CINTAILAH TUHAN, NISCAYA SEGALANYA JADI INDAH:
SEBUAH PROLOG
Oleh : Husein Muhammad
Mengagumkan.
Dalam rentang waktu yang tidak panjang, dia hadir dengan tiga buku,
termasuk buku ini. Ini sebuah prestasi yang amat jarang lahir dari dalam
tradisi seorang Nyai yang mengasuh ratusan santri dengan setumpuk beban
tanggungjawab. Dua yang pertama : “Ketika Aku Gila Cinta” dan “Setumpuk
Surat Cinta”. Keduanya merupakan karya-karya yang menyenandungkan
puisi-puisi cinta penuh gairah, rindu dendam dan ratapan-ratapan yang
menghempaskan. Melalui puisi-puisi itu dia ingin mengekspresikan esensi
nurani yang tak tertahankan. Meski diungkap dengan bahasa yang terang
benderang, para pembaca puisi-puisinya tetap tak akan pernah bisa
memaknainya seperti yang dimaknai penulisya. Bahasa, apalagi puisi,
selalu mengandung ambiguitas makna. Pembaca juga tak tahu bagaimana
gelora nurani itu kemudian mengalir begitu deras dan bergemuruh. Bahasa
spiritual adalah sebuah misteri.
Kini
Masriyah Amva hadir dengan bukunya yang ketiga. Berbeda dengan dua
bukunya yang pertama, Nyai Masriyah melalui buku ini tampaknya sudah tak
tahan lagi untuk segera bisa menghamparkan perjalanan spiritualitasnya
ke hadapan pembaca dengan gaya prosaik, meski tidak melulu. Di
sela-selanya ia menulis puisi. Dia mengingat seluruh dan penuh hari-hari
yang ditapakinya pada momen-momen penting kehidupannya; ketika kecil,
ketika nyantri di pesantren, ketika perkawinannya yang pertama,
ketika mendampingi suaminya menjelang ajal, hingga keberadaanya
sekarang. Dia mencatat dalam memori hatinya setiap momen murung yang
mendekap dan setiap ektase yang meluap. Boleh jadi buku ini sengaja
ditulis untuk menjawab pertanyaan sejumlah orang yang sudah membaca dua
bukunya yang pertama. Apakah dan bagaimanakah gerangan Masriyah yang
lembut dan sering termangu dalam diam, sampai mampu menulis puisi-puisi
cinta Tuhan yang begitu menukik ke relung-relung sanubari?. Dia agaknya
ingin menghadirkan sunyi-luka-kangen itu ke ruang terbuka dengan
telanjang, polos dan membiarkan segalanya tumpahruah di hadapan publik.
Meski perjalanan hidup seperti yang dialami Nyai Masriyah sangat mungkin
terjadi pada tidak sedikit orang, tetapi sungguh mengagumkan bahwa dia
mampu menumpahkan pengalamannya itu tanpa beban, bahkan dengan penuh
kegembiraan.
Nyai
(sebutan untuk pengasuh pesantren perempuan) yang satu ini adalah sosok
yang acap dipagut kesunyian dan kemurungan yang sering, tetapi dalam
waktu yang sama dia adalah pribadi dengan kekuatan penuh untuk tetap
ingin hadir sebagai sebuah eksistensi yang kokoh. Dia ingin tetap
mewujud dalam ruang dan waktu yang terus berjalan berkelok-kelok dan
tetap berguna bagi orang lain, terutama santrinya. Baginya tak ada jalan
lain untuk eksis kecuali hidup dengan menghembuskan nafas-nafas
ketuhanan. Dan Tuhanpun kemudian terus menyeruak dan menyusup ke
urat-urat nadinya, hingga tak ada lagi ruang kosong tanpa Dia di
dalamnya. Dari seluruh bukunya Nyai Masriyah tampaknya hanya ingin
berpesan kepada pembacanya: “Cintailah Tuhan, niscaya segalanya akan
menjadi indah, karena Dia adalah pusat segala”.
