By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Sejak awal kemunculannya, agama ini sudah sangat menjunjungi tinggi nilai sebuah ilmu, terlebih lagi itu ilmu agama. Dan tidak ada yang meragukan lagi bahwa agama ini sangat memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada generasi selanjutnya.
Sejak awal kemunculannya, agama ini sudah sangat menjunjungi tinggi nilai sebuah ilmu, terlebih lagi itu ilmu agama. Dan tidak ada yang meragukan lagi bahwa agama ini sangat memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada generasi selanjutnya.
Adanya proses belajar mengajar yang memang tumbuh sejak awal Islam,
membuat ulama membicarakan upah itu, karena bagaimanapun seorang guru
juga butuh materi untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya. Jadi perkara
mengambil upah atas dakwah atau mengajar ilmu agama bukanlah suatu yang
baru dalam litalatur keilmuan ulama muslim, terlebih lagi para ulama
fiqih. Para Fuqoha’ telah lama membahas ini.
Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal
sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu
syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah
yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu
tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan
(ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.[1]
Begitu juga, ulama sependapat bahwa mengambil upah atas pengajaran
ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika, geografi, kimia dan
lainnya itu dibolehkan kalau itu dari bait-maal. Akan tetapi ulama
berbeda pendapat dalam hal seorang guru yang mengambil upah mengajar
dari si penuntut ilmu itu sendiri, apakah boleh atau tidak?
Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok padangan:
1. Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa
mengambil upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya
tidak diperbolehkan.[2]
Dan ini juga menjadi pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah.[3]
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas
pengajaran Al-Quran. Akan tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari
situ hukumnya makruh.[4]
3. Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran
Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali
memang jika si pengajar sudah ditentukan dan materinya yang akan
diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.[5]
4. Madzhab Zohiri berpandangan bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dan juga ilmu lainnya.[6]
Pendapat ini juga dipegang oleh ulama komtemporer dari kalangan
madzhab Hanafi[7], dan juga salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal
dari Abu Al-Khatthab Al-Hanbali.[8]
Setelah menguraikan beberapa pandangan ulama tentang upah atas
pengajaran Al-Qoran dan ilmu lainnya ini, penulis akan uraikan dalil
dari masing-masing kelompok berdasarkan kelompok pendapat.
Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Pengambilan Upah
1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam yang dirwayat Imam
Ahmad dalam Musnadnya bahwa beliau shallahu alaih wa sallam melarang
mengambil upah dari Al-Qur’an:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
“Bacalah Al-Quran dan janganlah kalian makan dari itu, dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu,…..” (HR Imam Ahmad dan Imam Al-Baihaqi dalam Syuabul-Iman)
2. Dalam sunan Ibnu Majah, beliau meriwayatkan:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
قَالَ عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ
ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا
Sahabat Ubai bin Kaab pernah berkata: “Aku pernah mengajarkan Quran
kepada seseorang, kemudian aku diberikan sebuah busur (panah). Lalu aku
kabarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam, lali beliau
berkata: ‘jika kau mengambilnya, itu berarti kau telah mengambil
sebuah busur dari neraka’, lalu aku kembalikan busur itu” (HR. Ibnu
Majah)[9]
3. Ulama klasik Hanafiyah berpandangan bahwa pengajaran Al-Quran
serta ilmu yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah Qurbah
(ketaatan) yang tentunya berbuah pahala dari Allah Ta’ala. Karena ini
sebuah ibadah maka tidak perlu adanya imbalan, sama seperti sholat atau
puasa.[10]
4. Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam adalah muballigh
ulung, master dari semua muballgih / dai yang ada di dunia ini, dan
beliau shallallahu alaih wa sallam tidak mengambil upah sama sekali
dalam dakwahnya. Maka seorang dai juga tidak boleh mengambil upah atas
dakwahnya sebagaimana Nabi shallallahu alaih wa sallam dulu tidak
mengambil upah.
5. Mengambil tariff atau upah dari sebuah dakwah atau juga
pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya justru membuat orang enggan untuk
belajar, karena besarnya biaya yang harus dibayar.
Allah Ta’ala telah mengisyaratkan kita tentang hal ini dalam ayatNya:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
“Apakah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dengan hutang?” (Al-Qolam 46)
Akhirnya prkatek pengambilan upah tersebut justru menjadi penghalang
orang lain untuk melakukan sebuah ketaatan; menuntut ilmu.
