OLEH AHMAD BASO
Program-program “Modernisasi Madrasah”, “Pembaruan Pesantren” dan “Reformasi Islam Tradisional”: Aqwalu Haqqin Urida biha-l-Bathil lil Pesantren (Sistem Pesantren Didikte oleh Logika Sekolah Formal, oleh Anak-anak Sekolahan Formalis!!)
Selama sepuluh tahun terakhir ini saya membaca tulisan-tulisan tentang “Modernisasi Madrasah”, “Pembaruan Pesantren” dan “Reformasi Islam Tradisional”, tidak ada satu pun kini yang membawa mashlahat kepada pesantren, tapi justru mudarat. Mulai dari Snouck Hugronje hingga Geertz, dari Deliar Noer hingga Azyumardi Azra, dari para peneliti asing hingga peneliti Litbang Departemen Agama dan departemen-departemen lainnya yang meneliti tentang pesantren, semuanya digerakkan oleh desain memotong garis kesejarahan orang-orang pesantren ini dengan tradisi kebangsaannnya, serta mengacaukan hakekat dan keberadaan tradisi Aswaja di Nusantara. Lebih parah lagi, agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan Pesantren” dan “reformasi Islam tradisional” dengan mengangkat alternatifnya, Wahabi dalam berbagai variannya. Dan mentor yang dijadikan referensi buat pesantren adalah para sarjana lulusan Barat dengan titel PhD hingga profesor.
Dalam agenda-agenda ini, tidak lagi muncul lagi strategi-strategi pesantren dan suara-suara para ulama Aswaja dalam menyiasati sekolah modern. Seperti pengalaman orang-orang Madura yang santri, yang tetap menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda, tapi menyempatkan juga untuk dididik di pesantren. Dengan anggapan bahwa sekolah modern akan tambah memperkuat dasar-dasar pendidikan mereka di pesantren, selain untuk mendalami pengetahuan keagamaan, juga untuk membangun relasi dan komunikasi yang akrab dengan rakyat.[1] Demikian pula misalnya KH Saifuddin Zuhri yang mendirikan madrasah modern berbahasa asing, tapi tetap mengacu kepada induknya, sistem pesantren di bawah komando para kiai: “Ketika pada permulaan tahun 1938 aku pulang dari Solo dengan menggondol ijasah, aku benar-benar telah menjadi guru. Aku mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama, di Islamitisch Westerse School [Sekolah Islam berbahasa Barat, yakni bahasa Belanda], dan di Kulliyat al-Muallimin wa-l-Muballighin. Dua macam sekolah yang belakangan ini juga bernaung di bawah asuhan Nahdlatul Ulama. Lucu juga kedengarannya kalau dipikir-pikir. Di madrasah aku dipanggil ustadz, tetapi di sekolah yang berbau Belanda ini aku dipanggil meneer oleh anak-anak murid.”[2]
Agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan pesantren” dan “reformasi sistem pendidikan Islam tradisional” ini, dengan kata lain, hanya mereduksi pesantren sebagai sekolah yang tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah lainnya di negeri ini. Sehingga sistem yang diberlakukan dan didiktekan kepada pesantren adalah sistem sekolahan formalis, yang dioperasionalkan oleh anak-anak sekolahan formal saja. Sehingga wajar dalam logika anak sekolahan ini, madrasah dipertentangkan dengan pesantren, pesantren dibandingkan dengan sekolah unggulan internasional, atau dengan Harvard, Oxford, Cambridge, dst.
Inilah yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Pesantren sebagai pendidikan karakter kebangsaan adalah pendidikan seumur hidup, yang mendidik dan memperlakukan anak-anak bangsa ini untuk hidup sepanjang hayat bangsa ini, dari segenap resources dan alamnya, dari segenap manusianya dan masyarakatnya. Dan bukan untuk bergantung kepada bansga lain, dan mengandalakn resources bangsa luar. Pesantren memperlakukan anak didiknya dalam segenap totalitasnya, dari segi fisik, batin, individu, sosial, dalam hidup privat, pembentukan pribadi yang utuh, dalam hidup dan pergaulan bermasyarakat dan berbangsa hingga persiapan untuk hidup di akhirat kelak, yang semuanya disesuaikan dengan segenap kebutuhan bangsanya ini.
Kemudian, dalam agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan pesantren” dan “reformasi sistem pendidikan Islam tradisional” ini, kekuatan dan modal pesantren sebagai perekat kebangsaan juga direduksi dengan memandangnya hanya sebagai “pendidikan Islam” – karena dari sana akan ditarik satu cap tersendiri bahwa pesantren sektarian, eksklusif, hingga yang paling ekstrem, sarang kelompok garis keras atau radikalisme Islam. Label seperti ini jeas merugikan pesantren yang selama ratusan tahun menjadi oase kebudayaan rakyat dari berbagai macam komunitas; pesantren sebagai pendidikan lintas-komunitas. Seperti Kiai Sadrach yang belajar di pesantren tegalsari, Ponorogo; demikian komunitas abangan dan Kejawen,[3] kalangan satria, bangsawan, dan raja-raja di Nusantara, para pujangga kraton juga berguru ke pesantren, hingga para jago dan jawara menimba ilmu kanuragan dari para kiai pesantren. Label sektarian kepada pesantren akan membuat komunitas penyangganya selama ini akan lari dan meninggalkan pesantren.
Padahal, di masa-masa pergerakan dan perlawanan terhadap penjajah dan antek-anteknya, pesantren merupakan oase perlindungan bagi para kaum nasionalis dan pemberontak terhadap penjajah. Ada puluhan contoh kalangan nasionalis berlindung di pesantren dan “jejer pandita” (“tudangguru” dalam istilah orang-orang Bugis) dengan para kiai dan ulama pesantren.[4] Saya sebut beberapa nama: Sukarno di Pesantren Sukanegara, Cianjur,[5] Jenderal Sudirman dengan Kiai Mahfudz Ponorogo,[6] Sukarni di Jawa Timur,[7] Supriyadi dan kawan-kawan di pesantren Blitar,[8] dan Tan Malaka di Pesantren Tebuireng Jombang.[9] Bahkan seorang jawara, saking dekatnya dengan orang-orang pesantren, pernah mengangkat seorang kiai sebagai bupati dalam revolusi sosial di Tegal tahun 1945.[10]
Dengan demikian, bisa kita katakan, keislaman pesantren bukanlah keislaman model Wahabi dan konstruk Orientalis Islamic studies yang dengan mudah menarik garis sekat antara yang puritan, murni dan yang dianggap masih “sinkretik”, dinilai masih ada kotoran budaya. Bukan pula keislaman ala racikan modernis-orientalis yang dibaukan di eprguruna tinggi di Amerika, Eropa atau Australia (yang kemudian dijiplak di Indonesia untuk program-program de-nasionalisasi) melihat Islam sebagai sebuah normatif-abstraksi yang kehilanagn akar dan basisnya kepada sebuah tanah dan air. Seperti racikan para orientalsi dan murid-muridnya tentang Islam sebagai doktrin dan peradaban yang lepas sama seklai dari akat eksejarahan Islam Nusantara, dan yang dianggap anti-tesis dengan nasionalisme atau kebangssaan. Seperti racikan Geertz, Howard Federspiel dan Herbet Feith tentang kelompok Islam reformis di Indonesia yang anti Pancasila dan dan anti nasionalisme.[11] Meski nasionalisme juga diakui kini dalam studi mereka, tapi mereka kemudian mencari sesuatu yang “Islami”, yang bahkan diracik satu kemungkinan tentang adanya “nasionalisme yang Islam”, dulu disebut “nasionalisme religius”, dan kini “Islamic nationhood”.[12]
Kemudian dari front yang berbeda, pesantren juga dicap sinkretik, yang dianggap mencampur adukkan antara berbagai kebatilan dan bid’ah dan yang sriyik ke dalam agama Islam. Ini dilihat ketika pesantren merawat tradisi-tradisi Nusantara, yang menjadi penjaga dari tradisi kejawaan. Mereka menyebut idelogi pesantren yang berkiblat ke Walisongo dianggap sebagai cerminan cara beragama yang sinkretik, yang oleh mereka dianggap menunjukkan “belum sempurna dan tuntasnya proses Islamisasi secara menyeluruh atau kaffah di Tanah Jawa”. Maraknya praktik-praktik slametan dan kendurenan yang digelar dan disokong oleh kalangan pesantren dianggap sebagai cara menjadi muslim yang belum sempurna.[13]
Ini hujatan yang menghunjam ke dalam, karena akan membuat para komunitas santri menjauh dari tradisi nusantara mereka sendiri, dan berlomba-lomba membersihkan dirinya dari segenap yang dianggap “tidak Islami” dan beramai-ramai cuci baju menjadi seputih-putihnya, sepuritan-puritannya atau semurni-murninya. Dan dengan cara ini pula orang-orang pesantren dibuat jauh dari komunitas bangsa penyangganya. Dan juga dibuat terkucil dan kesepian, dan akhirnya tidak laku, bangkrut dan bubar di negeri ini!
Dari Ideologi Pesantren ke Ideologi Keindonesiaan (Merdeka, Mandiri, Berkarakter dan Kesejhateraan)
Sekali lagi, saya katakan, pesantren bukan semata pendidikan Islam. Tapi pendidikan karakter yang hidup dalam konteks berbangsa, yang begumul dengan hakikayt dan jatidiri bansga ini, dan berproses ke dalam satu cara beragama dimana yang dipromosikan adalah “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam).[14] Jadi, keislaman adalah salah satu komponen dari ideologi orang-orang pesantren, selain komponen kedualatan, kemerdekaan, kesejahteraan, dan kemashatan umat manusia.
Ada tiga komponen dalam ideologi nasionalis orang-orang pesantren seperti di atas: pertama, “mashlahate”, yakni kemaslahtan hamba-hamba Allah semua, tanpa memandang agama ataupun keyakinannya (yang menjadi dasar kebangsaan); kedua, “karaharjane”, yaitu kepentingan kesejahteraan negara dan tanah air; ketiga, “lestarίne agamί Islam”, kepentingan keagamaan, yakni aspek karakter dan ideologisasi paham keagamaan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja).
Nah berbicara tentang pesantren, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah posisinya sebagai penjaga tradisi Aswaja. Tradisi yang memugnkinkan orang-orang pesantren menjadi pilar utama penyangga tubuh dan berkembanganya bangsa ini.
Dalam sejarah Nusantara sejak masa Wali Songo, tradisi Aswaja sudah menjadi senjata untuk menaklukkan penjajah asing, dalam bahasa “kemenangan Jawa berkat agama Islam Jawa [Aswaja]”. Misalnya dilihat dari cara orang-orang pesantren meracik ide Ratu Adil sejak abad 18 di Jawa, yang merupakan salah satu imajinasi politik-kolektif (al-mikhyal al-jama’i) kalangan pesantren sejak abad 18 tentang tatanan yang adil dan kesejahteraan negeri pasca penjajahan.[15]
Seperti halnya Hughes yang memetakan kehancuran sekolah-sekolah tradisi China karena invasi sekolah-sekolah Barat, saya juga melihat pesantren mengalami proses demikian. Seperti yang saya tunjukkan dalam kasus surau atau pesantren khas Minang di Sumatera. Surau biasanya dibangun dekat dengan sumber-sumber air. Karena itu di sekitar surau sering muncul permukiman baru, kegiatan dagang dan pasar baru, dan juga peradaban baru. Keberadaan surau-surau tidak lepas dari posisi kedekatannya dengan jaringan keulamaan, jaringan tarekat, hingga jaringan pasar dan perdagangan antar kota-desa-pesisir di Sumatera. Adat pun dirangkul dan dibuat berorientasi ke Mazhab Syafi’i.
Surau Ulakan merupakan surau pertama yang berada dalam sirkuit gerakan keilmuan yang menghubungkan pesisir Sumatera Barat dan pesisir Aceh. Relasi ini menjadi pusat pengembangan Islam dengan adat sebagai mitranya, sehingga terjadi perpaduan serasi antara keduanya. Dalam relasi ini selain ada usaha ekstensifikasi, yakni perluasan penyiaran Islam di tengah masyarakat adat, juga ada upaya intensifikasi, yaitu pendalaman berbagai jenis pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman dalam surau, sehingga keislaman masyarakat benar-benar mendalam, sesuai dengan ajaran kitab dan para ulama salaf.
Selain itu, jaringan ke pedalaman, sejak abad 18, dilakukan oleh surau-surau yang menekuni gerakan tarekat. Ada tiga tarekat besar di masa itu: Naqsyabandiyah, Syathariyah dan Qadiriyah. Kehadiran Surau Batuhampar di pedalaman Minangkabau dimungkinkan berkat jaringan surau-surau tarekat ini. Selain itu, jaringan surau juga menghubungkan diri dengan jaringan pasar dan ekonomi strategis di Minang, seperti jaringan desa-desa pertanian subur dan makmur, jaringan desa-desa pertambangan yang kaya, dan juga jaringan desa-desa yang terletak di persimpangan rute-rute dagang. Surau Ulakan misalnya menjadi penggerak jaringan tarekat Syathariyah di jaringan desa-desa dagang dari Padang Panjang, Kota Lawas, hingga ke jaringan persawahan kaya di Agam selatan, terutama di Kota Tua. Sementara surau-surau yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah muncul di sekitar jaringan tambang emas Talawi di Tanah Datar. Demikian pula Surau Silungkang muncul di jaringan desa-desa pertambangan batu bara yang kaya.
Jaringan surau-surau tarekat ini kemudian membawa warna baru ke dalam peta geografis penguasaan ilmu-ilmu keagamaan sejak abad 18. Jaringan Surau Ulakan dengan tarekat Sythariyah-nya sangat kuat mendalami ilmu-ilmu fiqih. Kitab Minhajutthalibin karya Imam Nawawi, Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, hingga karya-karya fiqih Syekh Abdurrauf Singkel, adalah bacaan-bacaan favorit urang siak di surau ini. Surau-surau di Kamang lebih fokus pada ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, shataf dan qawa’id lughah (seluk beluk tata bahasa dan leksikografi Arab). Di Kota Gadang surau-suraunya terkenal dengan penguasaan ilmu manthiq dan ilmu ma’ani, berkat Tuanku di Tanah Rao yang baru pulang dari Mekkah dan menurunkannya kepada Tuanku Nan Katjik. Surau-surau di Kota Tua terkenal dengan ilmu tafsirnya.
Setelah kehadiran Tuanku Nan Tua, seorang ulama kharismatik dan juga dikenal sebagai “pelindung para pedagang” di daerah Agam ini perkembangan tradisi keilmuan surau-surau Minangkabau semakin canggih. Berbagai disiplin keilmuan tersebut yang terpisah-pisah antara satu surau dengan surau lainnya, mulai diintegrasikan ke dalam Surau Koto Tuo Empat Angkat, Agam, yang didirikan oleh Tuanku Syekh Nan Tuo. Di penghujung abad 18, surau ini menjadi terkenal, dan banyak didatangi oleh para santri atau urang siak dari berbagai daerah.
Kemunculan kelompok Padri di Minangkabu pada abad 19 menghambat laju perkembangan surau-surau. Dan itu berjalan bersamaan dengan masuknya penjajahan Belanda di daerah pedalaman. Kompeni berkepetingan menguasai sumber-sumber ekonomi strategis Minangkabu. Keributan yang ditimbulkan oleh Kaum Paderi dengan kaum adat dan komunitas surau memunculkan masalah keamanan internal, terutama keamanan bisnis-bisnis kolonial. Maka ada alasan untuk menindak Kaum Paderi dan menjinakkan kaum adat dan komunitas surau untuk melepaskan aset-aset strategis ekonomi mereka.
Perang Paderi dan ekspansi kolonialisme akhirnya memotong jaringan keulamaan, dagang dan pusat-pusat ekonomi strategis yang selama ini dinikmati oleh komunitas surau. Jaringan keulamaan dan tarekat dicerai-beraikan oleh kelompok puritan Paderi dan oleh pelanjutnya, kelompok Wahabi-reformis. Sementara jaringan dagang dan ekonomi strategis diambil-alih oleh Kompeni, dan keuntungannya dibawa ke negeri Belanda. Perlawanan terhadap kelompok puritan dan pemerintah kolonial sejak awal abad 20 pun terpencar-pencar, meski tetap digerakkan oleh komunitas surau dan tarekat. Seperti dalam Pemberontakan Kamang tahun 1908. Komunitas surau mulai mengajarkan kemandirian dengan bertani, dan meminta tanah-tanah penduduk untuk tidak dijual atau disewakan kepada orang-orang berkulit putih.
Dalam perkembangan berikutnya, surau-surau mempertahankan dirinya untuk bisa eksis dengan memasukkan sistem madrasah, dengan kurikulum yang lebih modern, mengikuti model ideal sekolah Sumatera Thawalib. Penyatuan antara sistem salafi dan sistem madrasah ini lalu melahirkan sejumlah surau model baru dan tetap eksis hingga sekarang. Seperti Surau Candung Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Sulaiman ar-Rasuli (pendiri Perti), Surau Parabek Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Ibrahim Musa, dan Surau Jaho Padang Panjang yang didirikan oleh Syekh Haji Jamil Jaho yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah.
Gerakan modernisasi dan pembaruan Islam yang dilancarkan sejak masa Paderi hingga kemunculan Kaum Muda di tahun 1920-an, ternyata tidak membawa orang-orang Minang untuk menguasai kembali sumber-sumber dan jaringan ekonomi strategis mereka. Mereka lebih suka merantau, dan meninggalkan surau bergumul dengan perkembangan zaman.
[1] Seperti diungkap dalam biografi Mohammad Noer, tokoh Madura yang pernah menjadi Gubernur Jawa Timur di masa awal Orde Baru, dalam Mien A. Rifai, et. al., Mohammad Noer (Jakarta: Yayasan Biografi Indonesia, 1991).
[2] Zuhri, Guruku, hal. 133-5. Tentang Islamitisch Westerse School (IWS-NU) ini, Saifuddin Zuhri menulis demikian: “Semenjak di Sokaraja didirikan sekolah Islam yang dilengkapi bahasa Belanda bernama Islamitisch Westerse School (Sekolah Islam dengan bahasa Barat), aku mendapat tugas menjadi guru agama. Sekolah tersebut diasuh oleh Meneer Sunarko dan Juffrouw Sutiah sebagai guru pembantu”. Zuhri, Berangkat, hal. 175. Di usia 19 tahun, Saifuddin Zuhri bersama Raden Sunarko dan dukungan para kiai, mendirikan sekolah ini pada 1938. Setiap bulan ia memperoleh gaji 5 gulden. Tapi kemudian sekolah tersebut dipaksa ditutup oleh pemerintahan pendudukan Jepang di Jawa pada 1942. “Sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Belanda dilarang,” kenang Zuhri, “Dengan sendirinya sekolah dimana aku mengajar agama, Islamitisch Westerse School NU, ditutup. Para muridnya disalurkan ke madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah rakyat. Guru-guru IWS-NU harus bisa mencari lapangan kerja lain”. Ibid., hal. 195.
[3] Ini misalnya ditunjukkan oleh seorang tokoh desa penganut Kejawen tentang pendiri pesantren pertama di daerahnya: “Kami sangat berterima kasih kepada Kiai Chudlori [pendiri pesantren pertama di Tegalrejo, Magelang, yang juga kiainya Gus Dur] dan putranya, atas jasa mereka sebagai pelopor dalam memuliakan makam guru kami. Saya seorang kejawen, akan tetapi saya juga seorang Muslim. Saya mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan orang-orang di pesantren, kita menyembah Tuhan yang sama, kita menjungjung nabi yang sama, dan kita juga memuliakan wali yang sama. Perbedaan di antara kita hanyalah, saya tidak bisa membaca kitab Arab, sedangkan para kiai bisa”. M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet & INSEP, 2009), hal. 224.
[4] “Jejer pandita” berarti audiensi dengan ulama, guru, atau kiai. Berasal dari satu adegan dalam cerita pewayangan yang menggambarkan pertemuan seorang tokoh protagonis (satria) dengan seorang guru spiritual (pandita) yang menjadi pembimbingnya dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman. Dalam tradisi Jawa, jejer pandita berarti menghadap kepada sang agamawan di tempat kediamannya, yakni di hutan, di lereng gunung, atau di tempat terpencil. Di daerah itu biasa ditemukan sang pertapa, resi atau agamawan, yang mendalami rahasia-rahasia tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (sehingga bisa menjadi dukun), merawat pahlawan yang terluka serta mewariskan ilmu kepadanya. Jadi, apapun lakon dalam pewayangan, harus membawakan pada bagiannya yang kedua suatu adegan jejer pandita dimana sang tokoh menghadap dan beraudiensi dengan sang resi di tempat kediamannya, masuk ke tengah hutan untuk minta petuah dan nasihat kepada gurunya. Oleh kalangan pesantren, tradisi jejer pandita ini di-Aswaja-kan dengan mengaitkannya dengan ajaran nasehat-menasehati (watawashau bilhaq watawashau bisshabr). Dalam konteks ini, posisi pandita (kiai, ulama) sebagai ideolog dikukuhkan, sementara sang satria sebagai pelaksana-eksekutor di lapangan. Tradisi jejer pandita ini selanjutnya yang menjustifikasi keberadaan dua struktur kepemimpinan dalam NU, syuriyah dan tanfidziyah. Seperti disimbolkan dalam relasi antara Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah, dan antara Kiai Wahab Chasbullah dan Haji Hasan Gipo. Satu pihak menjadi ideolog lembaga, yakni syuriah, yang terdiri dari unsur kiai, ulama atau tokoh santri. Sementara unsur kedua, tanfidziyah, adalah pelaksana para ideolog, yang kebanyakan berlatar belakang satria atau yang berpotensi menempati posisi satria (cendekiawan, bangsawan, pengusaha, dan kaum santri pada umumnya). Yang menjadi pahlawan dan punya nama adalah pelaksana ini. Sedangkan sang guru tidak dikenal, tapi posisinya jelas: dalang, aktor di balik panggung atau king-maker.
Ini yang kita lihat dalam relasi antara kaum pesantren dan raja-raja Jawa. Mereka banyak menjadi penasehat, bahkan sebagai ideolog yang menentukan dalam politik istana. Demikian pula dalam sejarah para pahlawan nasional. Untung Surapati jejer pandita dengan Kiai Ebun (disebut juga Tuan Syekh). Sultan Nuku dari Tidore, Maluku, jejer pandita kepada Kiai Haji Oemar, seorang ulama revolusioner asal Makassar yang disegani oleh para bajak laut di perairan Indonesia Timur. Pangeran Diponegoro jejer pandita dengan gurunya, Kiai Taftazani, dari Pesantren Mlangi Yogyakarta. Sukarno jejer pandita dengan gurunya di Pesantren Sukanegara, Cianjur. Tan Malaka jejer pandita dengan Hadlratussyekh di Jombang pada tahun 1945 sebelum keluarnya Resolusi Jihad. Jenderal Sudirman ketika bergerilya di pedalaman jejer pandita kepada Kiai Mahfudz Ponorogo, yang memberinya tongkat dan keris. Berkat pemberian dari sang kiai inilah yang membuat Panglima Besar TNI ini selamat dari upaya pembunuhan oleh tentara Belanda yang mengepungnya di daerah gerilya. Lihat Denys Lombard, “Pandangan Orang Jawa tentang Hutan”, dalam Marcel Bonneff, et. al., Citra Masyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).
[5] Lihat R. Soeharto, Saksi Sejarah: Mengikuti Perjuangan Dwi-Tunggal (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 14.
[6] Harsono Tjokroaminoto, “Tekad Menjadi Bangsa Merdeka”, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (Jakarta: Markas Besar Legiun Veteran RI, 2000), jilid 2, hal. 131-2.
