By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Ketika ditanya “Apakah yang membatalkan puasa?”, ulama dalam kitab-kitab mereka selalu menjawab [ما وصل إلى الجوف] “Apa yang sampai/masuk ke Jauf.” Dalam terjemah bahasa Indonesia yang normal, Jauf [جوف]
berarti Rongga. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah,
apakah yang dimaksud Rongga oleh ulama ketika menjelaskan fiqih Puasa?
Karena kalau rongga saja, tubuh manusia
itu banyak rongganya. Karena dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Rongga
itu artinya bolongan atau celah dalam tubuh. Jadi kalau yang dimaksud
rongga seperti itu, jelas puasa kita pasti sudah batal karena banyak
sekali rongga yang kemasukan sesuatu.
Tapi nyatanya ulama Fiqih punya
penafsiran lain tentang rongga yang dimaksud dalam hal membatalkan puasa
tersebut, bukan rongga asal rongga. Dalam hal ini, ulama terbagi dalam 2
kelompok besar;
Pertama:
ulama yang mengatakan bahwa Jauf yang
dimaksud itu ialah seluruh anggota tubuh manusia yang mempunyai rongga
atau ruang. Seperti Faring tenggorokan, otak (rongga tengkorak), rongga
perut, rongga dada, rongga telinga, rongga hidung dan seterusnya sampai
usus serta lambung.
Kedua:
Kelompok ulama lain yang mengatakan bahwa Jauf (Rongga)
yang dimaksud oleh ulama fiqih dalam masalah puasa ialah hanya lambung,
atau alat pencernaan manusia seperti usus dan lambung. Selain itu
bukanlah disebut Jauf.
Nah perbedaan pendapat inilah yang
akhirnya membuat perbedaan hukum dalam hal sesuatu yang membatalkan
puasa. Apakah yang masuk dalam rongga secara makna umum? Atau rongga
yang dimaksud dengan lambung sebagai tempat makanan? Untuk lebih
jelasnya berikut penjelasan Jauf (Rongga) menurut 4 madzhab Fiqih;
1. Madzhab Hanafi
Madzhab Imam Abu Hanifah memandang bahwa Jauf ialah antara Lubbah [اللبة] (bagian bawah tenggorokan dan permulaan dada) sampai ‘Aanah [العانة] (bagian tubuh yang ditumbuhi bulu kemaluan). (Duror Al-Hukkam Syarh Ghuror Al-Ahkam 2/468)
Jadi tenggorokan yang bermula setelah rongga mulut bukanlah Jauf yang
dimaksud, kalaupun ada sesuatu yang masuk, sejatinya tidak membatalkan
puasa menurut pendapat ini, akan tetapi memasukan sesuatu kesitu sangat
bisa membatalkan puasa karena kalau sudah masuk tenggorokan, kemungkinan
masuk ke dalam Jauf melalui itu sangat mungkin.
Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i Al-Shona’i mengatakan:
وَيُكْرَهُ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْضُغَ لِصَبِيَّتِهَا طَعَامًا وَهِيَ صَائِمَةٌ
لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَصِلَ شَيْءٌ منه إلَى جَوْفِهَا إلَّا إذَا
كان لَا بُدَّ لها من ذلك فَلَا يُكْرَهُ لِلضَّرُورَةِ….. وَكَذَا
يُكْرَهُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَذُوقَ الْمَرَقَةَ لِتَعْرِفَ طَعْمَهَا
لِأَنَّهُ يُخَافُ وُصُولُ شَيْءٍ منه إلَى الْحَلْقِ فَتُفْطِرُ وَلَا
بَأْسَ لِلصَّائِمِ أَنْ يَسْتَاكَ سَوَاءٌ كان السِّوَاكُ يَابِسًا أو
رَطْبًا مَبْلُولًا أو غير مَبْلُولٍ
“dimakruhkan bagi wanita untuk mengunyah
makanan (keras guna dilembutkan) untuk makanan anaknya, karena kecil
kemungkinan makanan itu tidak sampai ke jauf kecuali memang makanan itu
mau tidak mau memang harus dikunyah untuk si anak…….. dan dimakruhkan
juga bagi perempuan untuk mencicipi rasa kuah sup masakannya, karena
dikhawatirkan akan masuk ke dalam jauf. Dan tidak mengapa bagi orang
yang berpuasa untuk bersiwak, baik itu siwak basah atau kering” (Bada’i Al-Shona’i 2/106)
Dan otak (rongga tengkorak) [دماغ] dalam madzhab ini juga dipandang sebagai Jauf yang kalau ada sesuatu masuk ke dalamnya maka itu membatalkan puasa, karena dari otak (rongga tengkorak) ada jalur menuju Jauf. Dijelaskan oleh Imam Al-Kasani:
وَمَا
وَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى الدِّمَاغِ عَنْ الْمَخَارِقِ
الْأَصْلِيَّةِ كَالْأَنْفِ وَالْأُذُنِ وَالدُّبُرِ بِأَنْ اسْتَعَطَ أَوْ
احْتَقَنَ أَوْ أَقْطَرَ فِي أُذُنِهِ فَوَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى
الدِّمَاغِ فَسَدَ صَوْمُهُ …. وَكَذَا
إذَا وَصَلَ إلَى الدِّمَاغِ لِأَنَّهُ لَهُ مَنْفَذٌ إلَى الْجَوْفِ
فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَا الْجَوْفِ
“dan apa yang masuk ke dalam jauf atau
otak (rongga tengkorak) melalui jalur rongga asli seperti mulut, hidung,
atau telinga, seperti orang yang menyuntik atau meneteskan tetesan di
ke telinganya, kemudian masuk ke jauf dan otak (rongga tengkorak) maka
batal puasanya…..dan begitu juga ke otak (rongga tengkorak), karena ia
punya jalur yang menuju jauf” (Bada’i Al-Shona’i 2/93)
Jadi menurut madzhab ini Jauf itu bukan hanya lambung sebagai tempat makanan, akan tetapi rongga-rongga tubuh bagian dalam juga termasuk dalam kategori Jauf yang kalau sesuatu masuk, maka membatalkan.
