Istilah akidah terambil dari bahasa Arab ‘aqîdah yang sepadan maknanya dengan keyakinan. Ia adalah unsur yang paling esensial dalam ajaran Islam. Hal ini karena akidah meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim. Dalam al-Quran, akidah dibahasakan dengan iman.
Kata akidah merupakan derivasi (musytaq) dari aqada-ya‘qidu, yang berarti menyimpulkan atau mengikatkan tali dan mengadakan perjanjian. Dari kata ini kemudian muncul I‘taqada-ya‘taqidu dan I‘tiqâd, yang berarti mempercayai, meyakini, dan keyakinan. Kata I‘tiqâd sama artinya dengan iktikad dalam bahasa Indonesia. Menurut Jamil Shaliba (seorang ahli bahasa Arab Suriah) dalam bukunya Al-Mu‘jam al-Falsafah, kata akidah sepadan dengan kata-kata “dogma” dalam bahasa Inggris dan Latin.[1]
Kedudukan akidah sebagai sesuatu yang esensial harus mendapat dukungan dari dua unsur lainya, syariat dan akhlaq. Ketiga hal inilah kemudian dikenal dengan trilogi ajaran Islam. Ketiganya memiliki kekhususan masing-masing. Akidah berkaitan dengan hati, syariat berhubungan dengan ritual dan tatanan kehidupan manusia, dengan lebih menekankan aspek eksoteris (lahiriyah).[2] Sedangkan akhlak adalah aspek yang berkaitan erat dengan persoalan etika, moral, dan pergaulan hidup.[3] Keterkaitan antar ketiganya tidak dapat dipisahkan; akidah adalah pokok (fondasi), syariat menjadi cabang (bangunan), sedangkan akhlak ibarat atapnya. Syariat dan akhlak harus berdasarkan akidah yang kuat dan kokoh.
Dari trilogi ajaran Islam yang ada, akidah merupakan elemen yang harus lebih dahulu ditanamkan dalam hati dan dimiliki oleh seseorang. Penanaman akidah adalah langkah pertama yang dilakukan RasululLah Saw. dan setiap utusan Allah Swt saat menyebarkan ajarannya. Sementara permasalahan yang berhubungan dengan amaliah (syari’at), baru diwajibkan kepada umat ketika mereka telah memiliki akidah yang kokoh. Zakat, umpamanya, diwajibkan setelah Nabi Saw. berada di Madinah. Sebagai sesuatu yang diprioritas, akidah tidak hanya harus tertanam dalam hati, lebih dari itu ia juga harus benar dan tulus, tanpa keraguan sedikitpun. Dengan demikian seseorang akan memperoleh kebenaran dan kesempurnaan akidah ketika keyakinan yang ia anut sesuai dengan yang telah digariskan oleh al-Quran dan Sunnah.
Menurut Muhammad Abduh, ilmu Tauhid adalah bidang ilmu pengetahuan yang membahas tentang wujud Allah Swt, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat yang boleh dilekatkan pada-Nya, dan sifat yang harus dinafikan dari-Nya, juga tentang para rasul, hal-hal yang wajib pada diri mereka, hal-hal yang boleh dikaitkan (dinisbatkan) kepada mereka serta hal-hal yang dilarang untuk dihubungkan pada mereka,4 melalui dalil-dalil qath’i dan rasional. Sementara definisi yang paling umum tentang ilmu Tauhid adalah definisi yang dirumuskan oleh Sayid Husayn Afandi, bahwa ia adalah sebuah bidang pengetahuan yang mengupas beberapa ketentuan akidah-akidah agama berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.5
Seperti kata iktikad, kata-kata tauhid juga merupakan derivasi dari bahasa Arab wahhada yang bermakna meng-Esakan (jawa: nyuwijieaken). Bertauhid berarti meyakini ke-Esaan Allah Swt. dan tidak ada sekutu bagi-Nya.6 Sehingga wajar bila kata tauhid kemudian dijadikan istilah bagi ilmu yang menjelaskan wujud dan keesaan-Nya, dengan mengambil bagian utama dalam pembahasan ilmu ini, yaitu menetapkan keesaan Allah Swt. dari segi Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pekerjaan-Nya seperti dalam penciptaan bangunan kosmologis (alam raya), disamping hanya Allah-lah tempat kembali seluruh alam raya.7
Menurut Imam Ghazali, pada dasarnya segala bentuk ilmu pengetahuan kembali pada dua bidang: ilmu pengetahuan agama (syar‘iyyah) dan ilmu pengetahuan rasional (‘aqliyyah), Dalam bidang ilmu pengetahuan agama terdapat ilmu-ilmu yang bersifat ushûl (induk) dan furû’ (cabang). Ilmu tauhid8 merupakan ilmu yang disebut Ushûl al-Dîn (pokok-pokok agama). Artinya, disiplin ilmu tauhid adalah disiplin ilmu pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran agama.9 Karenanya, buku-buku yang membahas masalah akidah disebut kitab Ushûl al-Dîn.
Dalam perkembangannya, di antara ulama terjadi beda pendapat yang memunculkan perdebatan terus menerus seputar pembahasan ilmu tauhid atau ilmu Ushûl- Dîn yang hal itu sering disebut ber-kalâm. Para ulama yang terlibat dalam aktifitas ber-kalâm, yang membahas dan berdebat mengenai bidang tersebut, akhirnya populer dengan sebutan mutakallim (ahli Ilmu kalâm; debat). Pada kenyataannya, masih menurut imam al-Ghazali, bidang yang membahas masalah-masalah akidah lebih populer dengan sebutan Ilmu Kalâm daripada Ilmu Tauhid.10
Ilmu tauhid terkadang disebut ilmu kalâm. Penamaan ini, menurut Muhammad Abduh berdasar beberapa alasan. Pertama, perselisihan ulama-ulama periode awal (salaf) terutama seputar permasalahan al-Quran, apakah ia ciptaan yang hâdits (baru), atau qadîm (dahulu). Kedua, teori mengenai ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari penalaran rasio (‘aqliy). Sangat jarang sekali bahasan tersebut merujuk pada teks-teks wahyu (baca: naqliy). Dan kalaupun ada, hal itu setelah melalui penalaran yang tajam. Ketiga, karena metodologi Ushûl al-Dîn hampir sama dengan aturan-aturan dalam bidang ilmu logika (manthiq) dari segi kupasan premis-premis pemikirannya. Kemudian singgungan ilmu logika dalam bidang ini dialihbahasakan menjadi kalâm, agar dapat dibedakan antara disiplin Ilmu Tauhid dan Ilmu Logika.11
Dengan motif tersebut, ulama mendefinisikan kembali pengertian Ilmu Kalâm. Secara etimologi, kalâm berarti pembicaraan sama dengan logos dalam bahasa Yunani. Tetapi sebagai istilah, kalâm yang dimaksud di sini bukanlah pembicaraan dalam pengertian sehari-hari, melainkan pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Ciri-ciri utama kalâm adalah rasionalitas atau logika yang merupakan derivasi dari logos.
Namun Menurut Ibn Khaldun, definisi kalâm tidak sesempit itu. Menurutnya Ilmu Kalâm adalah ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis untuk mempertahankan akidah dan keimanan untuk menolak akidah sesat (bid’ah) yang menyimpang dari keyakinan yang dianut kaum salaf. Pada hakikatnya Ilmu Kalâm sama dengan Ilmu Tauhid ditinjau dari segi bahasan akidah ketuhanan yang benar.12 Hanya saja, Ilmu Kalâm sedikit lebih luas dengan penggunaan bukti-bukti rasional.
Oleh Syekh Ibrahim al-Baijuri, Ilmu Kalâm diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang bermaterikan pendapat-pendapat para ulama yang diwarnai kontroversi, uji kebenaran dialektis (Arab: jidâl), yang pada akhirnya memunculkan (pembahasan) pembelaan dan penetapan kebenaran dengan cara mengalahkan pendapat lawan. Dalam proses penetapan kebenaran inilah diperlukan bahasan kritis dan tajam, tidak sepihak serta perbandingan dari dua sisi yang berbeda (berlawanan). Karena itu tak mengherankan kalau ilmu kalâm banyak diwarnai perbedaan (kontroversi) dan pertentangan (sikap pro dan kontra), mengenai isi, metodologi, maupun klaim-klaimnya. Dengan demikian, disiplin ilmu kalâm sangat membutuhkan uraian panjang (berkalâm), mencantumkan pendapat lain sekaligus mengetahui sisi kekeliruan dan kesalahannya untuk kemudian menunjukkan satu titik kebenaran.