[7] Seperti pengalaman Sukarni, aktor pemuda dalam penculikan Sukarno dan Hatta menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, di pesantren Jawa Timur:
“Di Jawa Timur Sukarni bersembunyi di salah satu pesantren Pondok Pesantren di Kediri, Plosomine, di bawah pimpinan Haji Ilyas. Di sini dia menetap selama kurang lebih 3 bulan sambil memberikan pelajaran politik dan bahasa Belanda kepada para pemuuda-pemudi penghuni pondok pesantren itu. Suatu kebetulan pula, kiranya sang kiai yang memimpin pondok pesantren itu juga orang pergerakan. Setelah Belanda kemudian mencium kehadiran Sukarni di Plosomine, Kediri, PID [polisi intel Belanda] terus dikerahkan di sini. Sukarni yang tahu gelagatnya kembali melarikan diri. Kali ini ia lari ke Banyuwangi. Berlagak sebagai pedagang kelontong, dengan menggunakan sepeda ia berhasil menyelinap ke pondok pesantren di Banyuwangi.”
Lihat Naskhar Koto, “Masa Kecil Sukarni”, dalam Sumono Mustoffa (penyunting), Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 24.
[8] Ratnawati Anhar, Pahlawan Nasional Supriyadi (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 53-dst. KH Abdullah Siradj dan KH Muhammad Kholid, orang-orang pesantren dari Blitar, melindungi Supriyadi dan para anak buahnya ketika pada Februari 1945 mereka melakukan pemberontakan Peta terhadap pendudukan Jepang untuk Indonesia merdeka. Ketika pemberontakan itu ditumpas Jepang, kedua kiai ini sempat ditangkap militer Jepang dan disiksa dengan kejam. KH Abdullah Siradj kemudian wafat dalam penjara. Allah yarhamhu.
[9] Lihat Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 (terj. Hersri Setiawan) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), jilid 1.
[10] Di masa revolusi kemerdekaan tahun 1940-an, kerjasama ulama-jawara ini makin diperkuat, bahkan menjadi aktor revolusi sosial di sejumlah daerah. Salah seorang tokoh revolusi sosial di Tegal, Jawa Tengah, November 1945, Sakhyani, dikenal dengan nama panggilan Kutil, asal Madura, berhasil menjatuhkan seorang bupati, dan menggantikannya dengan gurunya bernama Kiai Haji Abu Syuja’i, yang pernah nyantri di Pesantren Tebuireng dan menjadi santri Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Kiai Haji Abu Syujai dipilih untuk menjadi pemimpin mereka, sebagian besar atas dukungan para pemuda, kalangan pesantren, Muslim-nasionalis dan kalangan jawara. Kiai anti-kolonial dan aktif di PSII ini dijemput dari kampungnya, dan dibawa ke kota. Di bulan November 1945 itu, rakyat sudah berkumpul untuk melihat sendiri bupati barunya sebagai hasil revolusi yang mereka buat. Ketika Kiai Abu Syujai tampil ke mimbar untuk berpidato, susana jadi hening. Orang-orang terpukau menyaksikan seorang yang tampan, tinggi, agak sedikit kurus, mengenakan celana panjang, kemeja putih dan peci hitam. Ia berbicara dengan tenang, jelas dan lancar. Kadang-kadang menyelipkan kata-kata Belanda dengan ucapan yang tepat, dan kutipan-kutipan ayat al-Quran. Saat itu kalangan Muslim nasionalis di kota itu tampak puas. Dan para pemimpin Komite Nasional Indonesia-Tegal terperanjat melihat bahwa seorang kiai dari desa tampil sangat mengesankan sebagai bupati. Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Grafiti, 1989)
[11] Lihat misalnya Federspiel, Howard M., Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (terj, Ruslani dan Kurniawan Abdullah) (Jakarta: Serambi, 2004); dan, “Islam and Nationalism”. Indonesia, no. 24, October 1977, hal. 39–85.
[12] Dalam konstruk “Islamic nationhood”, seperti yang ditunjukkan seorang peneliti luar dalam bukunya baru-baru ini, orang-orang pesantren dan NU tidaklah punya tempat, bila dibandingkan misalnya dengan Sarekat Islam atau jurnal al-Munir atau Seruan Islam dari Al-Azhar yang dianggap modernis-reformis pengikut Afghani dan Abduh. Tasjwiroel Afkar, embrio NU itu, yang didirikna oleh KH Wahab Chasbullah, misalnya, disebut “unIslamic”, seperti ditulis seorang sarjana Orientalis generasi paling mutakhir: “The Tasjwiroel Afkar did not make a very positive debut in Surabaya in late 1918, and was greeted with suspicion by several members of the Kaum Muda who urged Sarekat Islam members to avoid the grouping claiming that its objectives were unIslamic.” Lihat Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds (London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 259. Logika dikotomistik gaya Endang Saefuddin Anshari hingga Audrey Kahin dan Mestika Zed misalnya, antara nasionalisme “religius” dan nasionalisme “sekuler”, adalah menyesatkan dan merugikan kerangka kebangsaan orang-orang pesantren – dan merupakan kelanjutan dari konstruk pengetahuan kolonial divide-et-impera dulu.
[13] Lihat entri-entri dalam Ensiklopedi Islam Indonesia (2002) yang digarap oleh para penulis dari IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diedit oleh Prof. Harun Nasution.
[14] Sebuah pandangan dan cita-cita sosial-politik kebangsaan orang-orang pesantren yang dilontarkan oleh Kiai Maja, ideolog Perang Diponegoro (1825-1830).. Pandangan ini dilontarkan oleh Kiai Maja selaku ideolog Perang Diponegoro. Dan Kiai Maja berperan besar dalam menggerakkan jaringan komunitas pesantren dan desa-desa perdikan untuk berjuang bahu-membahu bersama Diponegoro. Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang tersimpan pada keluarga Kiai Maja di Jakarta, berbahasa Jawa huruf pego dan ditulis oleh Kiai Maja sendiri selama pembuangannya di Tondano, Sulawesi Utara, sekitar awal tahun 1833. Selama hidupnya Kiai Maja dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, Kiai Maja punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke Bali. Beliau pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali, meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah terbangun sejak abad 18. Dibuktikan dari adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan santri yang lari ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Bali. Saking gerahnya pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat itu, Kiai Maja sempat ditangkap pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk kraton. Mobilitas Kiai Maja dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki Diponegoro, kemudian menjadi obyek penjinakan Belanda untuk mematahkan perlawanan orang-orang Jawa. Lihat Sagimun M.D., Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965); Tim Babcock, “Muslim Minahasans with Roots in Java: The People of Kampung Jawa Tondano”. Indonesia, (No. 32, 1981); Peter Carey, “Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War (1825-30)”. Modern Asian Studies, (vol. 20, no. 1, 1986); dan, “Satria and Santri: Some Notes on the Relationship between Dipanegara’s Kraton and Religius Supporters during the Java War (1825-30)”, dalam T. Ibrahim Alfian, et. al. (editor), Dari Babad dan Hikayat hingga Sejarah Kritis (1992).
[15] Ratu adil bisa berarti sebuah persona atau individu yang akan berkuasa dan membawa kemaslahatan kepada penduduk negeri. Bisa juga berarti sebuah idealisme tentang perombakan struktural dengan sebuah struktur baru yang sesuai dengan kemaslahatan umat dan bangsa. Kedua pengertian ini, yakni ratu sebagai person dan sebagai sebuah struktur kekuasaan untuk keadilan, tercakup pengertian konsepsi Jawa klasik tentang “Ratu”: raja yang duduk di singgasana dan ratu sebagai wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan dan kemaslahatan dunia. Wahyu kekuasaan mencakup ideologi, struktur kelembagaan kekuasaan, hingga pelaksanaan pemerintahan.
Kedua pengertian tentang ratu ini dikembangkan oleh kalangan pesantren dengan menulis-ulang dan sekaligus menafsir ulang pemaknaan teks-teks Jangka Jayabaya, Serat Akhirin Jaman, Serat Jayabaya atau Pralambang Jayabaya tentang datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Sebagai sebuah persona, Ratu Adil itu datang dari Mekkah. Dan sebagai sebuah wahyu kekuasaan untuk keadilan dan keselamatan, orang-orang pesantren menyebut “ratuning Jawa” (kedaulatan dan persatuan Jawa), dan, di masa pergerakan, berarti “ratuning Indonesia” (kedaulatan dan persatuan Indonesia). Dengan demikian, berbagai penafsiran selama kurun waktu 3 abad lebih dalam proses tulis-ulang dan tafsir-ulang atas teks-teks dari Raja Kediri abad 9 ini, berkisar pada tema-tema khas pesantren: genealogi sang ratu yang berasal dari Mekkah, pembalikan tatanan kolonial dengan tatanan baru berdasar keadilan, persatuan Nusantara (Jawa, dst), tema kedaulatan dengan mengusir penjajah Belanda lewat perang sabil, dan imajinasi negara pasca-penjajahan berdasar kemaslahatan berbangsa-bernegara.
Seperti ditulis Raffles dalam History of Java di awal abad 19, meski diduga berasal dari tradisi Jawa pra-Islam, namun semua mengakui bahwa teks-teks ini telah mengalami modifikasi dan penulisan-kembali sesuai dengan tradisi Muslim Aswaja Kisahnya seputar pertemuan Aji Jayabaya dengan seorang ulama dari Rum (Kesultanan Usmaniyah) (dalam versi yang lain dari Mekkah) bernama Maulana Ali Syamsudin, yang menguraikan sebuah ramalan seperti tercantum dalam Kitab Musarrar [Musaran]. Pertemuan ini dilanjutkan dengan sejumlah subcerita lain dalam berbagai versi yang berintikan pertemuan ide Ratu Adil dengan konsep Aswaja tentang Imam Mahdi dalam eskatologi Islam.
Prototip cerita ini berasal dari naskah tertua dari awal abad 18 (sebelum tahun 1715), yang juga penuh dengan beragam penambahan dengan kata-kata kafir, sultan dan waliyullah. Dalam versi lainnya, imajinasi tentang Ratu Adil sebagai “ratu waliyullah” ditemukan dalam Serat Kanjeng Kyai Surya Raja, dikarang pada 1774 oleh Sultan Hamengku Buwana II. Sementara Bernhard Dahm dalam bukunya tentang Sukarno, mencatat adanya peralihan kisah-kisah Ratu Adil dalam ramalan Jayabaya ini dari versi kraton ke luar kraton sejak pertengahan abad 19.
Dalam beragam versi luar kraton inilah ramalan-ramalan tentang kedatangan Ratu Adil tumbuh subur, terutama di lingkungan pesantren, dimana berbagai imajinasi tentang kedatangan Ratu Adil mengalir dari sumber mata air Islam Aswaja, dari Mekkah. Kiai Hasan Maulani dari Lengkong, Cirebon, Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul, Klaten, dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan, Kedu, adalah ulama-ulama pesantren dari abad 19 yang melakukan proses modifikasi itu. Dari tangan mereka surat-surat wasiat tentang hari akhir zaman banyak beredar, sejak pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, dengan sebuah ajaran dari Mekkah, dan memberikan pengertian baru tentang Ratu Adil. Dengan surat-surat wasiat ini, tema pembalikan tatanan ekonomi-politik kolonial saat itu (jaman balik buwono) menjadi idealisme orang-orang pesantren. Kiai Nurhakim bahkan pada tahun 1870 mengartikan pembalikan tatanan itu sebagai penyelenggaraan reformasi agraria dan penghapusan pajak bagi para petani.
Tema berikutnya dalam Ratu Adil adalah kesatuan Jawa dan ketundukkan atau pengusiran orang-orang Belanda, berkat keunggulan tradisi Islam-Jawa ini. Setelah Perjanjian Gyanti 1755, orang-orang pesantren berusaha semaksimal mungkin mengembalikan persatuan Jawa yang dipecah-pecah oleh Belanda. Itu dimulai dari Peristiwa Pakepung tahun 1790 dimana pasukan Kompeni mengepung kraton Surakarta untuk menindak Kiai Bahman, penasehat Susuhunan, yang dianggap makar terhadap Belanda karena mendakwahkan persatuan Jawa dan penyerangan terhadap loji VOC di Semarang. Dalam Serat Kanjeng Kyai Surya Raja diramalkan pula solusi final bagi orang-orang Jawa: persatuan dan kemenangan atas Belanda berkat keunggulan kebudayaan Islam-Jawa, dan tercapainya kesejahteraan. Cita-cita ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang pesantren ketika mereka menjadi “orang pergerakan”: persatuan Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan tercapainya kesejahteraan di bawah negara-bangsa yang baru. Cita-cita ini yang menggerakkan orang-orang NU menerima NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk final negara Indonesia.
