Oleh Hasibullah Satrawi*
“Dalam perspektif historis, pesantren mempunyai peran sangat menentukan bagi lahir dan tegaknya republik ini. Pesantren-pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menjalankan peran itu dengan sangat positif. Para kiai dan santri sebagai keluarga besar pesantren tak hanya turut berdarah-darah dalam perjuangan melawan kekuatan penjajah. Lebih dari itu semua, mereka berhasil mensenyawakan pesan-pesan luhur agama (Islam) dengan cita-cita agung bangsa. Hingga Indonesia tak harus menjadi negara agama, tapi tidak juga negara sekuler.”
Ledakan bom dan penemuan sejumlah senjata di sebuah “kamp militer” Umar bin Khattab, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan sebuah tragedi besar bagi keluarga besar pesantren di republik ini. Mengingat “kamp” tersebut menyebut diri sebagai pondok pesantren. Bahkan membawa-bawa nama agung sahabat Umar bin Khattab.
Dalam perspektif historis, pesantren mempunyai peran sangat menentukan bagi lahir dan tegaknya republik ini. Pesantren-pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menjalankan peran itu dengan sangat positif. Para kiai dan santri sebagai keluarga besar pesantren tak hanya turut berdarah-darah dalam perjuangan melawan kekuatan penjajah. Lebih dari itu semua, mereka berhasil mensenyawakan pesan-pesan luhur agama (Islam) dengan cita-cita agung bangsa. Hingga Indonesia tak harus menjadi negara agama, tapi tidak juga negara sekuler.
Setidaknya ada lima hal yang mutlak diperhatikan dalam pendidikan pesantren. Yaitu nasionalisme, toleransi, moderatisme, kemajemukan dan inklusivisme. Lima hal di atas sangat penting untuk menjaga dan meneguhkan visi kebangsaan pesantren. Terutama di saat-saat serangan kelompok anti NKRI begitu gencar seperti sekarang yang sampai pada tahap membajak nama baik dan peran luhur pesantren.
Nasionalisme
Secara terminologis, nasiolisme bisa jadi merupakan produk baru peradaban modern. Namun, hal ini tak berarti Islam bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme. Karena secara substansial, nasionalisme adalah kecintaan seseorang terhadap negara sebagai tumpah darahnya. Dan sebagaimana disampaikan oleh sebagian ulama, cinta terhadap Tanah Air merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman).
Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dengan Piagam Madinah-nya (mîtsâqul madînah) bisa dijadikan sebagai contoh bagi seseorang untuk mencintai Tanah Air-nya. Nabi menyebut seluruh penduduk Madinah sebagai satu bangsa (ummah wâhidah) tanpa membeda-bedakan latar belakang agama, suku dan warna kulit. Semuanya berkewajiban membela Madinah dari ancaman pihak-pihak luar.
Toleransi
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkontribusi besar secara langsung terhadap lahirnya NKRI, pesantren mewarisi ajaran dan kultur toleransi dalam Islam. Pada masa tertentu Islam tampil sebagai sosok yang toleran (fâ’ilu al-tasâmuh). Sedangkan pada masa yang lain, Islam tampil sebagai pihak yang ditoleransi (maf’ûlu al-tasâmuh).
Toleransi adalah ajaran paling dasar dalam Islam. Ayat-ayat yang terkait dengan toleransi, contohnya, jauh lebih banyak dibanding ayat-ayat yang bisa dipahami secara intoleran. Setidaknya ada 300-an ayat dalam Al-Quran yang terkait langsung dengan toleransi. Sedangkan ayat-ayat yang bisa dipahami secara intoleran tak lebih dari 100-an ayat.
Itu sebabnya, dalam sejarahnya, toleransi hampir seumur dengan Islam itu sendiri. Riwayat sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab sîrah nabawiyyah (sejarah Nabi) yang mengisahkan pertemuan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Nufal (seorang pemimpin umat Kristiani kala itu, sekaligus penterjemah pertama kitab Injil ke dalam bahasa Arab) menjadi salah satu bukti tak terbantahkan dari semangat toleransi dalam Islam. Waraqah adalah sosok yang meyakinkan Nabi bahwa yang diterimanya adalah wahyu dari Allah yang sebelumnya juga turun kepada nabi-nabi terdahulu.
Toleransi seperti inilah yang terlestarikan dengan sangat baik di pesantren. Secara kultural, contohnya, toleransi yang berlansung di pesantren bisa dilihat dari tradisi belajar yang tak mengenal “tamat” atau “khatam”. Hingga tumbuh kultur rendah hati yang tidak membuat santri merasa pemahamannya paling benar dan harus dipaksakan kepada orang lain. Apalagi sampai menyerang yang berbeda dengan cara-cara kekerasan.