Menghentikan seseorang untuk beribadah tentu hal yang sangat dilarang
dalam syariah ini.[11]
Dalil Kelompok Yang Membolehkan Mengambil Upah
Ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur ulama dari 4 madzhab
Fiqih, termasuk di dalamnya madzhab Zohiri dan juga ulama kontemporer
dari kalangan Madzhab Hanafi yang menyelisih pendapat pendahulu mereka
dalam madzhabnya.
1. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat
Sahl bin Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi shallallahu alaih wa
sallam pernah menikahkan salah seorang sahabat dengan mahar hapalan
Quran yang ia miliki untuk diajarkan kepada istrinya.
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud)
Haditsnya jelas, kalau saja hapalan dan pengajaran Al-Quran punya
nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya atau apa
yang dikandung di dalamnya juga punya nilai. Dan si pengajar berhak
mendapat imbalan atau upah.
2. Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
Hadits diatas dengan sangat jelas mengisyaratkan kebolehan mengambil
upah atas pengajaran Al-Quran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang
dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil
imbalan dari apa yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu
pengetahuan serta sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber
dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan
materi dari itu.
3. Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari
baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga
pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang
lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan
pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong
dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran
tersebut.[12]
Dan apa yang dilakukan oleh seorang guru atau ustadz dalam mengajar
ialah sebuah ketaatan dalam beribadah. Dan imbalan yang diterima
sebagai bentuk saling tolong menolong dalam beribadah dari sang
pembelajar kepada pengajarnya.
4. Kebutuhan yang menuntut. Seperti halnya kebolehan ulama atas
memberikan upah kepada orang yang menghajikannya karena lemah fisik
sehingga tidak mungkin baginya menunaikan haji kecuali dengan menyewa
orang dan memberinya imbalan. Dan tidak mungkin menemukan orang yang
berkenan untuk menunaikan haji tanpa imbalan. Begitu juga ibadah yang
lain, termasuk pengajaran Al-Quran atau ilmu lainnya.
5. Istihsan. Ini yang dipegang oleh para ulama kontemporer
madzhab Hanafi. Mereka khawatir dengan keadaan dimana para penghafal
Al-Quran dan pengajar ilmu agama semakin lama semakin berkurang dan
justru menghilang. Mereka bukan lagi disibukkan dengan mengajar ilmu
agama, akan tetapi mereka sibuk mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari, karena memang mereka tidak mendapatkan upah
dan imbalan atas apa yang mereka usahakan dari mengajar itu.
Khawatir akan hilangnya Quran karena tidak ada yang mengajar maupun
yang diajar, juga guna membangun kembali semangat keilmuan dan
membangun peradaban yang lebih baik, ulama Hanafi merubah pandangan
mereka yang awalnya melarang mengambil upah menjadi membolehkan
pengambilan upah dan imbalan dalam mengajar Al-Quran atau ilmu yang
lain. Ini dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam membangun umat,
yang mengajar terpenuhi kebutuhannya dan umatpun mendapat manfaat atas
ilmu yang diberikan oleh sang guru atau ustadz.
Perubahan fatwa dan pandangan madzhab yang mereka lakukan karena
memang keadaan zaman yang berubah. Dan itu biasa dalam masalah
fiqih.[13]
Setelah menguraikan dalil-dalil mereka atas kebolehan mengambil upah
untuk pengajaran Al-Quran atau juga ilmu lainnya dalam berdakwah,
kelompok ini juga memberikan bantahannya atas beberapa dalil yang
dipakai oleh kelompok yang melarang.
Imam Al-Syaukani mengatakan dalam kitabnya Nailul-Author, bahwa
hadits Ubai bin Kaab yang melarang mengambil upah tidak bisa dijadikan
hujjah karena statusnya yang dhoif / lemah. Tarlebih lagi ada hadits
shohih yang menyelisihinya.
