Bismillahirrohmaanirrohiim

MENYIKAPI IMAN DAN PERBEDAAN

Oleh Muhammad Nuruddin 

Satu hari yang lalu saya menghadiri acara kunjungan Grand Syekh al-Azhar, Ahmad at-Thayyib, ke Pondok Pesantren Darunnajah. Di sana Grand Syekh tak berbicara lama. Tapi, mengingat bahwa apa yang beliau sampaikan itu masih relevan untuk kita diskusikan di era sekarang, dan juga sering disalahpahami oleh sebagian pihak, maka beberapa poin inti dari ceramahnya akan saya ketengahkan ke dalam tulisan singkat ini. 

Pertama-tama Grand Syekh menyampaikan penjelasan seputar masalah ilmu dan iman. Senafas dengan apa yang tertulis dalam buku Muqawwimat al-Islam, yang pernah saya lampirkan dalam postingan sebelumnya, Grand Syekh memandang bahwa konsep iman yang dirumuskan dalam Islam itu sangat berbeda dengan iman yang dikenal dalam tradisi umat agama lain. Terutama masyarakat Barat. Bagi mereka, iman itu tidak mesti bersifat yakin dan berbasis pada bukti. 

Iman itu, dalam pandangan mereka, adalah sesuatu yang dipercaya begitu saja. Tidak penting apakah dia bersandar pada bukti atau tidak. Tapi konsep iman semacam ini tidak ada dalam ajaran Islam. Iman itu, seperti ditegaskan oleh Grand Syekh sendiri, harus berupa keyakinan yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan bersandar pada bukti (‘itiqad jazim muthabiq lil waqi nasyi ‘an dalil). Pendek kata, iman itu maknanya sama dengan ilmu/yaqin. Yakni pengetahuan yang bersifat pasti.
  
Satu ayat dalam al-Quran, misalnya, menyebutkan: “maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah” (fa’lam annahu la ilaha illallah). Dalam ayat tersebut disebutkan kata “fa’lam”, yang terambil dari kata ilmu. Itu artinya, untuk mengakui keberadaan Tuhan sekalipun, dalam ajaran Islam, itu harus bersandar pada pengetahuan. Iman itu harus didasarkan pada bukti. Kalau tidak, maka dia tidak bisa disebut sebagai iman yang sahih. 

Jika penjelasan ini kita terima, maka sebagai konsekuensinya kita tidak bisa mempertentangkan antara keimanan yang terbukti benar secara pasti dengan hasil kajian ilmiah yang masih bersifat zhanni. Karena sejak awal iman itu sendiri tidak dipandang sahih kecuali kalau dia bersandar pada bukti ilmiah. Dan sesuatu yang “ilmiah” tidak mesti bersifat inderawi. Karena pengetahuan rasional pun—yang menjadi basis pembuktian para teolog—itu juga tergolong sebagai pengetahuan ilmiah. 

Tak ada satu butir pokok keyakinan pun dalam Islam, kecuali para ulama Muslim sudah memaparkan bukti-buktinya. Baik rasional maupun tekstual. Karena itu, bersikap kritis terhadap imannya kaum Muslim itu, hemat saya, sudah tergolong sebagai “tahshil al-hashil” (menghasilkan sesuatu yang sudah ada). Dan itu hanya kesia-siaan belaka. Sebelum mereka bersikap kritis, ulama-ulama kita sudah bersikap kritis terlebih dulu. Sambil menguji keimanan mereka dengan kaidah-kaidah keilmuan universal yang sudah disepakati oleh para sarjana. 

Persoalan selanjutnya, yang juga disinggung oleh Grand Syekh, ialah seputar pentingnya menghargai perbedaan. Sikap semacam ini sejujurnya sangat penting dalam merawat keragaman pendapat dalam Islam. Tapi, sayangnya, jargon semacam ini seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang sekular-liberal untuk meragukan hal-hal yang bersifat fundamental. Dengan bersembunyi di balik ajakan “menghargai perbedaan pendapat”, mereka memunculkan pendapat-pendapat yang bisa meruntuhkan fondasi ajaran Islam itu sendiri. 

Karena itu penting kiranya untuk dicatat bahwa keharusan menghargai perbedaan pendapat itu relevan dalam konteks membincangkan persoalan-persoalan partikular saja. Sebab, Grand Syekh sendiri yang menegaskan bahwa sejauh menyangkut hal-hal yang fundamental, maka tidak ada perselisihan di sana. Perselisihan pendapat yang mu’tabar itu, sekali lagi, hanya menyangkut persoalan-persoalan partikular (amma al-ushul fala khilafa fiha, wa innama al-khilaf fi al-furu). Tegas Grand Syekh dalam ceramahnya. 

Misalnya Grand Syekh memberikan contoh tentang bacaan fatihah dalam salat. Ada sebagian mazhab yang menyebut basmalah itu sebagai bagian dari al-fatihah. Ada juga yang tidak berpandangan demikian. Ketika Anda salat di hadapan imam yang kebetulan berbeda dalam persoalan itu, maka Anda tidak perlu memandangnya sesat. Semua pendapat mazhab itu boleh jadi benar. Selama semuanya bersandar pada dalil yang benar. Dan dalil itu dirumuskan dengan metode yang benar. 

Tapi, bagi kaum liberal, ajakan-ajakan semacam ini dimanfaatkan untuk mempertanyakan ulang hal-hal yang bersifat fundamental. Seperti meragukan keotentikan al-Quran, mengubah redaksinya, membenarkan agama lain, menafikan historisitas sirah nabi, menolak adanya mukjizat, menolak kemaksuman nabi, memandang nabi sebagai tokoh sejarah biasa, meragukan riwayat-riwayat mutawatir, dan lain-lain. Lalu, dengan enaknya mereka mengajak kita untuk menghargai pendapat mereka. Sementara persoalan yang dibahas sejak awal tidak menghendaki adanya perbedaan pendapat!

Dan tahukah apa alasan yang sering mereka kemukakan? Kata mereka: Ini kajian ilmiah! Jangan campuradukkan dengan masalah iman! Kita beriman kalau Muhammad itu adalah nabi. Tapi dalam kajian ilmiah, dia harus ditempatkan sebagai tokoh sejarah biasa. Kita beriman bahwa al-Quran itu adalah wahyu Allah. Tapi, dalam kajian ilmiah, dia tetap harus dipandang sejajar dengan kitab suci umat agama lain. Kajian ilmiah itu satu hal. Iman itu hal yang lain lagi. Inilah logika yang dibangun oleh para Orientalis dan anak cucu keturunanya ketika ingin meragukan dasar-dasar akidah Islam. 

Dengan merujuk pada penjelasan Grand Syekh al-Azhar di atas, maka pandangan semacam ini jelas akan terlihat absurd. Karena sebelum Anda melakukan kajian ilmiah untuk meragukan hal-hal yang bersifat fundamental itu, para sarjana Muslim sudah melakukan kajian ilmiah terlebih dulu untuk membuktikan kebenarannya. Kalau tidak ada bukti ilmiahnya, maka suatu kepercayaan itu tidak mungkin dijadikan sebagai akidah. Karena akidah itu harus bersandar pada ilmu yang bersifat pasti. Bukan hanya bersandar pada pengakuan yang berasal dari diri kita sendiri. Demikian, wallahu ‘alam bissshawab.


.

PALING DIMINATI

Back To Top