2. Madzhab Maliki
Madzhab ini sama seperti madzhab Hanafi dalam hal ini, bahwa Jauf
itu bukan hanya lambung akan tetapi mencakup rongga tubuh bagian dalam
juga. Hanya bedanya, madzhab ini tidak menganggap otak (rongga
tengkorak) [دماغ] sebagai Jauf.
Ulama madzhab ini masih berselisih apakah otak (rongga tengkorak) termasuk Jauf atau tidak. akan tetapi pendapat yang masyhur ialah otak (rongga tengkorak) termasuk dalam Jauf. Imam Al-Khorsyi mengatakan:
وَاسْتِنْشَاقُ
قِدْرِ الطَّعَامِ بِمَثَابَةِ الْبَخُورِ ؛ لِأَنَّ رِيحَ الطَّعَامِ
لَهُ جِسْمٌ يَتَقَوَّى بِهِ الدِّمَاغُ فَيَحْصُلُ بِهِ مَا يَحْصُلُ
بِالْأَكْلِ
“menghirup udara priuk makanan sama
seperti menghirup dupa, asapnya punya jasad yang memperkuat otak (rongga
tengkorak), sama seperti makanan (yang memperkuat badan)” (Syarh Mukhtashor Kholil 2/249)
3. Madzhab Syafi’i
Masih sama seperti pendahulunya, bahwa Jauf itu ialah otak (rongga tengkorak) dan hulu kerongkongan sampai usus dan lambung. Hanya saja madzhab ini lebih luas memaknai Jauf, didasarkan atas azas kehati-hatian yang sering digunakan madzhab ini dalam ibadah.
Dan bahkan mulut bagian dalam itu sudah termasuk Jauf, yaitu tempat keluarnya huruf Ha (kecil) yang berada di awal bagian tenggorokan. Menurut madzhab ini, itu sudah termasuk Bathin (Bagian dalam) mulut yang kalau ada sesuatu masuk kedalamnya sesuatu, itu membatalkan puasa.
Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Al-Minhaj:
فَلَوْ
نَزَلَتْ مِنْ دِمَاغِهِ وَحَصَلَتْ فِي حَدِّ الظَّاهِرِ مِنْ الْفَمِ
فَلْيَقْطَعْهَا مِنْ مَجْرَاهَا وَلْيَمُجَّهَا، فَإِنْ تَرَكَهَا مَعَ
الْقُدْرَةِ فَوَصَلَتْ الْجَوْفَ أَفْطَرَ فِي الْأَصَحِّ.
“kalau ada sesuatu yang turun dari otak
(rongga tengkorak) (berupa tetesan) dan sampai pada bagian zohir (luar)
mulut, maka dia harus menghentikan alurnya dan meludahkannya. Kalau dia
membiarkannya padahal dia mampu, lalu itu masuk kedalam jauf, maka batal
puasanya” (Al-Minhaj 106)
Untuk batas bagian luar dan dalam mulut, itu dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaj
ketika mensyarah matan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Minhaj-nya diatas.
Bahwa batasan luar dan dalam mulut ialah tempat keluarnya huruf Ha kecil.
