By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Apa Itu Fatwa ?
Sebelum masuk kepada pembahasan apakah wajib ditaati dan
dilaksanakan, baiknya dan memang harusnya kita tahu dulu apa itu
definisi fatwa. Para ulama mengartikan bahwa Fatwa itu ialah:
تَبْيِينُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ عَنْ دَلِيلٍ لِمَنْ سَأَل عَنْهُ وَهَذَا يَشْمَل السُّؤَال فِي الْوَقَائِعِ وَغَيْرِهَا
“penjelasan akan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil
syar’i, dan dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan, dan pertanyaan
itu ialah bisa bersifat nyata (terjadi) atau pun tidak” [1]
Mayoritas ulama mendefinisikan fatwa seperti itu, walaupun
dengan redaksi yang berbeda-beda. Tapi yang terpenting ialah bahwa fatwa
itu tidak lahir sendiri, fatwa muncul karena ada pertanyaan yang
berkembang. Dan fatwa itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar
syariah agar menjadi jelas dan tidak menjadi bias.
Dan memang ini terkait dengan tugas para Ulama yang mengerti akan dalil-dalil syari’i beserta madlul-nya untuk memberikan pencerahan seputar hukum-hukum syariat yang banyak menjadi pertanyaan di khayalak.
Orang yang berfatwa dalam bahasa Arab disebut dengan “Mufti” [مفتي], dan yang meminta fatwa disebut dengan “Mustafti” [مستفتي].
Mufti ialah orang yang sangat berkompeten dalam bidang syariah, beliau
menguasai dan sangat mendalami nash-nash syariah serta madlul
syar’i-nya. Kalau bukan seorang Ulama, tidak lah bisa ia mengeluarkan
sebuah fatwa, karena fatwa itu produk syariat yang dihasilkan dari
intrepetasi nash-nash syari’i.
Karena
seorang Mufti berbicara soal hukum syariat, kalau berbicara hukum
syariat tidak bisa asal bicara dan memberikan jawaban. Pun para ulama
salaf diriwatkan bahwa mereka sangat berhati-hati soal fatwa ini, tidak
asal sembarang mengumbar fatwa.
Ulama Salaf Mencontohkan
Imam malik dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia menjawab 36 dari 40 pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan jawaban yang sama semua,”Saya Tidak tahu” (Laa Adriy) [لا أدري]".
Saking kesalnya si penanya yang sudah datang jauh-jauh kepada Imam Malik untuk bertanya masalah syariah, dia mengumpat: “Saya datang dari negeri nun jauh kepada anda wahai Imam. Dan anda hanya menjawab Laa Adriy (tidak tahu). Lalu apa yang harus daya laporkan kepada penduduk negeri di sana?”
Dengan santai Imam Malik menjawab: “kembalilah ke negeri mu dan katakana kepada penduduk sana bahwa Malik tidak tahu”
Kejadian yang sama terjadi pada sahabat Abu Musa Al-Asy’ari,
lalu ia justru merekomendasikan sahabat lain yaitu Ibnu Mas’ud yang
memang jauh lebih mengerti daripada beliau.
Dengan rendah diri ia mengatakan kepada si penanya: ”pergilah kau kepada Ibnu Mas’ud, ia lebih mengerti tentang hal ini dari pada aku.”
Karena memang perkara Fatwa bukanlah perkara yang biasa dan
sepele. Jangan hanya karena bisa bahasa Arab dari halaqoh-halaqoh
kemudian dengan gaya yang terkesan meyakinkan, ia berani memberikan
label ini hala ini haram, bahkan sampai mengatakan ini bid’ah.
Dalam sebuah hadits Mursal yang diriwayatkan oleh Imam Al-Darimy, disebutkan:
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
“yang paling berani diantara kalian untuk berfatwa, berarti ia berani terhadap neraka”[2] Wal-‘iyadzu billah.
Jadi
fatwa itu ada karena adanya pertanyaan. Pertanyaan itu ditujukan oleh
seorang ‘Alim, atau juga lembaga yang berisikan ulama yang memang
berkompeten dalam masalah syariah ini. Kemudian, seorang ahli agama atau
lembaga Ulama itu melakukan proses ijtihad dan akhirnya menghasilkan
sebuha kesimpulan hukum. Dan itulah yang dinamakan Fatwa.
Fatwa dan Qodho’
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa disamping fatwa itu ada
juga istilah yang mempunyai arti sama dengan fatwa namun berbeda
konsekuensinya, itu dinamakan dengan Qodho’ [قضاء], yaitu keputusan seorang Hakim (Qoodhi’ [قاضي]) dalam sebuah mahkamah atau pengadilan.