Sementara tema “perang sabil” (jihad fi sabilillah) sebagai instrumen Ratu Adil untuk mengusir penjajah, mulai digodok sejak pertengahan abad 18, ketika surat-surat Syekh Abdusshamad al-Palimbani (wafat 1788) muncul ke Tanah Jawa dibawa oleh santri-santrinya dari Mekkah. Surat-surat tersebut memberi corak baru ide Ratu Adil karena memperjelas pengusiran penjajah Belanda dengan jihad. Beliau menulis sebuah risalah berjudul Nashihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadlailil Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah. Ide ini menginspirasi Kiai Taptajani, guru Pangeran Diponegoro di Tegalrejo pada tahun 1825, untuk mengkader santrinya tersebut untuk menggelar Perang Jawa dengan misi Ratu Adil.
Tantangan ke Depan: Pesantren sebagai Wadah “Harakatul Ulama fi Ishlahil Ummah”
“Ayyuhal ulama, tanzhurul ummatul islamiyatul Indunisiyatu ilaykum litara madza ta’malun fi ishlahi ahwalihim ad-diniyyah wal-ijtimaiyyah, (Wahai para ulama, bangsa Indonesia sedang memperhatikan pada kalian apa yang sedang kalian perbuat buat umat dan bangsa ini dalam upaya melakukan perbaikan, baik menyangkut keagamaan maupun dalam bidang kemasyarakatan).
---- Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari.
Dengan demikian sebagai kesimpulan, saya bisa katakan, wacana kembali ke pesantren, seharusnya tidak sekedar berhenti sebagai wacana. Tapi juga harus dikongkretkan dalam sejumlah langkah, tahapan dan program untuk mengangkat kembali kondisi bangsa ini yang sedang terpuruk.
Pertama-tama orang-orang pesantren harus kembali percaya diri bahwa mereka punya sejarah, yang tertulis dengan tinta emas, dimana bangsa ini punya hutang historis karena amal saleh (darma bakti) pesantren untuk kelangsungan hidup bangsa ini, masa lalu, masa kini dan juga di masa mendatang. Orang-orang pesantren tidak pernah minta imbalan untuk amal shalehnya itu. Dan juga tidak minta penghargaan atau jasa-jasa – misalnya ramai-ramai meminta menjadi Pahlawan nasional atau ngotot dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di sejumlah daerah. Mereka tidak butuh nama, dan juga tidak butuh untuk tampil dan ditampilkan; yang penting bagi mereka adalah tampilannya. Orang-orang pesantren punya modal kuat untuk menopang dan mengawal bangsa ini, keikhlasan, kesederhanaan dan ikatan komunitas-kebangsaannya. Dan untuk itu, sikap percaya diri itu dimulai dari bagaimana orang-orang pesantren menggali kembali modal-modal kultural yang melahirkan sikap-sikap sosial dan amal shaleh nasionalis tersebut.
Kemudian, langka berikutnya, kembali ke pesantren adalah juga bearti bagaimana orang-orang pesantren mengisi kembali serta memperkukuh pilar-pilar kebangsaan kita, Pancasila, UUD 194, NKRI dan Bhinneka tunggal ika. Kalau para kiai memprotes sejumlah pihak yang ingin melakukan sekularisasi terhadap Pancasila ataupun terhadap puritanisasi pilar-pilar bangsa itu, dengan ide dan gagasan politik dari Timur tengah, seperti khilafah, negara Islam, hingga Islamisasi Undang-undang, itu semua merupakan wujud perhatian orang-orang pesantren terhadap masa depan bangsa ini. Dan itu pula cara mengisi pemaknaan dan pengukuhan keempat pilar keindonesiaan tersebut. Tentu masih banyak lagi cara yang bisa dilakukan untuk itu.
Misalnya pengintegrasian pendidikan karakter kebangsaan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional kita yang kini hanya berorientalisasi komersialisasi, individualisasi anak dididk, hingga fragmentasi komunitas bangsa. Moral bangsa sudah hilang dalam sistem pendidikan nasional kita ketika berbagai kebijakan tentang itu hanya bertujuan untuk liberalisasi dan swastanisasi pendidikan. Dan negara, sebagai perwujudan dari moral bansga itu, justru lepas tangan dari tanggung jawabnya terhadap substansi pendidikan kebangsaan di Tanah Air kita. Seperti yang kita dengar sekarang tentang hilangnya pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah. Kalau dulu ada yang naman Laboratorium Pancasila IKIP Malang yang mengisi materi-materi penagajaran pendidkan Pancasila, maka kini adalah sebuah kesempatan bagi pesantren untuk mengisi substansi pendidikan Pancasila dengan sesuatu yang khas Aswaja, Islam Nusantara, dan juga berwatak kebangsaan – sebelum, lagi-lagi, direbut oleh kelompok-kelompok liberal ataupun fundamentalis.
Berikutnya, adalah menggalakkan kembali program-program kaderisasi anak-anak pesantren untuk segenap wilayah perhatian bangsa ini ke masa depan, politik, ekonomi, kebudayaan, intelektualitas, dan hukum. Ini sebelum mereka terlanjur jauh dikader oleh orang lain atau bangsa lain yang misinya bertentangan dengan karakter keislaman Nusantara dan menyimpang dari akar-akar kebangsaan kita.[1]
Tahap berikut yang perlu dilakukan adalah koordinasi dan konsolidasi di antara berbagai unsur pesantren Ahlussunnah Waljamaah di Nusantara ini. Dan juga penggalangan jaringan komunitas-komunitas Nusantara berbasis kesamaan ideologi nasionalis-kebangsaan – dan tidak ada pertentangan atau dikotomi antara yang nasionalisme “religius” dan nasionalisme “sekuler”, karena memang tidak ada sebutan-sebutan seperti itu, yang dulunya memnag dipakai untuk mengadu domba antara orang-orang pesantren dengan pilar-pilar jaringannya.[2]
Terakhir, kembali ke pesantren, adalah kembali kepada posisi pesantren sebagai wadah “harakatul ulama fi ishlahil ummah” yang merupakan kelanjutan dari konsepsi tentang ulama sebagai “faqihun fi mashalihil khalqi” (paham benar akan kemaslahatan umat manusia) seperti diangkat oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin, lalu dirumuskan kembali oleh KH Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial. Kalau sebutan “faqihun fi mashalihil khalqi” adalah karakter ulama sebagai subyek (fa’il), maka predikat “harakatu ishlahil ummah” adalah misi dan tanggungjawab yang diemban oleh ulama di pundaknya. Karena dalam pandangan NU ulama memiliki tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab keumatan, dan juga tanggung jawab kebangsaan.
Ada mas’uliyah (tanggung jawab) dalam membina, membimbing dan mengarahkan umat dan bangsa, baik yang menyangkut keagamaan (diniyah) maupun aspek kemasyarakatan (ijtima’iyyah). Ada mas’uliyatur-ri’ayah (tanggung jawab dalam memelihara dan membimbing umat dan bangsa); ada mas’uliyatul qiyadah wal-imamah (tanggung jawab dalam memimpin). Dan juga ada mas'uliyatul-ishlah (tanggung jawab dalam perbaikan dan mereformasi). Dalam makna ishlah inilah, kita bebricara tentang kembalimke pesantren sebagai upaya reformatif yang toatl terhadap segenap agenda-agenda bangsa yang sudah melenceng jauh dari cita-cita kebangsaan kita.Wallahu a’lam bishshawab.***
[1] Masalah “dikader orang lain” pernah menjadi perhatian Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid Hasyim ketika membentuk Partai NU di tahun 1952 sebagai persiapan menuju Pemilu 1955. Salah satunya ketika mereka atau salah satunya, apakah Kiai Wahab atau Kiai Wahid, pernah mendatangi Sutan Sjahrir, tokoh PSI, partai kader modernis, untuk menanamkan kader-kader PSI (Partai Sosialis Indonesia) di NU untuk kepentingan mengkader anak-anak muda NU dan pesantren. Seperti yang ditulis oleh salah seorang sahabat Sjahrir, Sol Tas, pertemuan diungkap seperti berikut, dengan gaya menulis yang “ngenyek” terhadap orang-orang NU:
“In our first meeting in Djakarta after the war, in 1955, he told me that a leader of the Nahdatul Ulama had come to him to ask if he would not place a few intellectuals from his group at the disposal of the NU, which had practically no cadre. It was a possibility for acquiring influence over this still amorphous grouping and to lead the opposition to the demagogic and corrupting tendencies which were making themselves evident in it. ‘But I couldnτt help him; my people find it much too boring to deal with people of that level,’ Sjahrir added cheerfully”.
Lihat Sol Tas, “Souvenirs of Sjahrir”. Indonesia, No. 8, October 1969, hal. 135–154.
Penolakan Sjahrir dan kelompok PSI saat itu untuk mengkader anak-anak muda NU perlu dipertanyakan lebih lanjut. Kalau dibandingkan kini, dimana mereka bisa leluasa mengkader anak-anak muda NU di kantong-kantong PSI di Jakarta, seperti di Utan Kayu, di DKJ (Dewan kesenian Jakarta), di Salihara Pasar Minggu, hingga di Majalah/Koran Tempo, kita pun patut bertanya, apa sebabnya orang-orang PSI sekaliber seperti Sjahrir menolak? Dugaan saya, keberadaan Kiai Wahab dan Kiai Wahid yang dikenal berani dan licin itu, dirasakan masih terlalu kuat, sehingga menjadi sebuah hambatan atau batu sandungan kalau PSI menanamkan kader-kadernya di NU. Kekhawatiran mereka, jangan-jangan kader-kader PSI mereka itu justru yang akan dikader oleh kiai-kiai NU untuk menjadi bagian dari kader-kader NU yang nantinya akan membesarkan NU.
Dan, kini, ketika mereka dengan mudah mengkader anak-anak muda NU, tidak muncul lagi anak-anak muda NU yang bisa membesarkan NU dan orang-orang pesantren, yang membuat bangga orang-orang NU sebagai orang NU, yang membuat bangga orang-orang pesantren sebagai pelanjut tradisi Ahlussunnah Waljamaah. Karena mungkin di sana dilihat sudah tidak ada yang bisa menjadi batu sandungan atau hambatan untuk mengkader anak-anak muda NU itu, dan tidak ada lagi anak-anak muda NU yang bisa sebaliknya, melakukan writing back (menulis-balik), yakni, mengkader anak-anak PSI sana untuk masuk menjadi kader-kader NU dan pesantren!
[2] KH Saifuddin Zuhri menulis demikian tentang kiprah dan sosok seorang santri yang punya jaringan luas di kalangan nasionalis: “KH. A. Wahid Hasyim memang mempunyai pergaulan yang sangat luas. Bukan hanya di kalangan umat Islam dan para pemimpinya, melainkan juga di kalangan politisi dari berbagai golongan. Saya sering mengikuti pertemuan-pertemuan dengan Bung Karno, Bung Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Dr Sukiman, Pak Dirman, dll pemimpin. Saya juga sering menyertai pertemuannya dengan kelompok pemuda seperti Suaknri, Chairul Saleh, BM Diah, Anwar Tjokroaminoto, Asa Bafaqih dll.
Pada suatu hari KH Wahid Hasyim menerima seorang tamu yang mengaku bernama Pak Husin. Baru setelah “Pak Husin” berlalu, KHA Wahid Hasyim memberitahukan saya bahwa Pak Husin itu sebenarnya Tan Malaka. Peristiwa tersebut terjadi pada akhir zaman Jepang 1944-1945 di Jakarta.
KH A Wahid Hasyim pada waktu itu memainkan peran sentral dalam perjuangan umat Islam dan perjuangan kemerdekaan apda umumnya. Beliau membina kelompok pemuda di sekelilingnya, antara lain Harsono Cokroaminoto, Amir Fatah, Ahmad Fatoni (gugur di awal revolusi), Asa Bafaqih, Muhammad Sjahid (Blitar), Djanamar Azam, dll.” Lihat KH Saifuddin Zuhri, “Pejuang yang Nyaris Terlupakan”, dalam Sumono Mustoffa (penyunting), Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 244-9.
