By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Dalam sejarah litelatur Islam memang tidak dikenal istilah
Hak Cipta atau Hak Paten atau sejenisnya dalam arti bahwa penemuan
ilmiahnya itu dilindungi oleh undang-undang, sehingga tidak ada satu
orang atau pihak manapun yang bisa menjiplak atau mencontek penemuan
tersebut kecuali dengan izin penemu aslinya.
Karena memang sejak dahulu kala, para ilmuan Islam bekerja
dan berkarya bukan untuk memperjuangkan haknya sebagai penemu, atau
sebagai ilmuan. Akan tetapi, beliau-beliau semua berkarya karena memang
sebuah ketundukan kepada Allah swt yang telah menganugerahkan akal dan
pikiran untuk mereka berfikir.
Dan hasil pemikiran yang telah diberikan Allah tersebut,
entah itu berupa sebuah buku ilmiah, atau barang dan sejenisnya, mereka
dedikasikan itu semua untuk kemaslahatan umat. Dan manusia setelahnya
bebas memakai serta mengambil manfaat dari apa yang telah dihasilkan
tanpa harus membayar kepada beliau si penemu sepeser pun.
Dan memang para ilmuan musllim itu tidak mengharapkan itu
semua, yang mereka kejar hanya ridho Allah swt dan penerimaan Allah swt
atas apa yang mereka lakukan itu semua. Coba saja bayangkan kalau
seandainya Imam Bukhori meminta loyalty kepada setiap penerbit dan
percetakan yang menyebarkan hadits-hadits shohih yang sudah beliau
kumpulkan selama bertahun-tahun? Kita tidak mendapati itu kan?
Lalu kita juga tidak mendapati bahwa Ibnu Al-Haitham, sang
ilmuan optic meminta loyalty dan penghargaan kepada para produsen
kamera. Karena beliau yang pertama kali tercatat sebagai penemu kamera.
Kita juga tidak mendapati Imam Al-Zohrawi yang meminta
loyalty kepada seluruh dokter dan universitas medis karena telah
menyebarkan dan mengajarkan ilmu bedah yang telah beliau kreasikan
pertama kali. Tidak beliau tidak juga keluarga beliau.
Bermula Di Perancis
Justru wacana Hak Cipta ini muncul dari orang-orang barat,
karena memang manhaj hidup mereka yang serba materi dan duniawi,
walaupun memang tidak semua mereka seperti itu. Tapi memang mayoritas
mereka bekerja untuk memperkaya diri dan sejenisnya.
Tercatat bahwa wacana ini muncul pertama kali di Perancis
sekitar tahun 1791 M, yang menginginkan bahwa setiap ilmuan harus
mandapatkan perlindungan dan pengharagaan materi atas karya yang
dihasilkan.
Kemudian wacana ini terus berlanjut dan akhirnya menjadi
undang-undang resmi Negara dengan berbagai perubahan dan penambahan
materi undang-undang sekitar tahun 1967 M.
Lalu seiring berkembangnya zaman, manusia dari waktu ke
waktu terus berinovasi dan berkreasi, makin banyak penemuan ilmiah yang
terbaharui, membuat Negara-negara muslim akhirnya berpikir untuk
mengikuti aturan ini. Mangadopsi undang-undang eropa dalam ketetapan Hak
Cipta ini termasuk Negara kita Indonesia.
Dengan tujuan untuk melindungi hak sang ilmuan yang sudah
bersusah payah bekerja mengotak-atik otak yang kemudian melahirkan
sebuah karya ilmiah yang bernilai tinggi. Baik itu berupa hasil
pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku, atau juga sebuah benda
fisik yang punya fungsi dan menolong banyak hajat manusia lain.
Hak Etik dan Hak Materi
Dalam Hak Cipta ini, setidaknya ada 2 hak penemu atau ilmuan
yang dilindungi dan terjaga rapih; [1] Hak Etik, dan [2] Hak Materi.
Hak Etik contohnya ialah bahwa setiap orang yang menirukan
atau mengutip (kalau itu sebuah pemikiran) atau mengerjakan sesuatu yang
sama dengan karya si penemu, ia harus mencamtumkan nama si penemu
aslinya. Tidak mengaku-ngaku bahwa itu miliknya padahal itu hasil
jiplakan dan copi paste dari orang lain yang merupakan penemu aslinya.
Kalau untuk urusan Hak Etik, para ulama muslim telah jauh
mencontohkan ini. Karena memang para ilmuan muslim sangat menjunjung
tinggi nilai etik dalam menuntut ilmu. Istilahnya disebut dengan “Amanah
Ilmiah”, pertanggung jawaban ilmiah disebutnya.
Bahwa setiap mereka mesti mencantumkan nama ulama yang kata
atau karyanya mereka kutip. Tidak serta merta mangaku bahwa itu karya
mereka, dan sama sekali tidak ada rasa malu untuk menyebut nama orang
lain dalam karyanya. Justru ada kebanggaan jika memang ada nama ulama
besar yang tercantum dalam karyanya.