Pesan
ini mengingatkan saya pada para mistikus besar dari semua agama. Mereka
menggumamkan nyanyi lirih Cinta ini. Cinta kepada Tuhan merupakan
puncak perjalanan spiritualitas para mistikus dari seluruh aliran dan
agama. Cintalah yang menyatukan seluruh. Cinta adalah jalan untuk
membebaskan diri dari ketakberdayaan manusia di hadapan
realitas-realitas semesta yang tak bisa lagi diajak bicara baik-baik atau tak lagi mau mendengar keluh. Ketika
segala komunikasi mampat, tak ada jalan, dan ketika bicara dengan yang
lain tak ada lagi akrab dan tak lagi manis, maka Tuhan adalah
satu-satunya Eksistensi yang selalu mengulum senyum, menyapa begitu
lembut dan mengulurkan Tangan. Maka dua eksistensi yang rindu bertemu
dan kebahagiaanpun tumpah meruah. Pada setiap momen kehidupan di alam
semesta, Tuhan sesungguhnya adalah Realitas yang selalu hadir,
menyingkapkan misteri-misteri, rahasia-rahasia semesta (al-asrar),
kenihilan-kenihilan, nuansa-nuansa yang mengagumkan sekaligus
menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali lain, di hadapan
jiwa yang merana, yang mendamba, yang takjub dan yang tak paham.
Jika
sudah begini, saya selalu ingat Rumi (Jalaluddin). Dia adalah mistikus
muslim terbesar sepanjang sejarah. Berpuluh dan beribu bait nyanyian
rindu dan sedu-sedannya kepada Sang Realitas Abadi telah ditulis Rumi.
Dengan nuraninya yang bening yang merindu dia mengurai begitu panjang
kehidupan semesta yang sesungguhnya, menurutnya, adalah keindahan
semata. Rumi menemukan, semua yang maujud adalah karena Dia Menyinta dan
Dicinta. Rumi bergumam :
Adalah cinta yang membuatnya terbang pulang
Menyobek, pada setiap saat, seratus tirai penghalang
Rumi
mengagumi matahari. Baginya ia adalah simbol Ketuhanan di mana segala
sesuatu bagaikan partikel-partikel debu bagai “dzarrah” yang berpendar
dan beredar mengelilingi sebuah Titik. Dan titik itu adalah Tuhan,
Realitas Eksistensial yang abadi dan yang “tan kinaya apa”. Dialah Sang
Kekasih Sejati. Ketika bertemu, Rumi menari-nari girang sambil
bersenandung :
Sang Kekasih memancarkan cahaya bak matahari
Para pecinta beredar mengelilinginya laksana atom
Saat angin musim semi cinta mulai berhembus,
Setiap ranting-ranting belum kering turut matahari
Tarian
spritual cinta yang meliuk-liuk dalam kegirangan yang meluap-luap
seperti tarian Darwisy nya Rumi itu tentu tidak mudah ditatap dengan
nalar rasional. Nalar tak mungkin sanggup menembus relung-relung yang
terdalam dan bergejolak. Pencarian nalar akan berakhir dengan
kekandasan, nihil dan boleh jadi kegilaan. Dunia spiritual adalah sebuah
pengalaman yang amat sangat personal dan misterius. Maka jalan yang
mungkin adalah melompat ke dunia lain, dunia rasa, ruang imaginasi,
ruang intuisi dan ruang khayal untuk menembus Yang Tak Terbatas dan Yang
Taktepermanai, tempat segala misteri irasional tersingkap.
Begitulah,
Nyai Masriyah Amva telah berada dalam dunia spiritual seperti itu
berhari-hari dan bertahun-tahun, manakala segala nalar kandas, tak bisa
menembus. Dan dia menampakkan dirinya sebagai pribadi yang kokoh, paling
tidak sampai hari ini. Nyai, perjalananmu masih panjang. Dunia terus
bergerak dalam siklus yang tetap; kemurungan, kegembiraan dan
musim-musim akan terus berganti. Teruslah mencipta. Saya berharap
ekspresi sipritualmu akan terus mengembang, merekah dan semerbak. Bila
suatu saat kelak, engkau umrah, teruslah berjalan ke Konya, Turki.
Ziarahlah ke rumah Rumi. Engkau akan menjumpai, di sana, sang pecinta
agung. Rumi, seperti kita nantinya, pada akhirnya memang harus berhenti
pada satu titik untuk tak kembali, bernama Tuhan, Sang Kekasih Abadi.
Selamat untuk Nyai Masriyah Amva.
Cirebon, 07 Juli 2008
Husein Muhammad
Sumber :
https://www.facebook.com/notes/husein-muhammad/cintailah-tuhan/10151963548609811