الله أكبر الله أكبر
الله أكبر الله أكبر
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
حي على الصلاة
حي على الصلاة
حي على الفلاح
حي على الفلاح
الله أكبر الله أكبر
لا إله إلا الله
Demikian bunyi adzan yang dikumandangkan oleh kaum sufi di Mesir dan di beberapa negara lain, tidak sama dengan adzan-adzan yang sering kita dengarkan… Tepatnya pada tambahan lafaz Sayyidana; cukup menarik perhatian setiap pendengar baru… Ada apa dengan tambahan itu? sejak kapan tambahan itu ada? dan mengapa tidak selalu ada di setiap adzan dan setiap tempat? bid’ahkah? sunnahkah? mubah? atau malah wajib ????
Iqomahnya pun tak lepas juga dari lafaz siyadah itu…
الله أكبر الله أكبر
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
حي على الصلاة
حي على الفلاح
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة
الله أكبر الله أكبر
لا إله إلا الله
Menurut jumhur ulama’ dan fuqaha’, tambahan siyadah itu boleh-boleh saja sebab adab lebih didahulukan daripada imtitsal, artinya; mendahulukan etika itu lebih penting dari sekedar menjalankan perintah. Suatu ketika Rasulullah Saw. memerintahkan Saidina Abu Bakr Ra. untuk menjadi imam solat, beliau pun melaksanakan perintah Rasul dan menjadi imam solat, namun di tengah-tengah solat, Rasulullah memasuki masjid untuk ikut solat menjadi ma’mum di belakang Saidina Abu Bakr, Saidina Abu Bakr setelah merasakan kedatangan Baginda Rasul, beliau segera mundur untuk menyerahkan posisi imam kepada Rasul, akhirnya baliaulah yang menjadi ma’mum di belakang Rasul. Selepas solat, Rasulullah bertanya kepada Saidina Abu Bakr: “Mengapa kau mundur sementara Aku sendiri yang menyuruhmu menjadi imam?” beliau menjawab: “Tidak pantas Abu Bakr menjadi imam dan Rasulullah menjadi ma’mum” !! Dari riwayat ini jelas sekali bahwa Saidina Abu Bakr Ra. mendahulukan etikanya kepada Rasul daripada sekedar menjalankan perintah Rasul.
Suatu ketika juga Rasulullah Saw. memasuki sebuah masjid, sejumlah sahabat yang ada dalam masjid berdiri (sebagai penghormatan) menyambut kedatangan Baginda, orang-orang munafik saat itu berkata: “Ngapain mereka berdiri menyambut Muhammad sebagaimana orang-orang ajam menyambut raja-raja mereka?”, Rasulullah pun bersabda kepada para sahabat: “Lain kali jangan berdiri kalau Aku datang !!”, di waktu yang lain Beliau datang menjumpai para sahabat yang sedang kumpul duduk di masjid, di antara para sahabat itu ada Saidina Hassan bin Tsabit Ra., para sahabat itupun berdiri menyambut sebagaimana biasa, Beliau lalu bersabda: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdiri kala Aku datang?”, Saidina Hassan menjawab:
قيامي للعزيز علي فرض # وترك الفرض ما هو مستقيم
عجبت لمن له عقل وفهم # يرى هذا الجمال ولا يقوم
Di sini jelas sekali Saidina Hassan mengedepankan etika daripada menjalankan perintah. Oleh karena itu apabila Rasul memerintahkan kita untuk berselawat dengan Allahumma shalli ala Muhammad maka adab kita adalah berselawat dengan Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad. Begitu juga bila Rasul memerintahkan kita adzan dengan lafaz Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah maka etika kita adalah adzan dengan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah.
Kemudian tambahan siyadah itu bukanlah tambahan yang merubah esensi, misalnya si Ahmad bertanya kepada kawannya: siapa namamu? kawannya menjawab: nama saya Muhammad Ali, lalu si Ahmad memanggilnya dengan panggilan Ustadz Muhammad Ali, tambahan ustadz itu bukanlah tambahan atas nama si Muhammad namun sebagai adab dari si Ahmad. Begitu juga bila kita mengucap Allahumma shalli ala Sayyidina Muhhamad atau Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah bukanlah tambahan tapi hanya sebagai etika yang harus diutamakan.
