Bismillahirrohmaanirrohiim

MUKJIZAT YANG DITERTAWAKAN

Oleh Muhammad Nuruddin 

Mun’im menyebutkan sesuatu yang aneh dalam ceramahnya. Bagi Mun’im, membuktikan kenabian dengan merujuk pada mukjizat itu akan menjadi tertawaan orang. Apa gerangan yang menjadi sebab? Sebab, kata Mun’im, mukjizat itu tidak rasional. Dengan penuh percaya diri dia bilang begitu. Bahwa mukjizat itu tidak rasional. Kalau hari gini masih bicara tentang mukjizat, maka Anda, menurut logika Mun’im, akan menjadi bahan tertawaan orang. 

Berikut saya kutipkan perkataannya:

“Teman-teman mungkin tahu salah satu genre tersendiri dalam biografi nabi itu disebut dengan Dalail an-Nubuwwah (dalil-dalil kenabian) itu adalah adanya mukjizat-mukjizat gitu. Nah sekarang kalau kita ingin membuktikan nabi karena membawa mukjizat itu akan DIKETAWAIN orang. Ya karena hal-hal yang bersifat mukjizat itu ya TIDAK RASIONAL.”

Saya curiga, orang ini sebetulnya tidak paham dengan istilah yang dia sebutkan sendiri. Dia menyebut kata “mukjizat” dan “tidak rasional.” Pertanyaan saya, apakah dia paham apa itu mukjizat? Juga, apakah dia paham apa itu rasional? Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa, yang terjadi pada diri orang yang mengaku sebagai nabi, yang disertai dengan tantangan, dan tantangan itu tidak bisa dilawan. 

Inilah pengertian mukjizat yang umum kita jumpai dalam penjelasan para teolog. Tolong sebutkan kepada saya, apa yang tidak rasional dari pengertian itu? Sama sekali tidak ada. Ada lagi pengertian lain yang lebih singkat. Al-Jurjani, dalam Syarh al-Mawaqif, mengartikan mukjizat sebagai “sesuatu yang dimaksudkan untuk menampakkan kejujuran orang yang mengaku sebagai utusan Allah.” 

Ketika seseorang itu mengaku sebagai nabi, maka dia harus mendatangkan bukti. Bukti itu tentu harus berupa sesuatu yang luar biasa. Sebab, kalau dia perkara biasa, mana mungkin dia bisa menjadi bukti? Toh perkara yang biasa bisa juga dilakukan oleh manusia-manusia yang lain! Pertanyaan saya sekali lagi, apa yang tidak rasional dari pengertian di atas itu? 

Omongan Mun’im ini sebetulnya menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak paham dengan istilah yang dia gunakan sendiri. Barangkali, dia melihat mukjizat sebagai sesuatu yang tidak rasional karena mukjizat identik dengan hal-hal ajaib, seperti membelah lautan dengan tongkat, menghidupkan orang mati, membuat hewan berbicara, memancarkan air dari jari jemari, dan peristiwa-peristiwa sejenisnya. 

Bagi Mun’im, peristiwa-peristiwa semacam ini adalah sesuatu yang tidak rasional, tidak masuk akal, dan karena itu, kalau kita menampilkannya sebagai bukti kenabian, maka kita akan ditertawakan orang! Benar bahwa itu adalah mukjizat. Tapi itu bukan satu-satunya mukjizat. Selain mukjizat inderawi, ada juga mukjizat rasional seperti halnya al-Quran. 

Apakah Mun’im mengira bahwa membuktikan kenabian dengan al-Quran itu akan menjadi bahan tertawaan juga? Saya tidak tahu. Tapi kalau kata “mukjizat” yang dia sebutkan itu dimaknai secara umum, maka konsekuensinya memang begitu. Pembuktian semacam itu, bagi Mun’im, hanya akan menjadi bahan tertawaan belaka. 

Adanya pihak-pihak yang akan menertawakan itu sebetulnya bukan hal yang aneh. Dan ini bukan sesuatu yang baru. Dulu, Nabi Muhammad Saw, ketika mengalami peristiwa Isra Mi’raj, juga mendapatkan ejekan semacam itu. Kalau Mun’im hidup di zaman nabi, saya kira dia akan melontarkan pernyataan yang sama. Bahwa itu tidak rasional! Mana ada orang naik ke langit dalam satu malam! 

