Bismillahirrohmaanirrohiim

Seputar Epistemologi Islam


Oleh Jasminto

Epistemologi yang berkembang di dunia Islam dan Barat memang memiliki perbedaan fundamental, terutama terkait dengan sumber dan tujuan ilmu.

Dalam kajian filsafat ilmu, epistemologi Islam seringkali menekankan integrasi antara akal (rasio) dan wahyu (revelasi) sebagai sumber utama pengetahuan.

Dalam pandangan sarjana seperti Al-Buthi, ilmu tidak semata-mata bersandar pada observasi empiris dan logika, melainkan juga pada kebenaran transenden yang didapatkan melalui wahyu ilahi dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).

Sementara itu, epistemologi Barat modern, khususnya yang dipengaruhi oleh rasionalisme dan empirisme sejak era pencerahan, lebih cenderung memisahkan aspek metafisik dari pengetahuan.

Pengetahuan ilmiah dalam konteks ini sering diukur melalui metode empiris yang objektif dan dapat diuji (verifiability), sementara unsur non-empiris seperti wahyu, kepercayaan, atau intuisi dianggap kurang relevan dalam proses ilmiah.

Namun, perbedaan ini bukan sekadar soal metode, melainkan juga tujuan dari ilmu itu sendiri.

Dalam tradisi Islam, ilmu (ilm) dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membawa maslahat (kebaikan) bagi umat manusia, sementara dalam epistemologi Barat, ilmu cenderung lebih netral secara etis dan berfokus pada penguasaan dunia material.

Jadi, ketika kita membahas definisi ilmiah, jelas ada perbedaan paradigmatis di sini.

Pendekatan seperti milik Al-Buthi tetap relevan dalam mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan dan menempatkan ilmu dalam kerangka yang lebih luas, mencakup aspek-aspek spiritual dan etis, yang mungkin kurang dieksplorasi dalam kajian Barat yang cenderung lebih positivistik.

Namun, ada argumen yang menyoroti bahwa pendekatan epistemologi Barat, terutama yang berbasis rasionalisme dan empirisme, justru telah memungkinkan perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan modern.

Dengan membatasi pengetahuan pada apa yang dapat diuji dan diverifikasi secara empiris, epistemologi Barat berhasil menciptakan standar objektivitas yang kuat, yang pada gilirannya menghasilkan kemajuan teknologi dan sains yang signifikan.

Beberapa filsuf berpendapat bahwa dengan terlalu mengandalkan wahyu dan intuisi, epistemologi Islam dapat menghadapi tantangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan baru di dunia modern yang menuntut bukti-bukti konkret dan terukur.

Oleh karena itu, pendekatan yang terlalu spiritual dalam menafsirkan pengetahuan mungkin dianggap kurang tanggap terhadap perubahan sosial dan ilmiah yang berkembang pesat di era kontemporer.

Di sisi lain, argumen ini bisa dianggap terlalu menyederhanakan epistemologi Islam.

Meskipun Islam menekankan pentingnya wahyu dan intuisi, banyak sarjana Muslim klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd juga berperan penting dalam pengembangan metode rasional dan empiris, yang kemudian diadopsi oleh Barat.

Epistemologi Islam sebenarnya memiliki fleksibilitas yang tinggi, di mana akal (rasio) dipandang sebagai pelengkap wahyu, bukan penghalang.

Dalam pandangan ini, tidak ada dikotomi antara ilmu empiris dan spiritual, melainkan keduanya saling melengkapi dalam pencarian kebenaran.

Oleh karena itu, pendekatan Islam terhadap pengetahuan bukan hanya tentang kepercayaan buta, tetapi juga tentang menggabungkan penelitian empiris dengan nilai-nilai etika dan spiritual untuk mencapai tujuan yang lebih holistik dan harmonis dalam kehidupan manusia.

Jika kita mengikuti logika epistemologi Barat yang sangat menekankan verifikasi empiris, kita mungkin terjebak dalam pandangan yang mereduksi realitas hanya pada apa yang dapat diukur dan diamati.

Ini akan mengabaikan dimensi-dimensi penting dari pengalaman manusia seperti cinta, moralitas, keadilan, dan keyakinan spiritual, yang meskipun tidak dapat diukur secara material, tetap memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan kita.

Dalam pandangan filosofis yang lebih holistik, realitas tidak hanya terdiri dari apa yang dapat diamati secara fisik, tetapi juga mencakup hal-hal yang bersifat transenden, yang memberikan makna lebih dalam pada eksistensi manusia.

Mengandalkan rasionalitas semata tanpa memperhitungkan dimensi spiritual dan etis akan menghasilkan pandangan dunia yang terfragmentasi, di mana aspek-aspek yang tak terukur namun esensial dalam kehidupan terabaikan.

Filosofi yang lebih integratif justru mengajarkan bahwa baik akal maupun wahyu memiliki peran penting dalam memahami kompleksitas dunia dan mencapai kebenaran yang utuh.

"Rasionalitas tanpa spiritualitas hanya akan membatasi pandangan kita pada dunia yang terbatas, sementara wahyu tanpa akal akan mengaburkan jalan menuju kebenaran. Keduanya harus bersanding, agar kita dapat memahami makna terdalam dari kehidupan."


.

PALING DIMINATI

Back To Top