Hak Materi memberikan otoritas penuh bagi si penemu atas
penemuannya tersebut. Baik itu memberikan nama, label, dan juga otoritas
reparasi jika terjadi kekeliruan atau juga penambahan materi dan
sejenisnya.
Dan yang pasti bahwa setiap nilai materi yang dihasilkan
dari penjualan karya tersebut (kalau memang dikomersialkan) kembali ke
kantong pribadi penemu. Dan siapapun itu atau pihak manapun itu tidak
berhak menjual dan mengkomersilkan barang atau karya temuannya kecuali
dia harus menyetorkan hasil komersialisasi itu kembali ke penemunya.
Karena memang undang-undang melindungi hak materi si penemu
untuk menerima setiap sen yang dihasilkan dari hasil karyanya tersebut.
Pandangan Syariah
Nah dalam hal hak materi dimana si penemu atau ilmuan itu
menerima materi dari karya yang dihasilkan, ulama ternyata tidak pada
satu suara. Ada kelompok ulama yang membolehkan dan ada kelompok ulama
yang justru melarang menerima bayaran atau materi dari karya yang
dihasilkan.
Lebih luasnya, kelompok ulama ini melarang adanya Hak Cipta
bagi setiap karya yang dihasilkan. Karena sejatinya karya yang
dihasilkan itu ialah buah pikiran dan otak, otak ialah hasil pemberian
Allah swt, dan setiap pemberian Allah swt harus kembali kepada Allah swt
untuk kemaslahatan manusia lain.
Kalau ada Hak Cipta justru itu mempersempit maslahat, karena
orang lain tidak bisa memanfaatkannya secara bebas kecuali dengan
membayar atau sejenisnya. Berikut dalil-dalil dari masing-masing
kelompok sebagaimana direkam oleh DR. Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam
kitabnya [فقه النوازل] “Fiqh Al-Nawazil”, sebagaimana juga ditulis oleh DR. Wahbah Al-Zuhaily dalam Kitabnya [المعاملات المالية المعاصرة] “Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashiroh”.
Yang Melarang
Kelopmpok ulama yang melarang adanya Hak Cipta semacam ini berpegang dengan beberapa dalil, diantaranya;
Pertama:
Membuat karya atau menuliskan suatu informasi ilmu adalah
sama halnya mneyebarkan ilmu pengetahuan, dan menyebarkan ilmu
pengetahuan itu memang sebuah kewajiban seorang muslim. Karena itu
kewajiban, maka tidak ada imbalan untuk sebuah kewajiban. [لا شكر على الواجب] “Laa Syukro ‘Ala Al-Waajib”.
Kedua:
Membuat suatu karya ilmiah kemudian mengunci dengan sebuah
Hak Cipta sehingga tidak ada orang yang bisa mengaksesnya kecuali dengan
membayar dan sejenisnya adalah salah satu bentuk menyembunyikan ilmu [كتمان العلم] yang dilarang oleh syariah. Hadits Nabi saw:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia
menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat
nanti dengan tali pecut dari neraka”
Yang Membolehkan
Ini adalah suara mayoritas ulama komtemporer sekarang ini
yang digawangi oleh Majma’ Fiqih Islam Internasional, dan sudah secara
jelas mendukung adanya Hak Cipta melalui keputusan muktamar ke-5 di
Kuwait tahun 1988 tentang Hak Paten dan sejenisnya. Dalil mereka:
Pertama
Kalau dikatakan oleh kelompok yang melarang bahwa
menyebarkan hasil intelektual itu adalah suatu kewajiban karena bagian
dari menyebarkan ilmu, maka tidak ada imbalan untuk ilmu. Pernyataan ini
jelas tidak selamanya benar. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil
imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa
yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan serta
sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran,
maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.
Kedua
Sebuah karya ilmiah merupakan sebuah kemanfaatan yang
dinikmati untuk maslahat ummat, dan ulama 4 madzhab sepakat bahwa sebuah
manfaat itu mempunyai nilai materi dengan bukti bahwa Nabi saw pernah
menikahkan seorang sahabat dengan mahar Hapalan Quran-nya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat
Sahl bin Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi saw pernah menikahkan
salah seorang sahabat dengan mahar hapalan quran yang ia miliki.
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud)
Kalau hapalan Al-Quran bisa menjadi barang bernilai dan
menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal, maka mengajarkan dan
menyebarkan pemahaman tentang apa isi Al-Quran melalui karya ilmiah juga
layak untuk diberi imbalan. Dan bahkan lebih layak.
Ketiga
Menghasilkan sebuah karya intelektual adalah pekerjaan otak
dan sekaligus pekerjaan tangan sendiri. Dan Nabi saw sangat menghargaia
sebuah pekerjaan yang dihasilkan tangan sendiri bahkan beliau mensifati
itu sebagai penghasilan yang paling baik.