Selama sepuluh tahun terakhir ini saya membaca tulisan-tulisan tentang “Modernisasi Madrasah”, “Pembaruan Pesantren” dan “Reformasi Islam Tradisional”, tidak ada satu pun kini yang membawa mashlahat kepada pesantren, tapi justru mudarat. Mulai dari Snouck Hugronje hingga Geertz, dari Deliar Noer hingga Azyumardi Azra, dari para peneliti asing hingga peneliti Litbang Departemen Agama dan departemen-departemen lainnya yang meneliti tentang pesantren, semuanya digerakkan oleh desain memotong garis kesejarahan orang-orang pesantren ini dengan tradisi kebangsaannnya, serta mengacaukan hakekat dan keberadaan tradisi Aswaja di Nusantara. Lebih parah lagi, agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan Pesantren” dan “reformasi Islam tradisional” dengan mengangkat alternatifnya, Wahabi dalam berbagai variannya. Dan mentor yang dijadikan referensi buat pesantren adalah para sarjana lulusan Barat dengan titel PhD hingga profesor.
Dalam agenda-agenda ini, tidak lagi muncul lagi strategi-strategi pesantren dan suara-suara para ulama Aswaja dalam menyiasati sekolah modern. Seperti pengalaman orang-orang Madura yang santri, yang tetap menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda, tapi menyempatkan juga untuk dididik di pesantren. Dengan anggapan bahwa sekolah modern akan tambah memperkuat dasar-dasar pendidikan mereka di pesantren, selain untuk mendalami pengetahuan keagamaan, juga untuk membangun relasi dan komunikasi yang akrab dengan rakyat.[1] Demikian pula misalnya KH Saifuddin Zuhri yang mendirikan madrasah modern berbahasa asing, tapi tetap mengacu kepada induknya, sistem pesantren di bawah komando para kiai: “Ketika pada permulaan tahun 1938 aku pulang dari Solo dengan menggondol ijasah, aku benar-benar telah menjadi guru. Aku mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama, di Islamitisch Westerse School [Sekolah Islam berbahasa Barat, yakni bahasa Belanda], dan di Kulliyat al-Muallimin wa-l-Muballighin. Dua macam sekolah yang belakangan ini juga bernaung di bawah asuhan Nahdlatul Ulama. Lucu juga kedengarannya kalau dipikir-pikir. Di madrasah aku dipanggil ustadz, tetapi di sekolah yang berbau Belanda ini aku dipanggil meneer oleh anak-anak murid.”[2]
Agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan pesantren” dan “reformasi sistem pendidikan Islam tradisional” ini, dengan kata lain, hanya mereduksi pesantren sebagai sekolah yang tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah lainnya di negeri ini. Sehingga sistem yang diberlakukan dan didiktekan kepada pesantren adalah sistem sekolahan formalis, yang dioperasionalkan oleh anak-anak sekolahan formal saja. Sehingga wajar dalam logika anak sekolahan ini, madrasah dipertentangkan dengan pesantren, pesantren dibandingkan dengan sekolah unggulan internasional, atau dengan Harvard, Oxford, Cambridge, dst.
Inilah yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Pesantren sebagai pendidikan karakter kebangsaan adalah pendidikan seumur hidup, yang mendidik dan memperlakukan anak-anak bangsa ini untuk hidup sepanjang hayat bangsa ini, dari segenap resources dan alamnya, dari segenap manusianya dan masyarakatnya. Dan bukan untuk bergantung kepada bansga lain, dan mengandalakn resources bangsa luar. Pesantren memperlakukan anak didiknya dalam segenap totalitasnya, dari segi fisik, batin, individu, sosial, dalam hidup privat, pembentukan pribadi yang utuh, dalam hidup dan pergaulan bermasyarakat dan berbangsa hingga persiapan untuk hidup di akhirat kelak, yang semuanya disesuaikan dengan segenap kebutuhan bangsanya ini.
Kemudian, dalam agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan pesantren” dan “reformasi sistem pendidikan Islam tradisional” ini, kekuatan dan modal pesantren sebagai perekat kebangsaan juga direduksi dengan memandangnya hanya sebagai “pendidikan Islam” – karena dari sana akan ditarik satu cap tersendiri bahwa pesantren sektarian, eksklusif, hingga yang paling ekstrem, sarang kelompok garis keras atau radikalisme Islam. Label seperti ini jeas merugikan pesantren yang selama ratusan tahun menjadi oase kebudayaan rakyat dari berbagai macam komunitas; pesantren sebagai pendidikan lintas-komunitas. Seperti Kiai Sadrach yang belajar di pesantren tegalsari, Ponorogo; demikian komunitas abangan dan Kejawen,[3] kalangan satria, bangsawan, dan raja-raja di Nusantara, para pujangga kraton juga berguru ke pesantren, hingga para jago dan jawara menimba ilmu kanuragan dari para kiai pesantren. Label sektarian kepada pesantren akan membuat komunitas penyangganya selama ini akan lari dan meninggalkan pesantren.
Padahal, di masa-masa pergerakan dan perlawanan terhadap penjajah dan antek-anteknya, pesantren merupakan oase perlindungan bagi para kaum nasionalis dan pemberontak terhadap penjajah. Ada puluhan contoh kalangan nasionalis berlindung di pesantren dan “jejer pandita” (“tudangguru” dalam istilah orang-orang Bugis) dengan para kiai dan ulama pesantren.[4] Saya sebut beberapa nama: Sukarno di Pesantren Sukanegara, Cianjur,[5] Jenderal Sudirman dengan Kiai Mahfudz Ponorogo,[6] Sukarni di Jawa Timur,[7] Supriyadi dan kawan-kawan di pesantren Blitar,[8] dan Tan Malaka di Pesantren Tebuireng Jombang.[9] Bahkan seorang jawara, saking dekatnya dengan orang-orang pesantren, pernah mengangkat seorang kiai sebagai bupati dalam revolusi sosial di Tegal tahun 1945.[10]
Dengan demikian, bisa kita katakan, keislaman pesantren bukanlah keislaman model Wahabi dan konstruk Orientalis Islamic studies yang dengan mudah menarik garis sekat antara yang puritan, murni dan yang dianggap masih “sinkretik”, dinilai masih ada kotoran budaya. Bukan pula keislaman ala racikan modernis-orientalis yang dibaukan di eprguruna tinggi di Amerika, Eropa atau Australia (yang kemudian dijiplak di Indonesia untuk program-program de-nasionalisasi) melihat Islam sebagai sebuah normatif-abstraksi yang kehilanagn akar dan basisnya kepada sebuah tanah dan air. Seperti racikan para orientalsi dan murid-muridnya tentang Islam sebagai doktrin dan peradaban yang lepas sama seklai dari akat eksejarahan Islam Nusantara, dan yang dianggap anti-tesis dengan nasionalisme atau kebangssaan. Seperti racikan Geertz, Howard Federspiel dan Herbet Feith tentang kelompok Islam reformis di Indonesia yang anti Pancasila dan dan anti nasionalisme.[11] Meski nasionalisme juga diakui kini dalam studi mereka, tapi mereka kemudian mencari sesuatu yang “Islami”, yang bahkan diracik satu kemungkinan tentang adanya “nasionalisme yang Islam”, dulu disebut “nasionalisme religius”, dan kini “Islamic nationhood”.[12]
Kemudian dari front yang berbeda, pesantren juga dicap sinkretik, yang dianggap mencampur adukkan antara berbagai kebatilan dan bid’ah dan yang sriyik ke dalam agama Islam. Ini dilihat ketika pesantren merawat tradisi-tradisi Nusantara, yang menjadi penjaga dari tradisi kejawaan. Mereka menyebut idelogi pesantren yang berkiblat ke Walisongo dianggap sebagai cerminan cara beragama yang sinkretik, yang oleh mereka dianggap menunjukkan “belum sempurna dan tuntasnya proses Islamisasi secara menyeluruh atau kaffah di Tanah Jawa”. Maraknya praktik-praktik slametan dan kendurenan yang digelar dan disokong oleh kalangan pesantren dianggap sebagai cara menjadi muslim yang belum sempurna.[13]
Ini hujatan yang menghunjam ke dalam, karena akan membuat para komunitas santri menjauh dari tradisi nusantara mereka sendiri, dan berlomba-lomba membersihkan dirinya dari segenap yang dianggap “tidak Islami” dan beramai-ramai cuci baju menjadi seputih-putihnya, sepuritan-puritannya atau semurni-murninya. Dan dengan cara ini pula orang-orang pesantren dibuat jauh dari komunitas bangsa penyangganya. Dan juga dibuat terkucil dan kesepian, dan akhirnya tidak laku, bangkrut dan bubar di negeri ini!
Dari Ideologi Pesantren ke Ideologi Keindonesiaan (Merdeka, Mandiri, Berkarakter dan Kesejhateraan)
Sekali lagi, saya katakan, pesantren bukan semata pendidikan Islam. Tapi pendidikan karakter yang hidup dalam konteks berbangsa, yang begumul dengan hakikayt dan jatidiri bansga ini, dan berproses ke dalam satu cara beragama dimana yang dipromosikan adalah “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam).[14] Jadi, keislaman adalah salah satu komponen dari ideologi orang-orang pesantren, selain komponen kedualatan, kemerdekaan, kesejahteraan, dan kemashatan umat manusia.
Ada tiga komponen dalam ideologi nasionalis orang-orang pesantren seperti di atas: pertama, “mashlahate”, yakni kemaslahtan hamba-hamba Allah semua, tanpa memandang agama ataupun keyakinannya (yang menjadi dasar kebangsaan); kedua, “karaharjane”, yaitu kepentingan kesejahteraan negara dan tanah air; ketiga, “lestarίne agamί Islam”, kepentingan keagamaan, yakni aspek karakter dan ideologisasi paham keagamaan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja).
Nah berbicara tentang pesantren, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah posisinya sebagai penjaga tradisi Aswaja. Tradisi yang memugnkinkan orang-orang pesantren menjadi pilar utama penyangga tubuh dan berkembanganya bangsa ini.
Dalam sejarah Nusantara sejak masa Wali Songo, tradisi Aswaja sudah menjadi senjata untuk menaklukkan penjajah asing, dalam bahasa “kemenangan Jawa berkat agama Islam Jawa [Aswaja]”. Misalnya dilihat dari cara orang-orang pesantren meracik ide Ratu Adil sejak abad 18 di Jawa, yang merupakan salah satu imajinasi politik-kolektif (al-mikhyal al-jama’i) kalangan pesantren sejak abad 18 tentang tatanan yang adil dan kesejahteraan negeri pasca penjajahan.[15]
Seperti halnya Hughes yang memetakan kehancuran sekolah-sekolah tradisi China karena invasi sekolah-sekolah Barat, saya juga melihat pesantren mengalami proses demikian. Seperti yang saya tunjukkan dalam kasus surau atau pesantren khas Minang di Sumatera. Surau biasanya dibangun dekat dengan sumber-sumber air. Karena itu di sekitar surau sering muncul permukiman baru, kegiatan dagang dan pasar baru, dan juga peradaban baru. Keberadaan surau-surau tidak lepas dari posisi kedekatannya dengan jaringan keulamaan, jaringan tarekat, hingga jaringan pasar dan perdagangan antar kota-desa-pesisir di Sumatera. Adat pun dirangkul dan dibuat berorientasi ke Mazhab Syafi’i.
Surau Ulakan merupakan surau pertama yang berada dalam sirkuit gerakan keilmuan yang menghubungkan pesisir Sumatera Barat dan pesisir Aceh. Relasi ini menjadi pusat pengembangan Islam dengan adat sebagai mitranya, sehingga terjadi perpaduan serasi antara keduanya. Dalam relasi ini selain ada usaha ekstensifikasi, yakni perluasan penyiaran Islam di tengah masyarakat adat, juga ada upaya intensifikasi, yaitu pendalaman berbagai jenis pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman dalam surau, sehingga keislaman masyarakat benar-benar mendalam, sesuai dengan ajaran kitab dan para ulama salaf.
