Oleh: Nurul Fahmi*
Namanya Zainal Amin. Saya sering memanggilnya dengan "Bos Amin" seperti teman lain seangkatan kami di Lirboyo tamatan 2006. Di Asrama Sunan Bonang Tuban, teman-teman memanggil dengan Pak Amin. Karena sosoknya menunjukkan kedewasan, tidak cuma usia, tapi juga kedewasaan cara berpikirnya. Ia biasa berpikir terstruktur dan matang, utamanya dalam organisasi. Dulu awal mondok, sosoknya adalah pemikir yang logis dan realistis. Ini tentu agak unik untuk ukuran santri pesantren salaf.
Pemikirannya yang logis, terstruktur dan argumentatif itu menjadikannya ahli diskusi dan Bahtsul Masail yang sulit terkalahkan. Begitu juga dalam rapat-rapat organisasi. Karena itu ia terpilih menjadi Rois Am di salah satu kelas. Rois Am bertugas memimpin dan mengatur diskusi/musyawarah di kelas. Dan tentu ia yang paling menonjol di kelas. Saya mengira, kalau di Lirboyo sudah pernah menjadi Rois Am, kelihatannya kualitas pemikirannya kelak akan mumpuni kalau menjadi kiai setingkat PBNU atau PWNU. Soal takdir tentu faktor lain.
Ia juga sangat teguh memegang prinsip. Di antaranya ketika ia menjadi ketua kamar B 15 (lantai dua) Asrama Sunan Bonang, ia membuat keputusan yang -menurut kami- kontroversi. Ia akan memindahkan tangga yang menuju kamarnya di lantai dua. Tangga yang sudah puluhan tahun berada di sebelah Timur, akan ia pindahkan ke Barat. Hampir semua penghuni kamar bawah tidak setuju, termasuk saya yang waktu itu juga pengurus kamar bawah. Dan ternyata ia tidak bergeming. Ia tetap melanjutkan "proyek" pemindahan tangga. Kini tangganya berada di Barat kamar dan bekas tangga ternyata enak juga dibuat nongkrong ngopi. Poin intinya, prinsipnya sangat kuat.
Kecemerlangannya dalam berpikir akan oleng jika hanya mengandalkan logika, maka ia menghias dirinya dengan laku batin yang ia jalani. Ia memilih Shoum Dahr (Poso Naun= puasa bertahun-tahun). Dalam tradisi pesantren, dikenal istilah Puasa Dalail. Ia mengamalkan baca wirid Dalailul Khoirot sekaligus puasa bertahun-tahun. Ia juga laku Dalail Qur'an dibarengi puasa. Dan seabrek laku batin lainnya.
Salah satu laku batin yang sangat berat yang dilakukannya yaitu Puasa Ibnu Alwan. Laku puasanya bersama tiga santri lainnya itu sudah pernah saya ceritakan dan sudah saya tuliskan di buku saya "Terompah Kiai" (lihat foto bawah). Dan ia berhasil "menaklukkan" Puasa Ibnu Alwan, yang mana banyak santri yang gagal mengamalkannya. Keampuhan Ibnu Alwan ia ceritakan kepada saya. Ia mengalaminya sendiri. Tentu tidak perlu saya ceritakan di sini.
Laku batinnya yang sudah dikenal oleh teman-temannya membawanya menjadi Ketua Tim Ijazahan tamatan 2006 dengan dibantu oleh Gus Abdul Majid Blitar, Lora Aidy Makmun Sufyan Situbondo, dan lainnya. Tim Ijazahan bertugas mengatur jadwal ijazahan doa oleh masyayikh dan asatidz. Juga mengatur istighotsah di banyak tempat. Even ijazahan dan istighotsah ini menjadi semacam gemblengan spiritual bagi para santri yang akan tamat. Jika tidak tamat, tidak bisa mendapatkan even spesial ini.
Dua tahun setelah tamat dari Lirboyo, yaitu tahun 2008 ia menikah dengan Neng Nida putri KH. Abdussalam Rengel Tuban. Mbah Dus merupakan adik ipar KH. Athoillah Pondok Ploso Kediri. Pernikahannya itu melahirkan lima putra-putri. Dua anaknya sudah nyantri di Ploso dan Lirboyo Kediri. Saya pernah ke Lirboyo berdua dengannya dan ia nyambangi anaknya yang tinggal di Asrama Sunan Bonang.
Kami berdua cukup akrab, karena teman yang satu angkatan dan tinggal dalam satu Asrama (Sunan Bonang) cuma tiga; ia, saya sendiri, dan Mualif Masykur yang sekarang pindah ke Jawa Barat karena terpesona dengan Mojang Priangan. Jadilah tinggal kami berdua yang dulunya satu angkatan dan satu asrama. Maka kalau ada acara di Lirboyo, saya sering tawari dia untuk berangkat bareng.
Sekitar setahun yang lalu, saya dapat kabar dari adiknya, Gus M Mujab Alawy II kalau ia sakit kepala yang lumayan parah. Setelah di-CT Scan, ternyata ada tumor atau kanker di otaknya. Beberapa waktu agak mendingan, dan ketika mendengar teman akrabnya (Afandi Al Bashori Sidoarjo) wafat, ia ngedrop. Bahkan setelah itu, ternyata ayah mertuanya juga mendadak wafat.
Hari-hari sakitnya ia lalui dengan sabar dan tabah. Ketika saya menjenguknya di RSUD Bojonegoro pada bulan Agustus kemarin, ia cerita seperti biasa. Ia bisa menyembunyikan kesedihannya. Tapi ketika pamannya, KH. Syakir Syafii (adik KH. Maimun Syafii, Rois Syuriyah PCNU Bojonegoro) menelponnya, ia tak kuat membendung tangisnya karena ia mendengar pamannya menangis di telpon. Ia menangis dan berkata: "Aku wes siap kok lek..". Saya yang berada di sampingnya tak kuat menahan tangis juga.
Akhirnya kehebatannya dalam berpikir ditaklukkan oleh kanker yang menyerang otaknya. Keampuhan laku batinnya harus tunduk di hadapan takdir-Nya. Ia dituntun menyebut lafadz "Allaah, Allaah, Allaah" oleh Mas Kholil, keluarganya yang juga keponakan saya. Lalu Mas Kholil menelpon saya memberi kabar bahwa Pak Amin telah dipanggil kembali ke hadapan Rabbnya hari Selasa (10.10.2023) malam Rabu pukul 21.05.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه .
Selamat jalan kawan.. Semoga husnul khotimah, mendapat rahmat Allah dan menempati Surga-Nya.
*Teman almarhum tamatan 2006 Lirboyo, tinggal di pesisir Tuban.