Kemudian kalaupun itu sanadnya bagus, hadits itu muhtamal
(mengandung banyak kemungkinan). Mungkin saja itu adalah Waqo’i A’yan
(kejadian personal yang khusus) untuk Ubai bin Kaab dan Ubadah bin
Shomit (dalam riwayat lain) yang tidak bisa digeneralisir untuk orang
lain. Karena maknanya yang bertentangan dengan hadits shohih itu (dalil
kebolehan no. 2).[14]
Pandangan Madzhab Maliki
Madzhab ini –seperti yang
telah diurai sebelumnya- bersama jumhur dalam hal kebolehan mengambil
upah untuk pengajaran Al-Quran. Akan tetapi jika ilmu lain, hukumnya
menjadi makruh. Dalil mereka:
- Al-Nafrawi, salah satu ulama madzhab Maliki mengatakan:
وفرق أهل المذهب بين جوازها على القرآن وكراهتها على تعليم غيره، بأن
القرآن كله حق لا شك فيه، بخلاف ما عداه مما هو ثابت بالاجتهاد فإن فيه
الحق والباطل
“madzhab ini membedakan antara hukum mengambil upah dalam pengajaran
Quran dan selain Quran. Itu karena Al-Quran semua isinya ialah haq
(kebenaran) dan tidak ada lagi keraguan. Berbeda dengan ilmu lainnya
yang dibangun dengan ijtihad manusia, yang di dalamnya bisa saja
terdapat kebenaran dan juga kesalahan”[15]
- Mengajarkan ilmu agama adalah sebuah kewajiban, karena itu
kewajiban maka mengambil upah atas sebuah kewajiban justru membatalkan
nilai kewajiban itu, karena tidak ada imbalan untuk sebuah kewajiban.
Sedangkan Al-Quran sudah ada hadits yang membolehkan mengambil upah dari
itu.
- Mengambil upah atas pengajaran suatu ilmu justru akan
berujung pada keengganan umat untuk mempelajari ilmu agamanya sendiri
karena mahal biaya yang harus dikeluarkan.[16]
Pandangan Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i membolehkan
mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain,
madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah
ditentukan dan materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan
sebelumnya.
Mereka berpandangan bahwa mempelajari suatu bidang ilmu itu hukumnya
Fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang jika salah seorang mengerjakan
maka gugur kewajibannya untuk yang lain. Karena itu Fardhu Kifayah,
maka mengajarkannya pun mempunyai hukum yang sama
Karena ini sebuah kewajiban yang dibebankan untuk semuanya, maka
tidak perlu adanya pengambilan upah dalam hal ini. Kalau ada upah, maka
hilang nilai kewajibannya. Berbeda jika halnya si pengajar sudah
ditetapkan kepada si ustadz Fulan untuk mengajatkan materi ilmu
tertentu. Maka akad yang terjadi menjadi akad Ijaroh yang dibolehkan
mengambil upah di dalamnya.[17]
Masing-Masing Sadar Diri
Dari urain masing-masing kelompok atas apa yang mereka pegang dalam
hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran
atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduany punya tujuan
mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu.
Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan peradaban
serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan
pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan
menahan ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk
mengaksesnya.
Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru dan ulama yang
seakan terabaikan dengan tidak adanya imbalan yang mereka dapat.
Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang kebutuhannya harus
terpenuhi.
Kalau mereka dibiarkan begitu saja, jangan salahkan nantinya para
generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu, terlebih lagi ilmu
syariah karena para ulama sibuk dengan urusan dapur mereka
masing-masing, bukan dengan mengajar. Dan itu disebabkan karena mereka
tidak mendapatkan upah apa-apa dari ilmu yang mereka ajarkan.
Dan kejadian seperti itu bukan sekedar ispan jempol belaka. Kita
sudah melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang ulama
yang terpinggirkan dan meninggalkan aktifitasnya sebagai ulama yang
mengajarkan ilmu agama karena kebutuhan yang mendesaknya untuk
meninggalkan dunia keilmuan.
Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu yang
diajar juga harus sadar bahwa guru dan ustadz mereka punya kebutuhan
dunia yang harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak
menjadikan dakwah layaknya bisnis property dengan ekspektasi
keuntungan berlimpah jika dapat panggilan.
Jangan akhirnya malah malah melupakan niat awal dakwah, yaitu
pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat untuk diamalkan dan diajarkan
kepada mereka yang tidak mengetahui. Ulama punya kewajiban mencerdaskan
umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak
menentukan bayarannya, tapi jika diberikan tak perlu menolak.
Jangan pula memasang tariff tinggi sehingga orang yang ingin berguru
menjadi antipasti akhirnya. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya
mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut
oleh Allah swt di hari kiamat nanti dengan tali pecut dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dan tidak ada proses penyembunyian ilmu yang paling sarkas kecuali dengan menetapkan harga dakwah setinggi langit.
Wallahu a’lam
[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 22/202
[2] Al-Bahru Al-Roiq 8/22, Al-Asybah wa Al-Nazoir 1/53, Tabyiin Al-Haqoiq 5/124, Bada’i Al-Shona’i 4/191
[3] Al-Syarhu Al-Kabir 6/63, Al-Mughni 6/143
[4] Al-Dzakhiroh 4/501, Syarh Mukhtasho Kholil 7/19
Sumber : rumahfiqih.com