Kata mereka; adzan adalah lafaz-lafaz yang sudah terbatas dan tidak boleh dirubah dengan ditambah atau dikurangi, sebab bila dirubah maka bukan adzan lagi namanya, karena Rasul telah mengajarkan adzan seperti itu (tidak kurang tidak lebih). Jawaban kita adalah: apabila memang tidak boleh ditambah atau dikurangi lalu mengapa Saidina Bilal menambah al-Shalatu khairun min al-naum pada adzan subuh? bukankah itu tambahan dari beliau dan bukan dari Rasul? Dan bukankah Saidina Abdullah bin Abbas pernah memerintahkan mu’adzin untuk menggantikan Hayya ala al-shalah dengan Shallu fi buyutikum (solatlah di rumahmu) dengan sebab turunnya hujan? Dan bukankah dulu di anatara lafaz-lafaz adzan ada Hayya ala khairil-amal kemudian dirubah oleh Saidina Umar? Apabila adzan tidak boleh ditambah atau dikurangi (secara mutlak) lalu mengapa Saidina Bilal menambah? mengapa Saidina Ibnu Abbas mengurangi bahkan mengganti dengan lafaz yang lain? mengapa Saidina Umar merubah? Apabila adzan dan iqomah sudah tetap dan baku jumlah kalimatnya, tidaklah mungkin kita menemukan perbedaan dalam mazhab-mazhab fiqh yang mu’tabar. Misalnya dalam mazhab Hanbali takbir di awal adzan sebanyak empat kali, sedangkan dalam mazhab Maliki takbir dua kali saja, dalam mazhab lain adzan boleh diterjemahkan ke bahasa lain, boleh diganti lafaznya, boleh ditambah dan boleh dikurangi bila dipandang perlu… Pertanyaanya: mengapa lafaz siyadah saja yang terlarang ?!?!?!
Dengan demikian maka lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidaklah bersifat tauqifi ta’abbudi karena para sahabat telah berkali-kali merubahnya dengan maksud-maksud dan sebab-sebab yang dipandang perlu. Tentunya apabila adzan dan iqomah diberi tambahan lafaz siyadah sebelum menyebut nama Rasul merupakan suatu hal yang sangat mulia dan terpuji. Lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidak seperti Qur’an yang turun dari langit dan tidak boleh diganggu gugat, melainkan adzan dan iqomah merupakan hasil mimpi seorang sahabat yang kemudian pelaksanaannya disetujui oleh Baginda Rasul Saw.
Adzan dan iqomah disamping mengajak keapda solat, ia juga merupakan pengumuman dan persaksian dari sang mu’adzin, ia bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, akan lebih baik dan lebih etis lagi apabila ia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah tuan dan penghulu kita semua; dengan ucapan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah. Karena adzan merupakan persaksian si mu’adzin itu (secara pribadi) maka Rasulullah bersabda: “Bila mendengar adzan, ikutilah kata-kata mu’adzin itu” maksudnya: ikutlah bersaksi !!
Fungsi mu’adzin ketika adzan adalah mengumumkan kepada orang-orang bahwa waktu solat telah tiba, ia juga menyeru untuk solat berjamaah, ia juga mengumumkan persaksiannya bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah… Apakah semua itu menghalanginya untuk beretika kepada Rasulullah? Apa sih salahnya memuliakan Rasulullah disamping tujuan-tujuan di atas? apalagi adzan dikumandangkan dengan suara keras dan tinggi dan didengarkan oleh banyak orang baik muslim maupun non-muslim, bukankah etika amat diperlukan?
Kata mereka: memuliakan Rasulullah dengan lafaz siyadah adalah berlebihan !! karena yang sayyid itu hanyalah Allah !! dan Rasulullah menjadi sayyid hanya di akhirat saja dan tidak di dunia !! Sungguh mereka amat benci kepada Rasulullah !! Bukankah Saidina Abu Tsabit pernah memanggil Rasulullah dengan panggilan “Ya Sayyidi”? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “al-Hasan wal-Husain Sayyida syababi ahlil-jannah”? Bukankah Allah sendiri berfirman bahwa Nabi Yahya adalah “Sayyidan wa hashuran wa nabiyyan minal-shalihin”? Bukankah orang kafir juga sayyid sebagaimana firman-Nya “Wa alfaya sayyidaha”? Bukankah Rasulullah juga menyatakan bahwa Saidina Sa’d bin Mu’adz adalah sayyid “Qumu lisayyidikum”? Bukankah Saidina Umar juga menyatakan bahwa Saidina Abu Bakr adalah sayyid dan Saidina Bilal juga sayyid “A’taqa sayyiduna sayyidana”? Mengapa keberatan dengan siyadah Rasulullah Saw. sementara beliau adalah makhluk Allah yang teragung, tertinggi, tersuci dan termulia ?!? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “Ana sayyidu waladi Adam wala fakhr”? Adapun hadits “La tusayyiduni” adalah hadits maudhu’ dan kontra dengan kaidah bahasa arab, karena yang benar adalah La tusawwiduni bukan La tusayyiduni !!