Ilmu Kalâm memiliki arti yang sangat penting dalam hirarki ilmu keislaman. Karena ia termasuk bidang pengetahuan yang pertama kali harus dipelajari, setelah lebih dulu ber-akidah dengan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt (lâ ilâha illaLah). Pernyataan ini menunjukan bahwa Allah Maha Esa, tidak bersekutu dan tidak boleh disekutukan dengan yang lain. Hanya satu-satunya Allah Swt. yang patut dan berhak disembah.13 Hal ini akan melahirkan keyakinan yang mengakui wujud Allah Swt, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, dan kekuasan-Nya. Pokok akidah ini mencakup kepercayaan dan keyakinan yang lain. Seperti percaya kepada malaikat-malaikat-Nya, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kebangkitan dan ketentuan serta takdir-Nya.
Akidah (baca: pengakuan dan keyakinan) yang dimaksud tidak cukup hanya dengan hati, melainkan harus disertai dengan pernyataan yang keluar dari bibir. Atau dengan kata lain seseorang harus dengan tulus dan jujur mengucapkan dua kalimat syahadah (syahadatayn), Syahadah Tauhid dan Syahadah Rasul. Pernyataan inilah yang menetapkan kebenaran akidah seseorang.
Dalam menetapkan ke-tauhid-an, terdapat lima pokok yang harus diyakini, 1). Meniscayakan wujud Allah Swt. agar tidak terjebak dalam ateistik. 2). Mengesakan Allah Swt. agar terbebas dari politeisme (syirik). 3). Mensucikan Allah Swt. dari hal-hal yang berbentuk (Arab: Jawhar) dan karakteristik makhluk (Arab: ‘irdh), untuk menghindari peneyerupaan dengan ciptaan-Nya. 4). Mengakui bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah Swt. atas dasar kuasa dan wewenang-Nya, untuk menghindari kepercayaan terhadap ‘illat (memediasi) dan ma‘lul. (obyeknya). 5). Mengakui Allah Swt. sebagai Pengatur alam raya, tanpa didasari thabi‘ah (naturalisme), bintang-bintang atau kontrol Malaikat.
SIGNIFIKANSI STUDI ILMU TAUHID.
Ilmu Tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan dan kepercayaan agama melalui akal pikiran, disamping ketetapan hati yang berdasar wahyu. Selain itu, ilmu Tauhid juga digunakan untuk membela keyakinan dan keimanan dengan menghilangkan berbagai keraguan yang melekat atau sengaja ’dilekatkan’ oleh lawan-lawan kepercayaan itu. Dengan kata lain, ilmu Tauhid bertujuan untuk mengangkat keimanan seseorang dari tingkatan taqlid (mengikuti tanpa berdasarkan dalil) menuju puncak keyakinan. Itulah sebabnya ilmu Tauhid dianggap sebagai induk ilmu-ilmu agama. Ibarat pohon yang menghasilkan buah, demikianlah ilmu tauhid. Buah yang diperoleh dari mempelajari ilmu Tauhid ialah mengetahui hakikat sifat-sifat Allah Swt. dan para utusan-Nya berdasarkan bukti-bukti demonstratif (Arab: burhân). Karena dengan cara itulah kebahagian abadi akan didapatkan.14
Tujuan utama studi Tauhid adalah menggapai keteguhan iman melalui penalaran rasional. Ulama ahli kalâm (mutakallimin) berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari hal-hal seputar akidah (baca; Ilmu Kalâm). Sebagian ulama berpendapat, bahwa mempelajari Ilmu Kalâm tidak menjadi syarat bagi keimanan seseorang dan hal itu bukan merupakan sebuah keharusan. Namun ia adalah penyempurna keimanan. Sementara mayoritas teolog mengatakan bahwa berpikir dan memahami akidah melalui penalaran akal termasuk syarat dalam sahnya keimanan seseorang. Dalam arti, keimanan yang benar harus muncul dari buah pikiran seseorang.15
Dalam kenyataannya, beriman kepada wujud Allah Swt. dan kebenaran Nabi Muhammad Saw. bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan secara logis melalui penalaran rasional, melainkan Ia adalah sebuah postulat (dalil; landasan berpikir) yang harus dibuktikan (ejawantah) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kitab ’al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd’, imam Ghazali menguraikan bahwa bagi orang yang beriman kepada Allah Swt., membenarkan Nabi Muhammad Saw, meyakini kebenaran dan merasa tenang dalam beribadah dan aktifitas harian, sebaiknya tidak meninggalkan iman dan keyakinannya dengan tidak menggerakan akidah (hati)nya untuk mempelajari lebih dalam tentang ilmu Kalâm (Tauhid).16
Dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rasional yang berbeda pada setiap orang dan memandang tujuan memahami ilmu Tauhid adalah peneguhan terhadap akidah, maka dalam tataran praktisnya harus dibedakan antara satu manusia dan manusia yang lain dalam hal kewajiban mempelajari ilmu kalâm, sesuai dengan kapasitas berpikir rasional dan kemantapan hatinya. Wajar bila kemudian imam Ghazali membagi pembaca dalam memahami karya-karyanya, walaupun di sisi yang berbeda ia mengakui pentingnya mempelajari ilmu tauhid (baca; ilmu kalâm). Setiap orang berkewajiban memahaminya dengan sungguh-sungguh. Karena tujuan ilmu Tauhid—dengan penggunaan argumentasi demonstratif (burhan)—tidak lain adalah untuk meneguhkan keimanan terhadap wujud Allah swt., sifat-sifat dan tindakan-Nya, dan kebenaran berita para rasul.17
Dalam usaha mencapai keteguhan akidah, mempelajari Ilmu Tauhid adalah suatu keharusan, akan tetapi mempelajarinya secara mendalam terkadang menyebabkan keraguan dalam hati. Dalam konsep tauhidnya, al-Ghazali mengungkapkan bahwa dibalik keyakinan seseorang terdapat dua tahapan untuk mencapai keteguhan dan kesempurnaan akidah. Pertama, mengenali dan mengetahui dalil-dalil akidah dengan jelas tanpa harus menyelami rahasia-rahasianya. Kedua, mengenali dan mengetahui dalil-dalil serta rahasia-rahasianya. Kedua tahap tersebut bukan menjadi sesuatu yang harus ditekuni kaum awam. Dalam arti, keselamatan mereka di akhirat tidak bergantung pada dua tahap itu. Menurut al-Ghazali, kaum awam yang beriman akan mendapatkan keselamatan dari api neraka di akhirat kelak sekalipun mereka tidak menggunakan penalaran rasional dalam mencapai keteguhan iman. Keselamatan dan kemenangan adalah perolehan anugerah nikmat yang mendalam. Sementara kebahagiaan adalah perolehan nikmat paripurna.18
Dengan demikian memahami dalil akidah—secara garis besar—adalah kewajiban setiap muslim, dan setiap muslim tidak boleh menghindar dari kewajiban untuk mengetahui dalil keyakinan religiusnya. Sedangkan mempelajari dalil-dalil akidah secara terperinci merupakan kewajiban kolektif(fardlu kifâyah). Pengetahuan dalil secara terperinci merupakan kewajiban kolektif karena dengan memahaminya, penyimpangan (syubhah) ajaran dapat dihilangkan, sekaligus dapat meyakinkan para pencari kebenaran. Inilah signifikansi memahami Ilmu Tauhid.19
Selanjutnya yang perlu dipahami lagi adalah bahwa ilmu Tauhid harus dibedakan dari Filsafat. Kebanyakan ulama ahli kalâm (mutakallimin) menyimpulkan eksistensi dan sifat-sifat Sang Pencipta dari kosmos dan kondisi yang mengitarinya. Begitulah argumentasi mereka pada umumnya, demikian ungkap Ibnu Khaldun. Fisika adalah bagian dari wujud kosmos dan hal itu merupakan objek studi fisika para filosof. Namun, studi seorang filosof berbeda dengan studi ulama mutakallim. Filosof mempelajari tubuh-tubuh dari segi gerak dan diamnya, sedangkan para mutakallim, mempelajarinya dari segi sejauh mana benda-benda fisik itu berlaku sebagai argumen bagi wujudnya Sang Pencipta. Demikian pula studi filosof atas metafisika yang mempelajari eksistensi dan yang berkaitan dengannya. Sebaliknya, studi para mutakallim terhadap metafisika adalah mengenai existentia (keberadaan kosmologis), sejauh mana itu berlaku sebagai argumen bagi Dia yang mencipta.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tauhid adalah menjawab berbagai persoalan tentang akidah dan keimanan yang telah dinyatakan kebenarannya oleh hukum agama, dengan menggunakan argumentasi logis, sehingga bid’ah dan penyimpangan dapat dilenyapkan dan keragu-raguan serta kesalahpahaman mengenai pokok-pokok keimanan dapat diluruskan.