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُور
Nabi saw pernah ditanya tentang penghasilan apa yang paling baik? Beliau mnenjawab: “ialah penghasilan dari kerja tangannya sendiri, dan semua jual beli yang baik” (HR Imam Ahmad)
Keempat
Ada maslahat (kebaikan) yang lahir dengan adanya Hak Cipta
ini, yaitu bisa memberikan motivasi bagi para ilmuan-ilmuan lain untuk
terus berkarya. Karena tahu bahwa karyanya mendapat penghargaan dan
dilindungi oleh undang-undang yang sangat ketat, para ilmuan termotivasi
untuk terus melahirkan karya-karyanya.
Dan karya-karay para ahli otak itu tentu angat bermanfaat
bagi manusia khalayak dan juga bagi agama. Dengan adanya karya yang
dihasilkan, itu berarti jalan menuju kecermelangan generasi semakin
terbuka lebar. Dan kemajuan menjadi sebuah ekspektasi yang bukan lagi
angan-angan belaka dengan banyaknya karya intelektual yang muncul.
Jadi ada maslahat untuk kedua belah pihak, bagi khalayak dan
juga bagi si ilmaun itu sendiri. Dan maslahat adalah salah satu dasar
pertimbangan hukum dalam syariah. Jadi memang Hak Cipta sejalan dengan
semangat syariah untuk memajukan umat.
Kelima
Kaidah Fiqih [دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح] “Daf’u Al-Mafasid Muqoddam ‘Ala Jalbi Al-Masholih” (mencegah keburukan lebih didahulukan daripada memberikan manfaat) menuntut adanya Hak Cipta.
Membiarkan sebuah karya bisa ditiru dan dijiplak untuk
disebar manfaatnya memang sebuah kebaikan dan sebuah kemaslahatan. Tapi
ada mafsadah (kerusakan) yang nantinya timbul, bahwa karena tahu bahwa
karya yang dihasilkan tidak mendapat penghargaan public dan juga tidak
dilindungi, malah bisa digandakan serta ditiru sebebasnya justru membuat
para ahli fikir ogah untuk menuangkan karyanya lagi.
Akhirnya nanti umat akan sepi dengan karya-karya para ilmuan
yang tentunya ini sebuah kerugian besar buat umat. Para ilmuan menjadi
antipati untuk terus berkarya karena karyanya tidak mendapat tempat yang
layak.
Dan memang sebuah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin
dihargai dengan apa yang ia telah hasilkan berupa karya emas yang
memberikan banyak manfaat kepada umat.
Keenam
Hak Cipta juga mewujudkan adanya pertanggung jawaban ilmiah.
Kalau sebuah karya tidak dilindungi dengan hak cipta, lalu kemudian
disebar, disebar, disebar dan seterusnya hingga tidak diketahui siapa
yang memulai, maka tidak diketahui juga siapa yang akan bertanggung
jawab atas karya ini kalau memang terjadi kerusakan atau kesalahan.
Siapa yang punya hak paten untuk meluruskan ini semua.
Padahal dalam syariat kita dituntut unutuk bertanggung jawab
atas apa yang kita katakana, kita perbuat dan kita lakukan. Dengan
adanya Hak Cipta, setiap karya memiliki “bapak” kandungnya yang sah yang
bisa dimintai pertanggung jawaban atas karya intelektualnya tersebut.
Ketujuh
Sesuai dengan kaidah [الغنم بالغرم] “Al-Ghunmu Bil-Ghurmi”, dan [الخراج بالضمان] “Al-Khoroj bi Al-Dhoman”. Maksudnya orang yang telah bersusah payah akan menhasilkan dan mendapatkan sesuatu dari apa yang ia kerjakan.
Membuat suatu karya adalah pekerjaan sulit yang tidak semua
orang bisa, maka mendapatkan imbalan dan lainnya dari apa yang ia
hasilkan berupa karya ilmiah dan sejenisnya layak mendapatkan imbalan
yang sesuai.
Jadi memang syariat Islam ini juga mengakui adanya
perlindungan yang harus diberikan kepada setiap kayra intelektual yang
dihasilkan dan juga kepada setiap pembuat kayra tersebut untu
mendapatkan haknya atas apa yang telah iala kerjakan dengan susah payah.
Adapun anggapan bahwa ini bagian dari menyembunyikan ilmu,
jelas tidak 100% bisa dibenarkan. Yang namanya menyembunyikan ilmu ialah
tidak mau menjawab dan tidak mau menjelaskan sesuatu yang ditanyakan
padahal ia tahu jawabannya atas pertanyaan itu.
Dan upaya membuat karya serta melahirkan sebuah kekayaan
intelektual ialah upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan public itu,
dan bukan menyembunyikan ilmu. Hanya saja memang ada pertanggung
jawaban atas ilmu yang diberikan, dan bentuk pertanggugn jawabannya itu
ya dengan Hak cipta.
Dan ancaman bagi para penyembunyi ilmu dengan dipecut dengan
pecutan dari neraka itu jika memang si ilmua menolak untuk menyalurkan
ilmunya dalam sebuah karya ilmiah dan menutup akses bagi siapapun untuk
menimba ilmu dari beliau. Berbeda dengan konsep Hak Cipta.
Wallahu A’lam