Beberapa kali saya menyimak Mun’im membanggakan kampusnya sebagai kampus teologi terbaik. Tapi, faktanya, untuk memaknai kata “mukjizat” dan “rasional” saja dia sudah gagal. Tidak ada teolog terpandang yang melihat mukjizat itu sebagai sesuatu yang irasional. Mirisnya lagi, apa yang dia sebutkan ini sebetulnya sudah bisa dibantah oleh buku-buku akidah tingkat pemula.
 
Sesuatu yang luar biasa itu, dalam penjelasan para ulama Muslim, bukan sesuatu yang bertentangan dengan akal, tapi dia hanya bertentangan dengan kebiasaan. Karena itu dikenal istilah mustahil ‘aqli dengan mustahil ‘adi. Ada kemustahilan secara akal, dan ada kemustahilan secara kebiasaan. Ini pengetahuan dasar dalam Ilmu Akidah. Mukjizat itu bukan sesuatu yang mustahil secara akal. Tapi dia hanya dipandang mustahil menurut kebiasaan. Dan yang mustahil menurut kebiasaan itu pada dasarnya mungkin secara akal.
 
Secara akal, adanya tongkat yang bisa membelah lautan itu bukan perkara yang mustahil. Jika Anda bersikukuh memandang ini sebagai kemustahilan, atau sesuatu yang tidak rasional, saya ingin tahu, hukum akal apa yang dilanggar manakala kita mengafirmasi kejadian semacam itu? Bisakah Mun’im menjawab pertanyaan itu? Sesuatu yang tidak rasional itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal. 

Anda, misalnya, mengatakan bahwa meja itu putih tapi juga tidak putih. Ini jelas tidak rasional. Karena menyalahi hukum kontradiksi. Atau Anda mengatakan bahwa kopi ini adalah susu. Dan susu itu adalah kopi. Itu juga tidak rasional. Karena bertentangan dengan hukum identitas. 

Atau Anda mengira bahwa alam ini terlahir sekonyong-konyong tanpa sebab. Ini juga tidak rasional. Karena ini menyalahi hukum sebab-akibat. Pertanyaannya, dengan mengafirmasi adanya mukjizat, ada tidak hukum-hukum akal yang dilanggar? Jawabannya tidak ada. Itu hanya ada dalam halusinasi Mun’im belaka. 

Harap jangan dilupakan juga bahwa mukjizat itu tidak selamanya identik dengan hal-hal yang bersifat inderawi. Karena, sebagaimana saya sebutkan di atas, ada juga mukjizat yang tergolong sebagai mukjizat rasional, seperti halnya al-Quran yang menjadi bukti kenabian Nabi Muhammad Saw. Keduanya sama sekali tidak bertentangan dengan hukum akal. 

Mukjizat itu hanya bertentangan dengan kebiasaan. Bukan hukum akal. Menurut kebiasaan, memang mustahil ada tongkat bisa membelah lautan. Atau hewan berbicara layaknya manusia. Tapi itu, sekali lagi, menurut kebiasaan. Bukan menurut akal. Karena itu jangan katakan tidak rasional! Kecuali kalau memang Anda ingin berhenti sebagai manusia yang berakal. 

Orang setingkat Imam al-Haramain sendiri, dalam kitab al-Irsyad, menegaskan bahwa pembuktian akan kenabian itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan merujuk pada mukjizat. Bisakah, tanya Imam Haramain, meneguhkan bukti atas jujurnya (pengakuan) nabi tanpa mukjizat? Sang Imam menjawab: “itu tidak mungkin”! Apakah Anda mengira bahwa guru dari hujjatul Islam itu sedang berbicara tentang sesuatu yang memalukan, sehingga bisa ditertawakan orang? 

Jika mukjizat dikatakan tidak bisa menjadi bukti kenabian, pertanyaan penting harus segera Anda jawab adalah, lantas dengan apa Anda membuktikan kenabian itu? Saya berharap dia bisa menjawab itu dengan rasionalitas versi rumusan nalarnya. Dan, saya yakin, kalau dia menjawab, jawaban dia hanya akan membuat kita tertawa.


.

PALING DIMINATI

Back To Top