KEDUDUKAN ILMU TAUHID
Sebagai salah satu studi pemikiran keislaman. Ilmu Tauhid, ilmu ‘Aqâ’id (ilmu akidah-akidah, yakni simpul-simpul [kepercayaan]) atau Ushûl al-Dîn (pokok-pokok agama), memiliki posisi terhormat dalam tradisi keislaman. Hal ini karena Ilmu Tauhid adalah tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran Islam, yaitu simpul-simpul keimanan, ke-mahaesa-an Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Di Indonesia, terutama dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Tauhid merupakan suatu hal yang tidak mungkin ditinggalkan.
Dalam realitas sejarah, banyak dari ulama salaf yang menekuni, mendalami, dan mengkaji Ilmu Tauhid. Pada masa lalu intensitas mereka terhadap studi Ilmu tauhid sebatas memahami untuk ’kebutuhan’ pribadi, tidak mengejawantah dalam bentuk karya tulis untuk disampaikan kepada orang lain, karena kebutuhan sosial akan diskursus Ilmu Tauhid pada masa itu masih sangat minim. Kondisinya kemudian berubah pada masa setelahnya, ketika religiusitas sosial berubah dan keadaan masyarakat berbeda-beda, sehingga karya-karya tentang studi Ilmu Tauhid dirasa sangat perlu.
Imam Syafi’i sebagai seorang mujtahid yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mendalami kajian fiqh, memberikan apresiasinya terhadap Ilmu Tauhid dengan berkata bahwa dirinya menyukai Ilmu ini. Yang tidak ia sukai bukan Ilmu Tauhid, tapi perdebatan yang berdasar nalar semata yang dilakukan oleh aliran-aliran yang tidak mengikuti pemikiran Ahlusunnah terhadap berita yang disampaikan oleh Nabi Saw. Karena yang dibawa Nabi Swt. adalah mutlak kebenaranya, maka segala bentuk paham yang bertentangan dengannya berarti mengikuti nafsu pikiran belaka. Ia katakan: ”Sesungguhnya pertemuan manusia dengan Allah yang membawa dosa selain syirik adalah lebih baik daripada membawa hawa nafsunya”. Seorang yang berakidah (berideologi) sesuai dengan al-Quran dan hadis sekali pun berbuat dosa lebih baik daripada seorang yang berideologi mengikuti hawa nafsu meski tidak berbuat dosa.20
Begitu juga seorang pembaharu Islam, Umar bin Abdul Aziz yang termasuk orang yang mendalami studi Ilmu Tauhid. Sebagai seorang khalifah dia bertindak tegas dalam menata tatanan sosial dengan paham yang benar dengan terus menyerang paham Muktazilah. Selain Imam Syafi’i dan Umar bin Abdul Aziz, banyak ulama salaf lain yang menekuni Ilmu Tauhid dan pengetahuan tentang pokok-pokok keagamaan, misalkan imam Malik (pendiri madzhab fiqh Malikiyah). Sebagai ilmu yang menempati tempat terhormat, ilmu tauhid harus dikedepankan sebelum merambah yang lain. Sungguh baik pujangga yang menulis:
Hanya manusia tidak berakal yang mencaci Ilmu Kalâm
Dan kalau pun mereka mencaci sama sekali tidak ada kebahayaan
Tidak bahaya matahari pagi yang terbit di ufuq
Untuk tidak disaksikan cahayanya oleh orang buta
MOTIFASI PENULISAN KITAB-KITAB TAUHID
Pada bagian pendahuluan kitab Umm al-Barâhîn, diterangkan motif yang melatar belakangi Imam Sanusi (pengarang) menulis bukunya. Ia katakan:21
