeadilan, bahkan dipertegas dengan bersaksi atas sifat adilNya tersebut. "Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Dia yang menegakkan keadilan. Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS 3:18) Kalimat qa'iman bi al-qisth merupakan kesaksian tentang keadilan perbuatanNya setelah sebelumnya menegaskan kesaksian atas keesaan ZatNya.
Dengan demikian Allah ingin menegaskan bahwa sifat keesaanNya tidaklah membawa dia berbuat otoriter, semau gue, tetapi keesaan tersebut dibarengi dengan sifat adil sehingga tidak ada ciptaanNya yang merasa dizalimi oleh Allah. Lantas apa yang membedakan al-qisth dengan al 'adl? Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan/membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.
Jika demikian, al-qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak, misalnya apa yang kita lihat di pengadilan, yang teraniaya mendapat keadilan dengan dijatuhkannya sangsi terhadap orang yang menganiaya, sedangkan yang menganiaya mendapat sesusahan (karena dipenjara misalnya). al Qisth adalah adil tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Allah menetapkan neraca dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil adl.
Coba kita perhatikan, ada orang yang diberi limpahan materi, tetapi tidak diberikan ketenangan bathin, jika si Ali diberi potensi A, maka si Husein diberi potensi B. Dalam menetapkan kewajiban demikian juga (dan dalam semua hal). Akhirnya, bila kita mengalami hidup dalam kesulitan, selalu melarat, sedangkan orang lain hidupnya adem ayem, tentrem kerta raharja, jangan buru-buru menilai Allah tidak adil, tapi selidikilah anugerah apa yang diberikan Allah kepada kita yang tidak diberikan kepada orang yang kaya.
Yakinlah Allah maha adil dan membuat senang semua orang, hanya kita yang tidak jeli terhadap anugerah Allah. Dahulu saya merasakan kondisi yang teraniaya, dimana kemampuan saya tidak dimanfaatkan bahkan ditempatkan dalam posisi yang tidak membutuhkan keterampilan, tetapi ternyata Allah memberikan anugerah yang orang lain belum tentu mendapat kesempatan yaitu kesempatan saya menghafal al Quran dan menelaah ilmu-ilmu yang lama saya tinggalkan di rak-rak buku saya (karena kesibukan pekerjaan).
Wallahu a'lam. Griya Bandung Indah, Bandung 5 Nopember 2009
Al Hikam K.H. Imron Jamil (jombang)
