Oleh Muhammad Nuruddin
Bagi banyak orang, memiliki anak itu adalah suatu kebahagiaan. Kita tidak mengingkari kenyataan itu. Raut wajah bahagia seringkali terlihat dari orang-orang yang telah melahirkan anak. Tapi orang juga sering lupa, bahwa selain bisa menjadi nikmat dan karunia, anak juga sebetulnya bisa jadi ujian hidup untuk para orang tuanya. Sebagaimana ada banyak orang yang merasa bahagia dengan kehadiran anak, di luar sana juga ada orang-orang yang justru jadi nelangsa ketika mereka tidak mampu mendidik anak. Waktu kecil membahagiakan orang tua. Tapi ketika dewasa malah bikin pusing kepala. Bukankah banyak orang yg mengalami itu?
Masalahnya, kalau kita memimpikan anak, kita tidak pernah tahu, yang kita impikan itu baik atau tidak untuk kita? Bagi Anda yang belum dikaruniai anak, berbaik sangka kepada Tuhan adalah jalan terbaik yang tidak ada gantinya. Siapa tahu sekarang Anda belum mendapatkan momongan, karena mungkin Tuhan melihat Anda belum layak untuk mendapatkan itu. Jangan-jangan, kalau dikasih sekarang, di waktu yang Anda mau, kehidupan Anda bisa berantakkan, stress gara-gara nggak bisa ngurus, dan pada akhirnya kehadiran anak justru menjadi kesengsaraan bagi hidup Anda sendiri.
Bukankah banyak orang yang mengalami itu? Saya sering memberikan pelajaran ini kepada isteri. Belum dikarunia anak dalam kurun waktu dua tahun itu bukanlah aib dan kekurangan. Di luar sana ada orang-orang yang baru punya anak setelah 5 tahun, 8 tahun, bahkan lebih dari itu. Justru menjadi aib kalau kita "maksa" gusti Allah untuk mengabulkan keinginan kita. Atau punya anak. Tapi tidak bisa mendidik dg cara yang baik. Sebagai hamba, tugas kita itu hanya meminta dan berusaha. Soal hasil, Tuhan pasti lebih tahu jalan yang terbaik. Ingat, Dia sering mengabulkan doa hamba-Nya dengan cara yang lebih indah. Dan pada waktu yang Dia mau. Bukan pada saat yang kita inginkan.
Bagi Anda yang sudah punya anak, syukurilah kehadiran mereka itu, dengan memberinya pendidikan sebaik mungkin. Selain berupa nikmat, anak juga sebetulnya masuk dalam daftar tanggungjawab. Dengan kepribadian apa mereka tumbuh, itu ditentukan dengan cara apa Anda mendidik. Di lingkungan macam apa Anda tempatkan mereka. Dengan manusia macam apa mereka dibiarkan bergaul. Juga sejauh mana Anda mampu memperkuat moralitas anak-anak Anda dengan nilai-nilai agama. Kalau kelak anak Anda tumbuh tidak sesuai dengan apa yang Anda harapkan, bahkan menjadi beban bagi kehidupan Anda, tengoklah kembali ke belakang.
Dulu Anda mendidik mereka dengan cara apa? Dengan cara marahin mulu, dikit-dikit nyuruh, dikit-dikit ngebentak, dikit-dikit ngomel. Kalau nyuruh kebaikan, gayanya selalu dengan kekerasan. Hak mereka untuk bermain malah dibatasi. Sekalinya dikasih main, malah kebablasan. Ujung2nya jadi anak internet. Percayalah, pola pendidikan semacam ini hanya akan membentuk kepribadian yang rusak. Mungkin Anda punya niatan baik. Tapi ingat, niat baik hanya akan memberikan hasil yang baik kalau ditempuh dengan cara-cara yang baik. Sekarang udah banyak anak-anak muda yang melawan orang tuanya.
Hidupnya sudah terpengaruh oleh dunia internet. Lingkungannya buruk. Sejak kecil, kurang mendapatkan pendidikan agama. Ketika dewasa, gaulnya sama orang-orang yang nggak beres. Yausah. Akhirnya terjadilah kenyataan pahit itu. Jangan salahkan mereka. Boleh jadi itu bermula dari kesalahan Anda sendiri. Mengurus anak itu butuh ilmu. Karena mengurus anak bukan cuma sebatas memberi makan, minum dan menemani mereka tidur. Dan di situlah pentingnya belajar. Kalau Anda belum dikarunia anak, boleh jadi karena Tuhan melihat Anda belum siap untuk memikul semua itu.
Sebetulnya ini bukan cuma soal anak. Dalam mencanangkan impian apapun, kita perlu belajar untuk menanamkan kesadaran itu. Kesadaran bahwa apa yang kita impikan tidak selamanya baik. Justru seringkali manusia meminta sesuatu yang buruk untuk dirinya. Tanpa dia sadari. Itu sering terjadi ketika dia meminta dengan dorongan dan pertimbangan hawa nafsu. Jangkauan pikiran manusia sangat terbatas. Tidak bisa membaca kebaikan secara utuh. Sementara Tuhan memutuskan sesuatu tidak dengan keterbatasan. Lalu putusan siapa yang lebih baik? Pastinya yang lebih tahu.
Dan, yang perlu Anda tahu, orang-orang yang punya cara pandang semacam ini akan lebih santuy dalam menjalani hidup ketimbang orang-orang yang punya pandangan berbeda. Kalau minta sesuatu sama Tuhan, pokoknya harus itu yang dikabulkan. Kalau kenyataan hidup nggak sesuai harapan, malah mengeluh, "kok hidup aku begini sih? Perasaan enak deh kalau hidup kaya orang itu tuh." Padahal dia sendiri masih diberi badan yang sehat, di dapurnya masih ada beras, stok air minum berlimpah, kebutuhan pokok masih terpenuhi, ibadah masih bisa. Kalau itu semua dicabut, uang ratusan juta justru harus keluar.
Dan dia nggak sadar itu. Karena melihat kenikmatan dari kehidupan orang lain. Ujung2nya mengeluh. Kenapa orang bisa mengeluh? Karena dia seringlupa dengan satu kenyataan, bahwa apa yang Tuhan pilih itu adalah jalan terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Cuma mereka nggak tahu. Dan terkadang nggak mau belajar untuk membangun kesadaran itu. Pengennya ngikuti apa kata keinginannya aja. Ujung-ujungnya dia menyengsarakan dirinya sendiri. Dengan cara pandang yang salah itu. Lain cerita dengan orang yang pasrah, dan belajar berbaik sangka kepada Tuhannya. Dari titik itulah sesungguhnya kebahagiaan hidup itu bermula. Kalau itu tidak ada, maka bersiap-siaplah untuk menelan ludah kesengsaraan.