”Masa sekarang—zaman dimana orang serba kesulitan—yang paling penting bagi manusia ialah berupaya menyelamatkan diri dari ancaman siksa neraka selama-lamanya. Upaya itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan meneguhkan akidah tauhid sesuai paham Ahlusunnah. Karena dengan upaya itu seseorang dapat terbentengi dari kerusakan dan kebobrokkan akidah masa kini. Realitas masa sekarang yang tersebar adalah kebodohan, dan kebatilan. Masyarakatnya lebih suka mengingkari kebenaran, dan membenci orang-orang yang benar (baik). Mereka lebih senang menampakkan perhiasan kebatilan yang menipu. Alangkah bahagianya seorang yang mendapatkan petunjuk (taufiq) dengan mengikatkan keyakinan pada kebenaran akidah. Karena setelah itu, ia akan tersugesti mengetahui kepentingan ajaran agamanya, baik kepentingan yang bersifat esoteris (batin) maupun eksoteris (lahir).
Disamping merebaknya perilaku bid’ah, peristiwa Abu al-Hasan Asy’ari22 juga dapat dijadikan renungan. Pada masa itu, Muktazilah sedang gencar-gencarnya menyebarkan pahamnya. Asy’ari yang merupakan mantan tokoh Muktazilah, setelah sadar akan kesesatan Muktazilah, bertekad untuk kembali pada ajaran yang benar. Setelah melalui perenungan dalam mencari kebenaran akidah, ia mengatakan:
”Wahai para hadirin! Beberapa hari ini aku telah mengasingkan diri untuk berpikir. Saya banyak mengetahui keterangan-keterangan dan dasar-dasar hukum yang diberikan masing-masing golongan, tetapi dalil-dalil yang diajukan, menurut analisa saya, sama kuatnya; tidak dapat dipastikan mana dalil yang benar dan valid, dan mana yang salah dan keliru. Di tengah (gejolak) kebingungan itu, saya meminta petunjuk kepada Allah. Akhirnya Allah Swt. memberiku petunjuk jalan yang benar. Saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru sebagimana yang telah saya rangkum dalam buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”.
Untuk menolak paham Muktazilah, Asy’ari menyusun beberapa kitab Tauhid. Tujuan penulisan kitab Tauhid yang dikarangnya tidak lain kecuali sebagai upaya kembali pada jalan kebenaran. Yakni kembali pada tradisi pemikiran ulama salaf. Dalam kisah itu, karua Tauhid yang dimaksud antara lain kitab al-Luma’.23 Bahkan menurut al-Hafidz, Asy’ari termasuk seorang tokoh yang sangat produktif. Akumulasi karyanya mencapai hitungan lima puluh lima kitab. Dan rata-rata, bahasan karya-karyanya tentang akidah sebagai usaha penolakkan (counter) terhadap sendi-sendi bid’ah dan penyimpangan akidah.24
Sehingga perjalanan panjang tokoh-tokoh pejuang Ahlusunnah wal-Jamaah dalam sisi tradisi pemikiran sesuai dengan yang disampaikan oleh Nabi Saw, Sahabat dan salaf al-Shalih harus kita teladani meski harus berhadapan dengan cibiran dan cemoohan sekalipun sebagaimana yang dialami ulama-ulama terdahulu dalam mempertahankan keyakinannya.[]
[1] Ensiklopedi Islam, Katalog Dalam Terbitan (KDT), pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. Suplemen Kesatu tahun 1999 huruf. ”A” h. 24.
[2] Dalam beberapa kondisi kata syariah sering terwakili dan diganti dengan ’fiqh’, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang perlu diperhatikan, baca: Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Maktabah al-Kuwait, h. 18.