Fatwa Dr. Ali Jum’ah (mufti Mesir) dalam masalah ini sebagai berikut :
أما حكم تسويده صلى الله عليه وسلم في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات فاختلف الفقهاء في حكم هذه المسألة وقد نقل في كتب المذاهب الفقهية المعتمدة ندب الإتيان بلفظ سيدنا قبل إسمه الشريف حتى في العبادات كالصلاة والأذان
Beliau juga menambahkan :
ذهب إلى استحباب تقديم لفظة سيدنا قبل إسمه الشريف في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات كثيرٌ من فقهاء المذاهب الفقهية، كالعز بن عبد السلام والرملي والقليوبي والشرقاوي من الشافعية، والحصفكي وابن عابدين من الحنفية، وغيرهم كالشوكاني
al-Arif billah al-Muhaddits al-Hafiz al-Sayyid al-Syarif al-Faqih al-Shufi al-Syaikh Ahamd bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani Ra. (meninggal tahun 1960 M.) pernah menulis kitab berjudul Tasyniful-adzan bi adillati istihbab al-siyadah inda ismihi alaih al-shalatu wal-salam fil-shalati wal-iqamati wal-adzan, kitab ini khusus membahas tentang bolehnya mengucapkan lafaz siyadah ketika penyebutan nama Rasulullah Saw. baik dalam solat, adzan maupun iqomah. Kitab ini penuh dengan dalil-dalil yang kuat dan telah dimuraja’ah dan diakui kebenarannya oleh mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah al-Syafi’i serta ulama’-ulama’ yang lain.
Apabila siyadah dalam adzan dan iqomah dianggap bid’ah, maka bid’ah tersebut adalah hasanah. Bila ditanya: mengapa para sahabat dulu tidak mengucap Sayyidana dalam adzan dan iqomah? Syekh Ahmad al-Ghumari Ra. menjawab bahwa etika berubah-ubah setiap zaman, mungkin etika zaman dulu tidak menuntut kesitu, namun keadaan zaman sekarang sangat menuntut itu, apalagi melihat banyaknya artis-artis dan pejabat-pejabat yang disanjung-sanjung dan mendapat banyak penghormatan yang berlebihan, sangatlah hina bila menyebut nama sang penghulu alam hanya dengan sebutan “Muhammad” !! Kalaupun zaman dulu tidak ada sahabat yang mengucapkan Sayyidana dalam adzan dan iqomah, tidak berarti hal tersebut dilarang oleh syari’at, bila saat itu ada sahabat yang mengucapkannya Baginda pasti membenarkannya, karena beliau tidak pernah melarang sebelumnya, dan pernah memerintahkan sesudahnya; sebagaimana riwayat Bani Amir yang mengatakan kepada Rasulullah: “Anta waliyyuna wa anta sayyiduna” Rasul lalu bersabda: “Qulu qaulakum”. Asal hukum setiap sesuatu adalah mubah, kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan, lafaz siyadah kepada Rasul dalam adzan maupun iqomah sangat mustahab, baik dilakukan oleh orang-orang dahulu ataupun tidak dilakukan.
Sekali lagi, etika lebih penting dari segalanya, tanpa etika hancurlah semuanya. Allah berfirman: “Janganlah menyebut nama Rasul seperti menyebut nama sesamamu” Allah juga berfirman: “Janganlah berpendapat di atas pendapat Rasul dan janganlah meninggikan suaramu di atas suara Rasul sebagaimana tinggi dan kerasnya suara sebagianmu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. Etika menyebut nama orang tua dan guru tidaklah lebih penting dari etika menyebut nama sang penghulu dan pemberi syafa’at di hari jitu !!
Sumber: Tuan Guru Abdul Aziz Sukarnawadi, Lc.
www.aziznawadi.co.nr