Selain itu, jaringan ke pedalaman, sejak abad 18, dilakukan oleh surau-surau yang menekuni gerakan tarekat. Ada tiga tarekat besar di masa itu: Naqsyabandiyah, Syathariyah dan Qadiriyah. Kehadiran Surau Batuhampar di pedalaman Minangkabau dimungkinkan berkat jaringan surau-surau tarekat ini. Selain itu, jaringan surau juga menghubungkan diri dengan jaringan pasar dan ekonomi strategis di Minang, seperti jaringan desa-desa pertanian subur dan makmur, jaringan desa-desa pertambangan yang kaya, dan juga jaringan desa-desa yang terletak di persimpangan rute-rute dagang. Surau Ulakan misalnya menjadi penggerak jaringan tarekat Syathariyah di jaringan desa-desa dagang dari Padang Panjang, Kota Lawas, hingga ke jaringan persawahan kaya di Agam selatan, terutama di Kota Tua. Sementara surau-surau yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah muncul di sekitar jaringan tambang emas Talawi di Tanah Datar. Demikian pula Surau Silungkang muncul di jaringan desa-desa pertambangan batu bara yang kaya.
Jaringan surau-surau tarekat ini kemudian membawa warna baru ke dalam peta geografis penguasaan ilmu-ilmu keagamaan sejak abad 18. Jaringan Surau Ulakan dengan tarekat Sythariyah-nya sangat kuat mendalami ilmu-ilmu fiqih. Kitab Minhajutthalibin karya Imam Nawawi, Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, hingga karya-karya fiqih Syekh Abdurrauf Singkel, adalah bacaan-bacaan favorit urang siak di surau ini. Surau-surau di Kamang lebih fokus pada ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, shataf dan qawa’id lughah (seluk beluk tata bahasa dan leksikografi Arab). Di Kota Gadang surau-suraunya terkenal dengan penguasaan ilmu manthiq dan ilmu ma’ani, berkat Tuanku di Tanah Rao yang baru pulang dari Mekkah dan menurunkannya kepada Tuanku Nan Katjik. Surau-surau di Kota Tua terkenal dengan ilmu tafsirnya.
Setelah kehadiran Tuanku Nan Tua, seorang ulama kharismatik dan juga dikenal sebagai “pelindung para pedagang” di daerah Agam ini perkembangan tradisi keilmuan surau-surau Minangkabau semakin canggih. Berbagai disiplin keilmuan tersebut yang terpisah-pisah antara satu surau dengan surau lainnya, mulai diintegrasikan ke dalam Surau Koto Tuo Empat Angkat, Agam, yang didirikan oleh Tuanku Syekh Nan Tuo. Di penghujung abad 18, surau ini menjadi terkenal, dan banyak didatangi oleh para santri atau urang siak dari berbagai daerah.
Kemunculan kelompok Padri di Minangkabu pada abad 19 menghambat laju perkembangan surau-surau. Dan itu berjalan bersamaan dengan masuknya penjajahan Belanda di daerah pedalaman. Kompeni berkepetingan menguasai sumber-sumber ekonomi strategis Minangkabu. Keributan yang ditimbulkan oleh Kaum Paderi dengan kaum adat dan komunitas surau memunculkan masalah keamanan internal, terutama keamanan bisnis-bisnis kolonial. Maka ada alasan untuk menindak Kaum Paderi dan menjinakkan kaum adat dan komunitas surau untuk melepaskan aset-aset strategis ekonomi mereka.
Perang Paderi dan ekspansi kolonialisme akhirnya memotong jaringan keulamaan, dagang dan pusat-pusat ekonomi strategis yang selama ini dinikmati oleh komunitas surau. Jaringan keulamaan dan tarekat dicerai-beraikan oleh kelompok puritan Paderi dan oleh pelanjutnya, kelompok Wahabi-reformis. Sementara jaringan dagang dan ekonomi strategis diambil-alih oleh Kompeni, dan keuntungannya dibawa ke negeri Belanda. Perlawanan terhadap kelompok puritan dan pemerintah kolonial sejak awal abad 20 pun terpencar-pencar, meski tetap digerakkan oleh komunitas surau dan tarekat. Seperti dalam Pemberontakan Kamang tahun 1908. Komunitas surau mulai mengajarkan kemandirian dengan bertani, dan meminta tanah-tanah penduduk untuk tidak dijual atau disewakan kepada orang-orang berkulit putih.
Dalam perkembangan berikutnya, surau-surau mempertahankan dirinya untuk bisa eksis dengan memasukkan sistem madrasah, dengan kurikulum yang lebih modern, mengikuti model ideal sekolah Sumatera Thawalib. Penyatuan antara sistem salafi dan sistem madrasah ini lalu melahirkan sejumlah surau model baru dan tetap eksis hingga sekarang. Seperti Surau Candung Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Sulaiman ar-Rasuli (pendiri Perti), Surau Parabek Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Haji Ibrahim Musa, dan Surau Jaho Padang Panjang yang didirikan oleh Syekh Haji Jamil Jaho yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah.
Gerakan modernisasi dan pembaruan Islam yang dilancarkan sejak masa Paderi hingga kemunculan Kaum Muda di tahun 1920-an, ternyata tidak membawa orang-orang Minang untuk menguasai kembali sumber-sumber dan jaringan ekonomi strategis mereka. Mereka lebih suka merantau, dan meninggalkan surau bergumul dengan perkembangan zaman.
[1] Seperti diungkap dalam biografi Mohammad Noer, tokoh Madura yang pernah menjadi Gubernur Jawa Timur di masa awal Orde Baru, dalam Mien A. Rifai, et. al., Mohammad Noer (Jakarta: Yayasan Biografi Indonesia, 1991).
[2] Zuhri, Guruku, hal. 133-5. Tentang Islamitisch Westerse School (IWS-NU) ini, Saifuddin Zuhri menulis demikian: “Semenjak di Sokaraja didirikan sekolah Islam yang dilengkapi bahasa Belanda bernama Islamitisch Westerse School (Sekolah Islam dengan bahasa Barat), aku mendapat tugas menjadi guru agama. Sekolah tersebut diasuh oleh Meneer Sunarko dan Juffrouw Sutiah sebagai guru pembantu”. Zuhri, Berangkat, hal. 175. Di usia 19 tahun, Saifuddin Zuhri bersama Raden Sunarko dan dukungan para kiai, mendirikan sekolah ini pada 1938. Setiap bulan ia memperoleh gaji 5 gulden. Tapi kemudian sekolah tersebut dipaksa ditutup oleh pemerintahan pendudukan Jepang di Jawa pada 1942. “Sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Belanda dilarang,” kenang Zuhri, “Dengan sendirinya sekolah dimana aku mengajar agama, Islamitisch Westerse School NU, ditutup. Para muridnya disalurkan ke madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah rakyat. Guru-guru IWS-NU harus bisa mencari lapangan kerja lain”. Ibid., hal. 195.
[3] Ini misalnya ditunjukkan oleh seorang tokoh desa penganut Kejawen tentang pendiri pesantren pertama di daerahnya: “Kami sangat berterima kasih kepada Kiai Chudlori [pendiri pesantren pertama di Tegalrejo, Magelang, yang juga kiainya Gus Dur] dan putranya, atas jasa mereka sebagai pelopor dalam memuliakan makam guru kami. Saya seorang kejawen, akan tetapi saya juga seorang Muslim. Saya mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan orang-orang di pesantren, kita menyembah Tuhan yang sama, kita menjungjung nabi yang sama, dan kita juga memuliakan wali yang sama. Perbedaan di antara kita hanyalah, saya tidak bisa membaca kitab Arab, sedangkan para kiai bisa”. M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet & INSEP, 2009), hal. 224.
[4] “Jejer pandita” berarti audiensi dengan ulama, guru, atau kiai. Berasal dari satu adegan dalam cerita pewayangan yang menggambarkan pertemuan seorang tokoh protagonis (satria) dengan seorang guru spiritual (pandita) yang menjadi pembimbingnya dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman. Dalam tradisi Jawa, jejer pandita berarti menghadap kepada sang agamawan di tempat kediamannya, yakni di hutan, di lereng gunung, atau di tempat terpencil. Di daerah itu biasa ditemukan sang pertapa, resi atau agamawan, yang mendalami rahasia-rahasia tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (sehingga bisa menjadi dukun), merawat pahlawan yang terluka serta mewariskan ilmu kepadanya. Jadi, apapun lakon dalam pewayangan, harus membawakan pada bagiannya yang kedua suatu adegan jejer pandita dimana sang tokoh menghadap dan beraudiensi dengan sang resi di tempat kediamannya, masuk ke tengah hutan untuk minta petuah dan nasihat kepada gurunya. Oleh kalangan pesantren, tradisi jejer pandita ini di-Aswaja-kan dengan mengaitkannya dengan ajaran nasehat-menasehati (watawashau bilhaq watawashau bisshabr). Dalam konteks ini, posisi pandita (kiai, ulama) sebagai ideolog dikukuhkan, sementara sang satria sebagai pelaksana-eksekutor di lapangan. Tradisi jejer pandita ini selanjutnya yang menjustifikasi keberadaan dua struktur kepemimpinan dalam NU, syuriyah dan tanfidziyah. Seperti disimbolkan dalam relasi antara Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah, dan antara Kiai Wahab Chasbullah dan Haji Hasan Gipo. Satu pihak menjadi ideolog lembaga, yakni syuriah, yang terdiri dari unsur kiai, ulama atau tokoh santri. Sementara unsur kedua, tanfidziyah, adalah pelaksana para ideolog, yang kebanyakan berlatar belakang satria atau yang berpotensi menempati posisi satria (cendekiawan, bangsawan, pengusaha, dan kaum santri pada umumnya). Yang menjadi pahlawan dan punya nama adalah pelaksana ini. Sedangkan sang guru tidak dikenal, tapi posisinya jelas: dalang, aktor di balik panggung atau king-maker.
Ini yang kita lihat dalam relasi antara kaum pesantren dan raja-raja Jawa. Mereka banyak menjadi penasehat, bahkan sebagai ideolog yang menentukan dalam politik istana. Demikian pula dalam sejarah para pahlawan nasional. Untung Surapati jejer pandita dengan Kiai Ebun (disebut juga Tuan Syekh). Sultan Nuku dari Tidore, Maluku, jejer pandita kepada Kiai Haji Oemar, seorang ulama revolusioner asal Makassar yang disegani oleh para bajak laut di perairan Indonesia Timur. Pangeran Diponegoro jejer pandita dengan gurunya, Kiai Taftazani, dari Pesantren Mlangi Yogyakarta. Sukarno jejer pandita dengan gurunya di Pesantren Sukanegara, Cianjur. Tan Malaka jejer pandita dengan Hadlratussyekh di Jombang pada tahun 1945 sebelum keluarnya Resolusi Jihad. Jenderal Sudirman ketika bergerilya di pedalaman jejer pandita kepada Kiai Mahfudz Ponorogo, yang memberinya tongkat dan keris. Berkat pemberian dari sang kiai inilah yang membuat Panglima Besar TNI ini selamat dari upaya pembunuhan oleh tentara Belanda yang mengepungnya di daerah gerilya. Lihat Denys Lombard, “Pandangan Orang Jawa tentang Hutan”, dalam Marcel Bonneff, et. al., Citra Masyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).
[5] Lihat R. Soeharto, Saksi Sejarah: Mengikuti Perjuangan Dwi-Tunggal (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 14.
[6] Harsono Tjokroaminoto, “Tekad Menjadi Bangsa Merdeka”, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (Jakarta: Markas Besar Legiun Veteran RI, 2000), jilid 2, hal. 131-2.
[7] Seperti pengalaman Sukarni, aktor pemuda dalam penculikan Sukarno dan Hatta menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, di pesantren Jawa Timur:
“Di Jawa Timur Sukarni bersembunyi di salah satu pesantren Pondok Pesantren di Kediri, Plosomine, di bawah pimpinan Haji Ilyas. Di sini dia menetap selama kurang lebih 3 bulan sambil memberikan pelajaran politik dan bahasa Belanda kepada para pemuuda-pemudi penghuni pondok pesantren itu. Suatu kebetulan pula, kiranya sang kiai yang memimpin pondok pesantren itu juga orang pergerakan. Setelah Belanda kemudian mencium kehadiran Sukarni di Plosomine, Kediri, PID [polisi intel Belanda] terus dikerahkan di sini. Sukarni yang tahu gelagatnya kembali melarikan diri. Kali ini ia lari ke Banyuwangi. Berlagak sebagai pedagang kelontong, dengan menggunakan sepeda ia berhasil menyelinap ke pondok pesantren di Banyuwangi.”
Lihat Naskhar Koto, “Masa Kecil Sukarni”, dalam Sumono Mustoffa (penyunting), Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 24.
[8] Ratnawati Anhar, Pahlawan Nasional Supriyadi (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 53-dst. KH Abdullah Siradj dan KH Muhammad Kholid, orang-orang pesantren dari Blitar, melindungi Supriyadi dan para anak buahnya ketika pada Februari 1945 mereka melakukan pemberontakan Peta terhadap pendudukan Jepang untuk Indonesia merdeka. Ketika pemberontakan itu ditumpas Jepang, kedua kiai ini sempat ditangkap militer Jepang dan disiksa dengan kejam. KH Abdullah Siradj kemudian wafat dalam penjara. Allah yarhamhu.
[9] Lihat Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 (terj. Hersri Setiawan) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), jilid 1.
[10] Di masa revolusi kemerdekaan tahun 1940-an, kerjasama ulama-jawara ini makin diperkuat, bahkan menjadi aktor revolusi sosial di sejumlah daerah. Salah seorang tokoh revolusi sosial di Tegal, Jawa Tengah, November 1945, Sakhyani, dikenal dengan nama panggilan Kutil, asal Madura, berhasil menjatuhkan seorang bupati, dan menggantikannya dengan gurunya bernama Kiai Haji Abu Syuja’i, yang pernah nyantri di Pesantren Tebuireng dan menjadi santri Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Kiai Haji Abu Syujai dipilih untuk menjadi pemimpin mereka, sebagian besar atas dukungan para pemuda, kalangan pesantren, Muslim-nasionalis dan kalangan jawara. Kiai anti-kolonial dan aktif di PSII ini dijemput dari kampungnya, dan dibawa ke kota. Di bulan November 1945 itu, rakyat sudah berkumpul untuk melihat sendiri bupati barunya sebagai hasil revolusi yang mereka buat. Ketika Kiai Abu Syujai tampil ke mimbar untuk berpidato, susana jadi hening. Orang-orang terpukau menyaksikan seorang yang tampan, tinggi, agak sedikit kurus, mengenakan celana panjang, kemeja putih dan peci hitam. Ia berbicara dengan tenang, jelas dan lancar. Kadang-kadang menyelipkan kata-kata Belanda dengan ucapan yang tepat, dan kutipan-kutipan ayat al-Quran. Saat itu kalangan Muslim nasionalis di kota itu tampak puas. Dan para pemimpin Komite Nasional Indonesia-Tegal terperanjat melihat bahwa seorang kiai dari desa tampil sangat mengesankan sebagai bupati. Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Grafiti, 1989)
[11] Lihat misalnya Federspiel, Howard M., Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (terj, Ruslani dan Kurniawan Abdullah) (Jakarta: Serambi, 2004); dan, “Islam and Nationalism”. Indonesia, no. 24, October 1977, hal. 39–85.
[12] Dalam konstruk “Islamic nationhood”, seperti yang ditunjukkan seorang peneliti luar dalam bukunya baru-baru ini, orang-orang pesantren dan NU tidaklah punya tempat, bila dibandingkan misalnya dengan Sarekat Islam atau jurnal al-Munir atau Seruan Islam dari Al-Azhar yang dianggap modernis-reformis pengikut Afghani dan Abduh. Tasjwiroel Afkar, embrio NU itu, yang didirikna oleh KH Wahab Chasbullah, misalnya, disebut “unIslamic”, seperti ditulis seorang sarjana Orientalis generasi paling mutakhir: “The Tasjwiroel Afkar did not make a very positive debut in Surabaya in late 1918, and was greeted with suspicion by several members of the Kaum Muda who urged Sarekat Islam members to avoid the grouping claiming that its objectives were unIslamic.” Lihat Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds (London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 259. Logika dikotomistik gaya Endang Saefuddin Anshari hingga Audrey Kahin dan Mestika Zed misalnya, antara nasionalisme “religius” dan nasionalisme “sekuler”, adalah menyesatkan dan merugikan kerangka kebangsaan orang-orang pesantren – dan merupakan kelanjutan dari konstruk pengetahuan kolonial divide-et-impera dulu.
[13] Lihat entri-entri dalam Ensiklopedi Islam Indonesia (2002) yang digarap oleh para penulis dari IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diedit oleh Prof. Harun Nasution.
[14] Sebuah pandangan dan cita-cita sosial-politik kebangsaan orang-orang pesantren yang dilontarkan oleh Kiai Maja, ideolog Perang Diponegoro (1825-1830).. Pandangan ini dilontarkan oleh Kiai Maja selaku ideolog Perang Diponegoro. Dan Kiai Maja berperan besar dalam menggerakkan jaringan komunitas pesantren dan desa-desa perdikan untuk berjuang bahu-membahu bersama Diponegoro. Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang tersimpan pada keluarga Kiai Maja di Jakarta, berbahasa Jawa huruf pego dan ditulis oleh Kiai Maja sendiri selama pembuangannya di Tondano, Sulawesi Utara, sekitar awal tahun 1833. Selama hidupnya Kiai Maja dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, Kiai Maja punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke Bali. Beliau pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali, meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah terbangun sejak abad 18. Dibuktikan dari adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan santri yang lari ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Bali. Saking gerahnya pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat itu, Kiai Maja sempat ditangkap pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk kraton. Mobilitas Kiai Maja dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki Diponegoro, kemudian menjadi obyek penjinakan Belanda untuk mematahkan perlawanan orang-orang Jawa. Lihat Sagimun M.D., Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965); Tim Babcock, “Muslim Minahasans with Roots in Java: The People of Kampung Jawa Tondano”. Indonesia, (No. 32, 1981); Peter Carey, “Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War (1825-30)”. Modern Asian Studies, (vol. 20, no. 1, 1986); dan, “Satria and Santri: Some Notes on the Relationship between Dipanegara’s Kraton and Religius Supporters during the Java War (1825-30)”, dalam T. Ibrahim Alfian, et. al. (editor), Dari Babad dan Hikayat hingga Sejarah Kritis (1992).
[15] Ratu adil bisa berarti sebuah persona atau individu yang akan berkuasa dan membawa kemaslahatan kepada penduduk negeri. Bisa juga berarti sebuah idealisme tentang perombakan struktural dengan sebuah struktur baru yang sesuai dengan kemaslahatan umat dan bangsa. Kedua pengertian ini, yakni ratu sebagai person dan sebagai sebuah struktur kekuasaan untuk keadilan, tercakup pengertian konsepsi Jawa klasik tentang “Ratu”: raja yang duduk di singgasana dan ratu sebagai wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan dan kemaslahatan dunia. Wahyu kekuasaan mencakup ideologi, struktur kelembagaan kekuasaan, hingga pelaksanaan pemerintahan.
Kedua pengertian tentang ratu ini dikembangkan oleh kalangan pesantren dengan menulis-ulang dan sekaligus menafsir ulang pemaknaan teks-teks Jangka Jayabaya, Serat Akhirin Jaman, Serat Jayabaya atau Pralambang Jayabaya tentang datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Sebagai sebuah persona, Ratu Adil itu datang dari Mekkah. Dan sebagai sebuah wahyu kekuasaan untuk keadilan dan keselamatan, orang-orang pesantren menyebut “ratuning Jawa” (kedaulatan dan persatuan Jawa), dan, di masa pergerakan, berarti “ratuning Indonesia” (kedaulatan dan persatuan Indonesia). Dengan demikian, berbagai penafsiran selama kurun waktu 3 abad lebih dalam proses tulis-ulang dan tafsir-ulang atas teks-teks dari Raja Kediri abad 9 ini, berkisar pada tema-tema khas pesantren: genealogi sang ratu yang berasal dari Mekkah, pembalikan tatanan kolonial dengan tatanan baru berdasar keadilan, persatuan Nusantara (Jawa, dst), tema kedaulatan dengan mengusir penjajah Belanda lewat perang sabil, dan imajinasi negara pasca-penjajahan berdasar kemaslahatan berbangsa-bernegara.
Seperti ditulis Raffles dalam History of Java di awal abad 19, meski diduga berasal dari tradisi Jawa pra-Islam, namun semua mengakui bahwa teks-teks ini telah mengalami modifikasi dan penulisan-kembali sesuai dengan tradisi Muslim Aswaja Kisahnya seputar pertemuan Aji Jayabaya dengan seorang ulama dari Rum (Kesultanan Usmaniyah) (dalam versi yang lain dari Mekkah) bernama Maulana Ali Syamsudin, yang menguraikan sebuah ramalan seperti tercantum dalam Kitab Musarrar [Musaran]. Pertemuan ini dilanjutkan dengan sejumlah subcerita lain dalam berbagai versi yang berintikan pertemuan ide Ratu Adil dengan konsep Aswaja tentang Imam Mahdi dalam eskatologi Islam.
Prototip cerita ini berasal dari naskah tertua dari awal abad 18 (sebelum tahun 1715), yang juga penuh dengan beragam penambahan dengan kata-kata kafir, sultan dan waliyullah. Dalam versi lainnya, imajinasi tentang Ratu Adil sebagai “ratu waliyullah” ditemukan dalam Serat Kanjeng Kyai Surya Raja, dikarang pada 1774 oleh Sultan Hamengku Buwana II. Sementara Bernhard Dahm dalam bukunya tentang Sukarno, mencatat adanya peralihan kisah-kisah Ratu Adil dalam ramalan Jayabaya ini dari versi kraton ke luar kraton sejak pertengahan abad 19.
Dalam beragam versi luar kraton inilah ramalan-ramalan tentang kedatangan Ratu Adil tumbuh subur, terutama di lingkungan pesantren, dimana berbagai imajinasi tentang kedatangan Ratu Adil mengalir dari sumber mata air Islam Aswaja, dari Mekkah. Kiai Hasan Maulani dari Lengkong, Cirebon, Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul, Klaten, dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan, Kedu, adalah ulama-ulama pesantren dari abad 19 yang melakukan proses modifikasi itu. Dari tangan mereka surat-surat wasiat tentang hari akhir zaman banyak beredar, sejak pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, dengan sebuah ajaran dari Mekkah, dan memberikan pengertian baru tentang Ratu Adil. Dengan surat-surat wasiat ini, tema pembalikan tatanan ekonomi-politik kolonial saat itu (jaman balik buwono) menjadi idealisme orang-orang pesantren. Kiai Nurhakim bahkan pada tahun 1870 mengartikan pembalikan tatanan itu sebagai penyelenggaraan reformasi agraria dan penghapusan pajak bagi para petani.
Tema berikutnya dalam Ratu Adil adalah kesatuan Jawa dan ketundukkan atau pengusiran orang-orang Belanda, berkat keunggulan tradisi Islam-Jawa ini. Setelah Perjanjian Gyanti 1755, orang-orang pesantren berusaha semaksimal mungkin mengembalikan persatuan Jawa yang dipecah-pecah oleh Belanda. Itu dimulai dari Peristiwa Pakepung tahun 1790 dimana pasukan Kompeni mengepung kraton Surakarta untuk menindak Kiai Bahman, penasehat Susuhunan, yang dianggap makar terhadap Belanda karena mendakwahkan persatuan Jawa dan penyerangan terhadap loji VOC di Semarang. Dalam Serat Kanjeng Kyai Surya Raja diramalkan pula solusi final bagi orang-orang Jawa: persatuan dan kemenangan atas Belanda berkat keunggulan kebudayaan Islam-Jawa, dan tercapainya kesejahteraan. Cita-cita ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang pesantren ketika mereka menjadi “orang pergerakan”: persatuan Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan tercapainya kesejahteraan di bawah negara-bangsa yang baru. Cita-cita ini yang menggerakkan orang-orang NU menerima NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk final negara Indonesia.