Prinsip santri sejati adalah sebagaimana diperkenalkan oleh Imam Syafi’i yang tak lain adalah panutan mayoritas Muslim Indonesia: “Pendapatku adalah benar yang mengandung kemungkinan salah. Sedangkan pendapat pihak lain adalah salah yang mengandung kemungkinan benar” (ra’yî shawâbun yahtamilu al-khatha’, wa ra’yu ghairî khatha’un yahtamilu al-shawâb).
Moderatisme
Khair al-umûr awsâthuhâ (sikap terbaik dalam segala hal adalah moderatisme). Demikian prinsip yang dikenal luas di kalangan akademisi Muslim. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam konteks hukum (fikih), melainkan telah menjadi semangat utama di balik hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam. Yang demikian disebabkan prinsip moderatisme ini terbentuk dari keniscayaan toleransi sebagai ajaran paling mendasar dalam Islam.
Dalam konteks akidah, misalnya, pesantren lebih memilih mengajarkan kitab-kitab beraliran Asy’ariyah yang berada di antara teologi Muktazilah dan teologi Murjiah di satu sisi, dan di antara “teologi fatalis” Jabariyah dan “teologi bebas” Qadariyah di sisi yang lain.
Hal yang kurang lebih sama juga terlihat dalam konteks hukum. Ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam berada di posisi tengah; antara prinsip kasih dan prinsip keras. Dalam ketentuan hukum Islam, korban kejahatan dapat membalas kejahatan yang dilakukan secara setimpal (qishas), tapi akan lebih baik bila yang bersangkutan memberi ampunan.
Kemajemukan
Pandangan Islam memposisikan kemajemukan sebagai keniscayaan hidup. Tak ada hal apa pun yang sama persis dengan yang lain (the other) di dunia ini. Semuanya berbeda-beda, baik dari segi suku, ras, budaya, warna kulit dan lainnya.
Dalam pandangan Islam, kemajemukan yang bersifat niscaya harus disikapi secara positif untuk menciptakan kerahmatan bagi alam semesta (rahmatan lil’âlamîn). Itu sebabnya, kedatangan Islam tidak serta-merta memberangus budaya lokal yang berkembang di masyarakat. Justru para ulama menjadikan budaya lokal sebagai salah satu sumber hukum Islam sesuai dengan kaidah yang berbunyi, al-‘âdatu muhakkamatun (budaya lokal dapat terangkat statusnya menjadi hukum agama).
Apa yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal di Indonesia bisa dijadikan sebagai cermin utuh tentang hubungan Islam dengan budaya lokal. Para wali Nusantara menyebarkan Islam dengan menyematkan nilai-nilai luhur Islam di dalam budaya yang sudah berlaku di masyarakat. Hingga Islam dapat diterima oleh penduduk Nusantara tanpa adanya resistensi yang berarti.
Inklusivisme
Islam sangat memperhatikan inklusivisme sebagai prinsip kehidupan yang sarat dengan perbedaan dan kemajemukan. Islam tidak pernah menutup kebenaran nilai yang dibawanya terhadap kelompok lain. Itu sebabnya, ajaran Islam bersifat universal yang terbuka kepada seluruh umat manusia (wamâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn).
Begitu pun sebaliknya. Islam tidak pernah menutup diri dari kebenaran yang mungkin dibawa oleh kelompok lain. Hal ini terlihat jelas dari sejumlah ajaran yang ditetapkan dalam Islam. Di mana ajaran-ajaran tersebut sebelumnya telah diturunkan dan dilakukan oleh umat agama lain, seperti hukum qishas yang diturunkan kepada umat Yahudi, shalat yang sebelumnya juga diturunkan kepada umat Nasrani, puasa dan yang lainnya.
Bahkan umat Islam diwajibkan beriman kepada para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada agama lain seperti kitab suci Taurat, Injil, dan Zabur. Tak lain karena dalam diri para nabi dan kitab-kitab suci tersebut terdapat nilai-nilai luhur universal yang juga harus diamalkan oleh umat Islam.
Sikap inklusif inilah yang dilestarikan dengan sangat baik di lingkungan pesantren. Undzur mâ qâla walâ tanzur man qâla (lihat yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan). Inilah kata-kata bijak yang sangat kesohor di pesantren. Juga sebuah sabda nabi yang berbunyi, al-hikmatu dlâllatu al-mu’min, ainamâ wajadahâ akhadzahâ (sesuatu yang bijak adalah ibarat barang hilang, dimanapun menemuinya segeralah memungutnya)
Tanpa lima hal di atas, pesantren terancam menjadi tempat pendidikan merakit bom sekaligus menghanguskan sejarah emas dan peran pesantren bagi NKRI. Tanpa lima aspek tersebut sebuah pesantren tak pantas disebut sebagai sebuah pesantren.
*Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta