By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Ramadhan kemarin, ketika menjadi
pembicara dalam sebuah forum kajian saya dikomplain langsung di TKP oleh
salah seorang hadirin. Alasannya karena saya memberikan konklusi
tentang apa yang dibahas itu sebagai barang syubhat yang tentu lebih baik untuk ditinggalkan.
Syubhat karena memang tidak ada kejelasan hukum, apakah sesuatu itu
masuk dalam perkara yang haram atau yang halal. Karena yang halal itu
punya dalil yang jelas, dan yang yang harampun jelas dalil keharamannya.
Dan ini tidak pada kedua itu.
Dengan nada yang agak marah, beliau complain:
"Saya sayangkan perkataan
ustadz, bahwa itu adalah perkara syubhat. Padahal tadinya ustadz bilang
kalau ustadz tidak pada posisi mengharamkan, tapi kenapa bilang syubhat?
Karena kalau syubhat berarti kan haram. Kita semua di sini berarti
melakukan dosa dong, karena itu haram”.
Ya, wajar saja beliau marah, mungkin beliau melakukan praktek itu dan ketika saya katakan hukumnya syubhat, beliau jadi tersinggung. Dan wajar pula karena beliau memahami bahwa syubhat itu artinya haram padahal bukan begitu. Beliau beralasan dengan potongan hadits Nabi SAW berikut ini :
ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام
“siapa yang melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram” (HR Bukhari dan Muslim)
Rupanya beliau ini memahami secara tektual saja, bahwa yang namanya syubhat itu berarti sama saja dengan haram. Oleh karena itu siapa saja yang melakukan sesuatu yang hukumnya masih syubhat, berarti melakukan yang haram dan karena itu pasti berdosa.
Padahal kalau kita teliti
sebenarnya maksud haditsnya tidak seperti yang beliau duga. Tetapi Saya
harus memberi permakluman, sebab beliau ini nampak semangat sekali
belajar agama.
Mari kita buka matan haditsnya yang beliau kutip itu secara lengkap.
إنَّ الْحَلالَ بيِّن وإنَّ الْحَرَامَ بَيِّن وبينهما أمور مُشْتَبهاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس فَمَنِ اتَقى الشبهات استبرأ لِدِينهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام كَالرَّاعي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرْتَعَ فِيهِ.
"Sesungguhnya yang halal itu telah
jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada
perkara yang samara-samar yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum) nya. Siapa yang menghindari perkara samara-samar, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Ibarat penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.
Pembagian Hukum : Halal, Haram dan Syubhat
Dalam hadits ini, secara jelas Nabi SAW menerangkan bahwa suatu perkara itu ada 3 jenisnya, yaitu halal, haram dan syubhat. Yang
halal jelas karena memang berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa perkara ini benar-benar halal dan sulit dibantah kehalalannya,
seperti makan, minum, berjalan, tidur dan sebagainya.
Ada juga perkara yang haram karena
memang jelas dalil keharamannya dan sulit sekali bahkan tidak bisa
dibantah, seperti keharaman mencuri, berzina, riba, minum khomr dan
sebagainya.
Dan jenis ketiga yaitu syubhat, yaitu
perkara yang memang masih dalam ranah ketidak-jelasan antara halal atau
haram. Tidak bisa dikatakan halal, karena berbau haram. Namun tidak
bisa juga disebut haram, karena ketidakjelasan atau tidak ditemukan
dalil pengharamannya.
Sampai sini jelas bahwa sesungguhnya hukum syubhat itu
bukanlah perkara haram itu sendiri. Kalau memang itu haram, lalu buat
apa Nabi SAW membaginya menjadi 3 jenis? Kenapa Nabi SAW tidak langsung
saja mengatakan bahwa “..Syubhat itu bagian dari haram..”.
Dan pembagian Nabi SAW atas
perkara itu menunjukkan bahwa setiap bagian itu tidaklah sama dengan
bagian yang lain. Pembagian itu mengindikasikan perbedaan masing-masing
bagian.
Penjelasan Al-Imam An-Nawawi Dalam Syarah Nawawi li Muslim : Syubhat itu Relatif
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini dalam kitabnya Syarhun-Nawawi Li-Muslim, mengatakan bahwa perkara syubhat itu ialah perkara yang relatif. Bisa jadi hukum syubhat berlaku hanya untuk orang tertentu, namun bisa jadi hukumnya amat jelas dan tidak syubhat bagi orang lain.
Dalam teks hadits juga disebutkan
لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس “
Sedangkan di antaranya ada perkara yang samar-samar yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum) nya….”
Teks hadits tersebut menurut Imam Nawawi mengisyaratkan bahwa perkara syubhat itu
untuk orang awam yang memang tidak mengetahui hukum agama. Sedangkan di
mata para fuqaha dan ulama yang ilmunya mendalam, pada hakiatnya
perkara yang hukumnya syubhat itu malahnyaris tidak ada.
Kenapa?
Karena yang namanya ulama sudah
pasti punya ilmu yang mendalam dan sangat mengetahui bagaimana cara
mengambil sebuah kesimpulan hukum pada sesuatu yang memang tidak ada
nash secara langsung. Para ulama bisa menggunakan metode Qiyas, Istishhab atau sumber hukum lainnya. Jadi perkara yang buat orang awam jatuhnya syubhat , bagi orang alim menjadi tidak syubhat alias tidak ada samar-samar lagi. Hal itu semata-mata karena kedalaman ilmu agama yang mereka kuasai.
(Syarhun-Nawawi Li-Muslim 11/27)
Ini berarti bahwa perkara syubhat itu
hanya perkara subjektif yang bisa saja hilang. Seseorang ketika baru
saja berhadapan dengan sebuah perkara yang samar-samar dan ia tidak tahu
apa hukumnya, ini menjadi syubhat.
Tapi ketika ia mulai belajar atau
meminta petunjuk dari seorang ulama atas hukum perkara tersebut, yang
awalnya samar-samar menjadi tidak rancu lagi dan hilang ke-syubhat-annya karena ia telah mengetahui hukumnya, entah itu jadi yang haram atau jadi yang halal. Jadi memang Syubhat itu tidak baku dan bisa hilang.
Benarkah Orang Yang Melakukan Syubhat = Melakukan Keharaman
Lalu kalau memang demikian, lantas bagaimana kita memahami potongan hadits berikut :
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام
Siapa yang melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram.
Secara harfiyah memang orang bisa saja keliru memahami potongan teks ini. Namun mari kita telaah penjelasan dari Imam Nawawi. Menurut beliau, potongan teks ini mempunyai dua makna :
Makna Pertama: seseorang melakukan yang perbuatan yang hukumnya syubhat secara
terus menerus, walaupun dia tidak tahu hukumnya. Sehingga ada sikap
agak menyepelekan hukum suatu perkaradan tidak mau mempelajarinya. Dan
sikap meremehkan inilah perkara yang syubhat itulah sampai akhirnya ia melakukan yang haram tanpa ia sadari.
Makna Kedua: seseorang terbiasa menggampangkan sesuatu yang syuhbat, karena terlalu menggampangkan, ia terbiasa melakukan. Kalau sudah terbiasa melakukan yang syubhat, ia akan terus melakukan syubha-syubhat yang lain, karena terbiasa menggampangkan.
Dan sifatnya yang menggampangkan
ini, membuat setan lebih mudah untuk menggodanya dan akhirnya ia juga
akan terbiasa melakukan yang haram tanpa ada rasa bersalah dan malu.
Karena sudah berani melakukan yang syubhat, yang harampun menjadi biasa dan tidak risih lagi untuk melakukannya.
(Syarhun-Nawawi Li-Muslim 11/29)
Penjelasan Al-Imam Ash-Shan'ani Dalam Subulus-salam
Al-Imam Ash-Shan’aniy dalam kitabnya Subulus-Salam (4/171) yang merupakan kitab syarat dari kitab hadits Bulughul Maram, juga ikut menjelaskan makna potongan hadits ini juga.
Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku syubhat itu jatuh kepada yang haram adalah orang yang melakukan syubhat biasanya sangat dekat dengan keharaman. Ibaratnya syubhat itu jembatan menuju perkara yang haram, sebagaimana yang dijelaskan dengan teks hadits selanjutnya.
“Seperti penggembala yang berada
di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan
masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan
(undang-undang), ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang
diharamkan-Nya.”
Logikanya, kalau sesorang berani melakukan yang syubhat, bukan
tidak mungkin dan sangat mungkin sekali ia berani melakukan yang haram.
Karena bagaimanapun setan terus saja menggoda manusia dan membuatnya
meremehkan sesuatu yang haram sebagaimana ia meremehkan sesuatu yang syubhat.
Meninggalkan Syubhat Melembutkan Hati
Sebenarnya perkara syubhat ini
lebih dekat ke perkara hati sebagai benteng iman dalam melakukan segala
hal. Seberapa berani kah diri ini melakukan sesuatu yang memang
meragukan kehalalannya walaupun tidak ada dalil yang jelas atas
keharamannya. Ujung-ujungnya melatih diri untuk lebih berhati-hati dalam
bertindak terlebih pada masalah syariah.
Di ujung hadits ini dijelaskan
bagaimana kerasnya hati kita jika terus menerus berani melakukan perkara
yang samar-samar hukumnya. Dengan terus menerus menahan diri bersikap wara’ dan tidak menenggelamkan diri ke dalam sesuatu yang masih sangat rancu, itu semakin memupuk kekuatan iman dalam diri.
Tentu kita masih ingat bagaimana para ulama salaf sangat takut dengan perkara yang syubhat. Dalam
sebuah riwayat diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah menolak untuk memakan
daging selama beberapa tahun. Alasannya bukan karena takut kolesterol
atau darah tinggi, juga bukan karena bokek tidak punya duit buat makan
sate. Dan beliau juga tidak pecicilan bikin fatwa haramnya makan daging kambing.
Ternyata alasannya sederhana
sekali. Beliau tidak makan daging kambing cuma karena tahu bahwa kambing
tetangganya hilang. Maka beliau khawatir sekali kalau sampai makan
daging dari kambing hilang milik tetangganya itu. Wah . . . keren
sekali.
Bagaimana dengan kita? Sewara' itukah kita saat ini? Tanyakan pada hati nurani kita masing-masing.
Wallahua’lam
Sumber : rumahfiqih.com