4. Madzhab Hanbali
Berbeda dengan pendahulunya, justru madzhab ini lebih melihat bahwa yang dimaksud Jauf dalam fiqih shaum itu ialah Ma’idah [معدة], yaitu
lambung sebagai tempat makanan dan tempat pencernaannya. Kalau hanya
masuk kedalam rongga namun tidak sampai lambung atau usus, maka tidak
dikatakan membatalkan puasa. Tapi mereka juga sepakat dengan yang lain
bahwa otak (rongga tengkorak) [دماغ] juga termasuk jauf.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan:
أَنَّهُ
يُفْطِرُ بِكُلِّ مَا أَدْخَلَهُ إلَى جَوْفِهِ ، أَوْ مُجَوَّفٍ فِي
جَسَدِهِ كَدِمَاغِهِ وَحَلْقِهِ ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَنْفُذُ إلَى
مَعِدَتِهِ ، إذَا وَصَلَ بِاخْتِيَارِهِ ، وَكَانَ مِمَّا يُمْكِنُ
التَّحَرُّزُ مِنْهُ
“bahwasanya batal puasanya dengan
sesuatu yang masuk kedalam jauf-nya atau jauf (rongga) lain badannya
seperti otak (rongga tengkorak) dan tenggorokan yang sampai masuk ke lambungnya, kalau itu masuk dengan kehendak sendiri dan sejatinya bisa dihindari.” (Al-Mughni 3/36)
Dikuatkan oleh Imam Al-Mardawi dalam kitabnya Al-Insof ketika menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan puasa:
لو أدخل شيئا إلى مجوف فيه قوة تحيل الغذاء أو الدواء من أي موضع كان
“…(batal puasanya) kalau memasukan
sesuatu ke dalam rongga yang di dalamnya punya kekuatan untuk mencerna
makanan atau obat dari rongga manapun masuknya” (Al-Insof 3/212)
Dan tidak ada organ tubuh yang bisa
mencerna makanan kecuali usus dan juga lambung. Jadi dalam madzhab ini,
segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga, itu membatalkan puasa jika
memang benar-benar masuk ke dalam lambung sebagai tempat makanan dan
pencernaannya.
Jadi syaratnya menurut pandapat madzhab ini ialah harus masuk ke dalam perut atau lambung, tidak hanya masuk rongga saja.
Ulama Kontemporer
Ulama komtemporer melihat bahwa Jauf yang dimaksud dalam hal membatalkan puasa sama seperti pendapat madzhab Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa Jauf yang dimaksud dalam fiqih puasa itu ialah lambung atau usus sebagai tempat makanan dan alat pencerna.
Ini didasarkan bahwa puasa itu adalah ibadah fisik yang terukur, yang dalam istilah fiqih disebut sebagai [عبادة معقولة المعنى] “’Ibadah Ma’qulah Al-Ma’na”. maksudnya
ialah ibadah ini bukanlah ibadah yang abstrak yang tidak bisa diukur
dengan akal manusia. Tapi justru puasa itu ibadah yang bisa diukur.
Bisa diukur bahwa puasa itu ialah “Imsak (menahan) diri dari makan, minum dan syahwat untuk menggauli pasangan di siang hari Ramadhan”.
Dan organ tubuh yang menjadi tempat
makanan ialah lambung serta usus, dan begitu juga bahwa bada itu
mengambil manfaat dari apa yang masuk ke dalam lambung sebagai makanan
untuk memperkuat tubuh. Dan itu yang membuat rusak puasa seseorang,
karena memang definisinya ialah menahan dari makan dan minum.
Maka ketika sudah ada asupan ke dalam
itu, maka batal lah puasanya. Dan tidak batal kalau memang tidak masuk
ke dalam lambung. Karena memang makanan dan minuman tidak masuk dan
tidak bisa dicerna kecuali di lambung melalui usus.
Alat Bantu Nafas
Dan masalah yang paling menonjol dalam
perbedaan ini ialah perbedaan hukum memakai alat bantu nafas bagi
penderita asma. Apakah puasanya tidak dengan memakai itu atau tidak?
Sebagian ulama komtemporer memandang itu
tidak membatalkan puasa, dengan alasan bahwa gas yang terhirup walaupun
masuk ke dalam rongga hanya saja itu tidak masuk ke dalam lambung akan
tetapi hanya sampai paru-paru saja untuk membantu bernapas. Terlebih
lagi bahwa angina atau gas yang disemprotkan alat itu bukanlah makanan
dan tidak berkedudukan sebagai makanan yang menguatkan badan.
Walaupun memang tidak semua ulama
kontemporer mengamini ini, namun sebagian besar manganut ini sesuai
dengan penilitian dan studi medis yang dilakukan oleh DR. Muhammad Ali
Al-Baar, seorang ahli kedokteran Islam dari Univ. King Abdul Aziz
Jeddah.
Hasil studinya diajukan dalam muktamar Majma’ Fiqh Islam Internasional [مجمع الفقه الإسلامي الدولي] yang diselenggarakn di Saudi Arabia tahun 1418 H / 1997 M. Kemudian muktamar mengekuarkan Qoror (keputusan) no. 93 bahwa alat bantu nafas tidak membatalkan puasa.
Selain alat bantu nafas juga ada beberapa masalah yang terkait masalah definisi Jauf ini dalam hal perkara-perkara kontemporer yang membatalkan puasa [مفطرات الصيام المعاصرة], seperti pemakaian oksigen tambahan bagi penderita asma akut, melakukan injeksi dan sejenisnya. Wallahu A’lam.
Sumber : rumahfiqih.com