[3] Aspek ketiga ini biasanya dikaitkan dengan tasawuf.
4 Muhammad Abduh (w. 1323), Risalah Tawhid 2, Mathabi’ Dar al-Kitab ’Arabi, vol. I, h. 5.
5 Sayid Muhammad Husayn Afandi, Hushun al-Hamidiyyah, al-Hidayah, Surabaya, h. 7.
6 Sulaiman bin AbdulLah bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1233), Taisir al-’Azizi al-Hamid Syarah Kitab al-Tauhid, Maktabah Riyadh al-Haditsah, h. 17.
7 Ibid.
8 Sebagai tambahan, Imam Ghazali mengartikan ilmu tauhid sebagai sebuah ilmu yang membahas Zat Allah Swt. sifat-sifat-Nya yang qadim, sifat yang berhubungan dengan kuasa-Nya (fi’liyah), membahas tentang perilaku dan perbuatan para nabi dan para imam-imam dari golongan sahabat, serta tentang hari kiamat dan yang melimgkupinya. Periksa: Imam Ghazali, Risalah al-Laduniyah (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali), Dar al-Fikr, Beirut, h. 227.
9 Imam Ghazali, Risalah al-Laduniyah (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali), Dar al-Fikr, Beirut, h. 227.
10 Ibid.
11 Muhammad Abduh, Loc. cit.
12 Abdurrahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar al-Fikr, Beirut, h. 458.
13 al-Habib AbdulLah bin Husayn bin Thahir bin Muhamad bin Hasyim Ba’lawi, Is’ad al-Rafîq, Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah Indonesia, h. 16.
14 Sayid Muhammad Husayn Afandi, Loc. cit.
15 Yang perlu digarisbawahi disini adalah, ulama yang berpendapat bahwa keimanan tidak sah tanpa berpikir terlebih dahulu bukan berarti secara mutlak melarang iman secara taklid. Jadi kewajiban berpikir memahami akidah hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu. Bagi orang yang mampu berpikir dan memahami penalaran rasional terbebani untuk memaksimalkan fungsi akal. Dengan konsekuensi, jika dia mampu mempergunakan penalaran rasional namun tetap bertaklid, maka dia berdosa karena meninggalkan kewajiban untuk memahami akidah sesuai kemampuannya. Tapi bukan berarti keimanannya hilang. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki keahlian berpikir melalui penalaran rasional. Ia tidak terkena kewajiban untuk berpikir secara rasional. Baca: Syekh Muhammad bin Ahmad bin ’Arafah al-Dusuqi al-Maliki, al-Dusûqi ’Ala Umm al-Barahîn, Thaha Putra Semarang, h. 57.
16 Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, h. 8.
17 Ibid, h. 6
18 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din, Dar al-Fikr, Beirut, h. 20-21
19 Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah al-Daw’ani, Mu’jaz al-Kalam Syarh Manzhumah ’Aqidat al-’Awam, Dar al-Ulum al-Islamiyyah, cet.IV, 2004, h. 49.
20 Hawa nafsu yang dikehendaki di sini ialah pandangan golongan bid’ah yang tidak sejalan dengan paham ulama salaf. Imam Syafi’i sama tidak mengatakan bahwa Ilmu Tauhid termasuk pengetahuan golongan bid’ah. Hal ini harus dipahami. Karenanya, Ilmu Tauhid tetap menjadi ilmu yang harus dipelajari setiap muslim. Periksa: Syeh AbdulLah al-Harari, al-Durrat al-Bahiyyah fi hilli Aqidat al-Thahawiyah, Dar al-Masyari’, Beirut, Libanon, cet. III, 2001, h. 20.
21 Syeh Muhammad ibn Ahmad ibn ’Arafat al-Dusuqi al-Maliki, Umm al-Barâhîn, al-Hidayah, h. 14.
22 Ibid
23 Syeh Hamad bin Muhamad al-Anshari, Mukadimah (catatan komentator) Al-Ibanah ’An Ushul al-Diyanah, Al-Jâmi’ah al-Islamiyah bi al-Madinah al-Munawarah, h. 11.
24 Ibid.