Sementara tema “perang sabil” (jihad fi sabilillah) sebagai instrumen Ratu Adil untuk mengusir penjajah, mulai digodok sejak pertengahan abad 18, ketika surat-surat Syekh Abdusshamad al-Palimbani (wafat 1788) muncul ke Tanah Jawa dibawa oleh santri-santrinya dari Mekkah. Surat-surat tersebut memberi corak baru ide Ratu Adil karena memperjelas pengusiran penjajah Belanda dengan jihad. Beliau menulis sebuah risalah berjudul Nashihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadlailil Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah. Ide ini menginspirasi Kiai Taptajani, guru Pangeran Diponegoro di Tegalrejo pada tahun 1825, untuk mengkader santrinya tersebut untuk menggelar Perang Jawa dengan misi Ratu Adil.
Tantangan ke Depan: Pesantren sebagai Wadah “Harakatul Ulama fi Ishlahil Ummah”
“Ayyuhal ulama, tanzhurul ummatul islamiyatul Indunisiyatu ilaykum litara madza ta’malun fi ishlahi ahwalihim ad-diniyyah wal-ijtimaiyyah, (Wahai para ulama, bangsa Indonesia sedang memperhatikan pada kalian apa yang sedang kalian perbuat buat umat dan bangsa ini dalam upaya melakukan perbaikan, baik menyangkut keagamaan maupun dalam bidang kemasyarakatan).
---- Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari.
Dengan demikian sebagai kesimpulan, saya bisa katakan, wacana kembali ke pesantren, seharusnya tidak sekedar berhenti sebagai wacana. Tapi juga harus dikongkretkan dalam sejumlah langkah, tahapan dan program untuk mengangkat kembali kondisi bangsa ini yang sedang terpuruk.
Pertama-tama orang-orang pesantren harus kembali percaya diri bahwa mereka punya sejarah, yang tertulis dengan tinta emas, dimana bangsa ini punya hutang historis karena amal saleh (darma bakti) pesantren untuk kelangsungan hidup bangsa ini, masa lalu, masa kini dan juga di masa mendatang. Orang-orang pesantren tidak pernah minta imbalan untuk amal shalehnya itu. Dan juga tidak minta penghargaan atau jasa-jasa – misalnya ramai-ramai meminta menjadi Pahlawan nasional atau ngotot dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di sejumlah daerah. Mereka tidak butuh nama, dan juga tidak butuh untuk tampil dan ditampilkan; yang penting bagi mereka adalah tampilannya. Orang-orang pesantren punya modal kuat untuk menopang dan mengawal bangsa ini, keikhlasan, kesederhanaan dan ikatan komunitas-kebangsaannya. Dan untuk itu, sikap percaya diri itu dimulai dari bagaimana orang-orang pesantren menggali kembali modal-modal kultural yang melahirkan sikap-sikap sosial dan amal shaleh nasionalis tersebut.
Kemudian, langka berikutnya, kembali ke pesantren adalah juga bearti bagaimana orang-orang pesantren mengisi kembali serta memperkukuh pilar-pilar kebangsaan kita, Pancasila, UUD 194, NKRI dan Bhinneka tunggal ika. Kalau para kiai memprotes sejumlah pihak yang ingin melakukan sekularisasi terhadap Pancasila ataupun terhadap puritanisasi pilar-pilar bangsa itu, dengan ide dan gagasan politik dari Timur tengah, seperti khilafah, negara Islam, hingga Islamisasi Undang-undang, itu semua merupakan wujud perhatian orang-orang pesantren terhadap masa depan bangsa ini. Dan itu pula cara mengisi pemaknaan dan pengukuhan keempat pilar keindonesiaan tersebut. Tentu masih banyak lagi cara yang bisa dilakukan untuk itu.
Misalnya pengintegrasian pendidikan karakter kebangsaan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional kita yang kini hanya berorientalisasi komersialisasi, individualisasi anak dididk, hingga fragmentasi komunitas bangsa. Moral bangsa sudah hilang dalam sistem pendidikan nasional kita ketika berbagai kebijakan tentang itu hanya bertujuan untuk liberalisasi dan swastanisasi pendidikan. Dan negara, sebagai perwujudan dari moral bansga itu, justru lepas tangan dari tanggung jawabnya terhadap substansi pendidikan kebangsaan di Tanah Air kita. Seperti yang kita dengar sekarang tentang hilangnya pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah. Kalau dulu ada yang naman Laboratorium Pancasila IKIP Malang yang mengisi materi-materi penagajaran pendidkan Pancasila, maka kini adalah sebuah kesempatan bagi pesantren untuk mengisi substansi pendidikan Pancasila dengan sesuatu yang khas Aswaja, Islam Nusantara, dan juga berwatak kebangsaan – sebelum, lagi-lagi, direbut oleh kelompok-kelompok liberal ataupun fundamentalis.
Berikutnya, adalah menggalakkan kembali program-program kaderisasi anak-anak pesantren untuk segenap wilayah perhatian bangsa ini ke masa depan, politik, ekonomi, kebudayaan, intelektualitas, dan hukum. Ini sebelum mereka terlanjur jauh dikader oleh orang lain atau bangsa lain yang misinya bertentangan dengan karakter keislaman Nusantara dan menyimpang dari akar-akar kebangsaan kita.[1]
Tahap berikut yang perlu dilakukan adalah koordinasi dan konsolidasi di antara berbagai unsur pesantren Ahlussunnah Waljamaah di Nusantara ini. Dan juga penggalangan jaringan komunitas-komunitas Nusantara berbasis kesamaan ideologi nasionalis-kebangsaan – dan tidak ada pertentangan atau dikotomi antara yang nasionalisme “religius” dan nasionalisme “sekuler”, karena memang tidak ada sebutan-sebutan seperti itu, yang dulunya memnag dipakai untuk mengadu domba antara orang-orang pesantren dengan pilar-pilar jaringannya.[2]
Terakhir, kembali ke pesantren, adalah kembali kepada posisi pesantren sebagai wadah “harakatul ulama fi ishlahil ummah” yang merupakan kelanjutan dari konsepsi tentang ulama sebagai “faqihun fi mashalihil khalqi” (paham benar akan kemaslahatan umat manusia) seperti diangkat oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin, lalu dirumuskan kembali oleh KH Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial. Kalau sebutan “faqihun fi mashalihil khalqi” adalah karakter ulama sebagai subyek (fa’il), maka predikat “harakatu ishlahil ummah” adalah misi dan tanggungjawab yang diemban oleh ulama di pundaknya. Karena dalam pandangan NU ulama memiliki tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab keumatan, dan juga tanggung jawab kebangsaan.
Ada mas’uliyah (tanggung jawab) dalam membina, membimbing dan mengarahkan umat dan bangsa, baik yang menyangkut keagamaan (diniyah) maupun aspek kemasyarakatan (ijtima’iyyah). Ada mas’uliyatur-ri’ayah (tanggung jawab dalam memelihara dan membimbing umat dan bangsa); ada mas’uliyatul qiyadah wal-imamah (tanggung jawab dalam memimpin). Dan juga ada mas'uliyatul-ishlah (tanggung jawab dalam perbaikan dan mereformasi). Dalam makna ishlah inilah, kita bebricara tentang kembalimke pesantren sebagai upaya reformatif yang toatl terhadap segenap agenda-agenda bangsa yang sudah melenceng jauh dari cita-cita kebangsaan kita.Wallahu a’lam bishshawab.***
[1] Masalah “dikader orang lain” pernah menjadi perhatian Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid Hasyim ketika membentuk Partai NU di tahun 1952 sebagai persiapan menuju Pemilu 1955. Salah satunya ketika mereka atau salah satunya, apakah Kiai Wahab atau Kiai Wahid, pernah mendatangi Sutan Sjahrir, tokoh PSI, partai kader modernis, untuk menanamkan kader-kader PSI (Partai Sosialis Indonesia) di NU untuk kepentingan mengkader anak-anak muda NU dan pesantren. Seperti yang ditulis oleh salah seorang sahabat Sjahrir, Sol Tas, pertemuan diungkap seperti berikut, dengan gaya menulis yang “ngenyek” terhadap orang-orang NU:
“In our first meeting in Djakarta after the war, in 1955, he told me that a leader of the Nahdatul Ulama had come to him to ask if he would not place a few intellectuals from his group at the disposal of the NU, which had practically no cadre. It was a possibility for acquiring influence over this still amorphous grouping and to lead the opposition to the demagogic and corrupting tendencies which were making themselves evident in it. ‘But I couldnτt help him; my people find it much too boring to deal with people of that level,’ Sjahrir added cheerfully”.
Lihat Sol Tas, “Souvenirs of Sjahrir”. Indonesia, No. 8, October 1969, hal. 135–154.
Penolakan Sjahrir dan kelompok PSI saat itu untuk mengkader anak-anak muda NU perlu dipertanyakan lebih lanjut. Kalau dibandingkan kini, dimana mereka bisa leluasa mengkader anak-anak muda NU di kantong-kantong PSI di Jakarta, seperti di Utan Kayu, di DKJ (Dewan kesenian Jakarta), di Salihara Pasar Minggu, hingga di Majalah/Koran Tempo, kita pun patut bertanya, apa sebabnya orang-orang PSI sekaliber seperti Sjahrir menolak? Dugaan saya, keberadaan Kiai Wahab dan Kiai Wahid yang dikenal berani dan licin itu, dirasakan masih terlalu kuat, sehingga menjadi sebuah hambatan atau batu sandungan kalau PSI menanamkan kader-kadernya di NU. Kekhawatiran mereka, jangan-jangan kader-kader PSI mereka itu justru yang akan dikader oleh kiai-kiai NU untuk menjadi bagian dari kader-kader NU yang nantinya akan membesarkan NU.
Dan, kini, ketika mereka dengan mudah mengkader anak-anak muda NU, tidak muncul lagi anak-anak muda NU yang bisa membesarkan NU dan orang-orang pesantren, yang membuat bangga orang-orang NU sebagai orang NU, yang membuat bangga orang-orang pesantren sebagai pelanjut tradisi Ahlussunnah Waljamaah. Karena mungkin di sana dilihat sudah tidak ada yang bisa menjadi batu sandungan atau hambatan untuk mengkader anak-anak muda NU itu, dan tidak ada lagi anak-anak muda NU yang bisa sebaliknya, melakukan writing back (menulis-balik), yakni, mengkader anak-anak PSI sana untuk masuk menjadi kader-kader NU dan pesantren!
[2] KH Saifuddin Zuhri menulis demikian tentang kiprah dan sosok seorang santri yang punya jaringan luas di kalangan nasionalis: “KH. A. Wahid Hasyim memang mempunyai pergaulan yang sangat luas. Bukan hanya di kalangan umat Islam dan para pemimpinya, melainkan juga di kalangan politisi dari berbagai golongan. Saya sering mengikuti pertemuan-pertemuan dengan Bung Karno, Bung Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Dr Sukiman, Pak Dirman, dll pemimpin. Saya juga sering menyertai pertemuannya dengan kelompok pemuda seperti Suaknri, Chairul Saleh, BM Diah, Anwar Tjokroaminoto, Asa Bafaqih dll.
Pada suatu hari KH Wahid Hasyim menerima seorang tamu yang mengaku bernama Pak Husin. Baru setelah “Pak Husin” berlalu, KHA Wahid Hasyim memberitahukan saya bahwa Pak Husin itu sebenarnya Tan Malaka. Peristiwa tersebut terjadi pada akhir zaman Jepang 1944-1945 di Jakarta.
KH A Wahid Hasyim pada waktu itu memainkan peran sentral dalam perjuangan umat Islam dan perjuangan kemerdekaan apda umumnya. Beliau membina kelompok pemuda di sekelilingnya, antara lain Harsono Cokroaminoto, Amir Fatah, Ahmad Fatoni (gugur di awal revolusi), Asa Bafaqih, Muhammad Sjahid (Blitar), Djanamar Azam, dll.” Lihat KH Saifuddin Zuhri, “Pejuang yang Nyaris Terlupakan”, dalam Sumono Mustoffa (penyunting), Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 244-9.