Sifat qodho’ ini berbeda dengan fatwa. Qodho’ inilah yang
bersifat mengikat dan mempunyai ketetapan hukum yang mutlak wajib
ditaati, tidak bisa dihiraukan begitu saja. Dan syariat inipun mengakui
ketetapan sebuah qodho’, yaitu keputusan yang diserahkan kepada hakim
untuk memberikan kejelasan hukum suatu masalah.
Terbukti bahwa dalam syariat ini ada istilah hukuman Al-Ta’zir
yaitu hukuman yang sepenuh diserahkan kepada seorang Hakim terhadap
seorang yang bersalah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Wajibkah Fatwa Ditaati ?
Tapi beda ceritanya kalau kita berbicara fatwa. Ulama tidak
mengatakan bahwa fatwa itu sesuatu yang mengikat, fatwa hanya penjelasan
terhadap hukum suatu masalah syariah, akan tetapi sifatnya tidak
mengikat. Artinya boleh dikerjakan, pun boleh juga tidak dikerjakan.
Imam Nawawi (676 H) mengatakan:
(وفتواه لا يرتبط بها إلزام بخلاف حكم القاضي)
“fatwanya seorang Alim/Ulama itu tidak mengikat suatu keharusan, berbeda dengan keputusan hakim (qodhi’)”.[3]
Sama seperti yang dijelaskan oleh Imam nawawi, Imam
Al-Qurofi (684 H), salah satu petinggi Ulama dari kalangan mazhab
Al-Maliki pun mengatakan demikian. Bahwa fatwa itu memang sama dengan
qodho akan tetapi, ia berbeda dalam bebrapa hal.
Diantaranya bahwa fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah
informasi tentang hukum syar’i, berbeda dengan hukum yang dikerluarkan
oleh seorang hakim (qodhi) yang disebut dengan qodho’. Itu harus
dilaksanakan dan mengikat kewajibannya atas ia yang dijatuhi hukum oleh
si hakim.[4]
Imam Ibnu Qoyyim Al-jauziyah (751 H) dalam kitabnya “I’lam Al-Muwaqqi’in”,
menjelaskan bahwa fatwa memang mempunyai kesamaan dengan qodho’, yaitu
keduanya sama-sama informasi akan kejelasan sebuah hukum. Tapi keduanya
mempunyai 2 perbedaan;
Pertama:
Fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah produk ijtihad,
boleh diterima dan boleh juga tidak. Berbeda dengan qodho, ia mengikat
dan harus ditaati.
Kedua:
Fatwa itu berlaku secara umum, untuk si Mufti dan juga
Mustafti. Akan tetapi qodho’ itu hanya berlaku untuk orang yang dihakimi
oleh hakim (qodhi) saja, tidak untuk yang lainnya. [5]
Jadi kesimpulannya ialah bahwa fatwa itu bersifat tidak
mengikat dan boleh saja ditinggalkan. Ketika seseorang bertanya kepada
ulama, lalu ulama itu menjawab/berfatwa, maka fatwa itu menjadi pilihan
baginya.
Ia bisa mengambilnya dan mengamalkannya, dan ia juga bisa
meninggalkannya, atau meminta fatwa lain dari ulama lain, yang bisa saja
berbeda dengan yang awal.
Fatwa Bisa Jadi Ketetapan Hukum
Tapi tentu saja, masalahnya tidak seperti yang dibayangkan.
Karena boleh ditinggalkan lalu fafwa ulama diacuhkan begitu saja. Tidak
demikian. Ada beberapa hal yang membuat fatwa itu menjadi sebuah hukum
yang mengikat dan harus dikerjakan.
Pertama:
Ketika tidak seorang mufti kecuali satu. Maka fatwa Ulama
tersebut menjadi wajib dikerjakan oleh para penduduk tersebut. Ataupun
ada mufti lain tapi fatwanya sama dengan yang pertama.
Kedua:
Jika seorang mufti berfatwa dengan IJma’ ulama, maka harus dikerjakan, karena seorang muslim tidak boleh menyelesihi Ijma’.
Ketiga:
Jika Fatwa itu dikuatkan dengan sebuah keputusan hakim
(qodhi) maka kedudukannya bukan lagi menjadi fatwa biasa, tapi menjadi
ketetapan Hakim yang wajib di kerjakan.[6]
Wallahu A’lam