Bismillahirrohmaanirrohiim

Istawa: Antara Pemahaman Salaf & Wahhabi


Kaum Muslimin sepakat bahwa makna "istawa" yang terdapat dalam ayat mulia: "Ar-Rahman 'ala al-'Arsy istawa" [Thaha: 5] bukanlah istiwa' hakiki dalam arti bersemayam (istiqrar) atau bertempat (Tamakkun). Hanya Muqatil, Al-Kalbi, dan pengikut mereka dari kalangan Mujassimah dan Musyabbihah yang mengatakan makna ini. Sedangkan Ahlus Sunnah menolak makna zahir, meskipun mereka berbeda pendapat dalam menentukan maksud (Murad) dari istiwa'.

Muqatil dan al-Kalbi adalah orang-orang yang mengatakan: "Istawa" bermakna "Istiqrar" dan mereka meyakini bahwa Allah Ta'ala berada di atas 'Arsy yang berarti: 'Arsy adalah tempat-Nya, dan Allah Ta'ala duduk di atasnya. Ini adalah hal yang sama yang dinyatakan oleh Ibn Taymiyyah dan pengikut-pengikutnya dari kalangan Wahabi.

فابن تيمية يقول: إن الله يجلس محمدًا معه على العرش، وابن القيم يقول: ولا تنكروا أنه قاعد، ولا تنكروا أنه يقعده، فالله يقعد على العرش وسيقعد معه محمدا .

Ibn Taymiyyah berkata: "Sesungguhnya Allah mendudukkan Muhammad bersama-Nya di atas 'Arsy," dan Ibn Qayyim berkata: "Dan janganlah kalian mengingkari bahwa Dia duduk, dan janganlah kalian mengingkari bahwa Dia akan mendudukkan Muhammad, karena Allah duduk di atas 'Arsy dan Dia akan mendudukkan Muhammad bersama-Nya."

Ini adalah madzhab antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk) semoga Allah melindungi kita dan semua kaum Muslimin dari keyakinan menjijikkan seperti ini, karena orang yang menetapkan istiwa' dalam arti bersemayam (Istiqrar) dan duduk di atas arsy tidak beriman kepada Tuhan sebagaimana mestinya.

Ibn Taimiyyah berkata: 
[يُروى عن ابن عباس في معنى اسْتَوَى: أي: استقر]
"Diriwayatkan dari Ibn Abbas tentang makna istawa: yaitu: Bersemayam (istaqarra)".

Kemudian Ibn Taimiyyah berkata setelah itu:

[وابن عباس من علماء الصحابة، وكانوا يرجعون إليه في علم التأويل، وكان يقول: أنا من الراسخين في العلم]
بيان تلبيس الجهمية لابن تيمية (٤٠١/٦)، الناشر: مجمع الملك فهد لطباعة المصحف الشريف الطبعة: الأولى، ١٤٢٦هـ.

"Dan Ibnu Abbas adalah salah satu ulama dari kalangan sahabat, dan mereka merujuk kepadanya dalam ilmu takwil, dan dia berkata: "Aku termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya."

Dan itulah yang diriwayatkan oleh semua Wahabi setelah itu, Ibn Utsaimin berkata:

[وأجمع السلف على إثبات استواء الله على عرشه، فيجب إثباته من غير تحريف ولا تعطيل ولا تكييف ولا تمثيل، وهو استواء حقيقي معناه العلو والاستقرار على وجه يليق به]
تعليق مختصر على كتاب لمعة الاعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد لابن عثيمين (ص (٦٢)، الناشر: مكتبة أضواء السلف، الطبعة: الطبعة الثالثة ١٤١٥ هـ - ١٩٩٥م.

"Dan para salaf sepakat (ijma') untuk menetapkan istiwa Allah atas Arsy-Nya, maka wajib ditetapkan tanpa distorsi, tanpa ta'thil, tanpa penyerupaan, dan tanpa perumpamaan, dan itu adalah istiwa' yang hakiki yang berarti al-Uluw dan Bersemayam (Istiqrar) sesuai yang layak bagi-Nya".

Dan Abu Bakar Al-Jazairi berkata: 
[ومعنى استوى استقر]
أيسر التفاسير لأبي بكر الجزائري (۵/ ۱۸۹)، الناشر : مكتبة العلوم واحكم، المدينة المنورة، المملكة العربية السعودية، الطبعة الخامسة، ١٤٢٤هـ / ٢٠٠٣م.

"Dan makna 'istawa' adalah Bersemayam (istaqarra)".

Abdul Rahman al-Barrak membantah al-Hafiz Ibn Hajar yang menafikan arah dari Allah Ta'ala dengan mengatakan: 

[ومن عبارات السلف في تفسير: استوى: استقر، ولكن نفى أن يكون العرش موضع استقرار الله مبني على نفي حقيقة الاستواء، وهو مذهب الجهمية والمعتزلة ومن تبعهم من الأشاعرة]
تعليقات الشيخ البراك على المخالفات العقدية في فتح الباري (١٢٤/٧)، تحقيق: عبد الرحمن بن صالح السديس، الناشر : طبعت التعليقات بحاشية فتح الباري، طبعة دار طيبة.
"Di antara ungkapan para salaf dalam menafsirkan istawa adalah 'Istaqarra' (Bersemayam), akan tetapi penafian bahwa 'arsy' adalah tempat Allah bersemayam (istiqrar) didasarkan pada penafian hakikat istiwa, dan ini adalah madzhab Jahmiyah, Mu'tazilah, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Asy'ariyah."

Kami katakan: Apa yang diriwayatkan oleh Ibn Taymiyyah dan Wahabi tentang Sayyidina Ibn Abbas bahwa dia berpendapat istiwa bermakna istiqrar adalah kebohongan yang tidak sahih menurut para imam hadits, dan itu merupakan kebongan paling besar menurut ijma' Salafus shalih.

Dan Al-Hafiz Al-Bayhaqi berkata tentang riwayat dari Ibnu Abbas tersebut, beliau menjelaskan bahwa itu adalah riwayat yang munkar. Beliau berkata: 

[وأبو صالح هذا، والكلبي، ومحمد بن مروان كلهم متروك عند أهل العلم بالحديث لا يحتجون بشيء من رواياتهم لكثرة المناكير فيها، وظهور الكذب منهم في رواياتهم]
الأسماء والصفات للبيهقي (۲) ۳۱۱)، الناشر : مكتبة السوادي جدة، المملكة العربية السعودية الطبعة: الأولى، ١٤١٣ هـ - ١٩٩٣م.

"Abu Shalih ini, dan Al-Kalbi, dan Muhammad bin Marwan semuanya Matruk (ditinggalkan/ditolak) oleh para ahli ilmu hadits, tidak ada yang menerima riwayat mereka karena banyaknya kemunkaran dalam riwayat-riwayat mereka, dan munculnya kebohongan dari mereka dalam riwayat-riwayat mereka."

Maka Ibn Taimiyyah mengambil dalil dari riwayat Sayyidina Ibn Abbas yang ada perawi di dalamnya seorang pendusta dan muttaham bil kadzib (dituduh sebagai pendusta), apakah ini akidah salaf yang kalian bangun di atas kesalahan dan kedustaan?

Kemudian kami melihat Ibn Qayyim mengutip dalam "Al-Sawa'iq Al-Mursalah" dari Kharijah bin Mus'ab yang berkata: 

[وهل يكون الاستواء إلا الجلوس]
الصواعق المرسلة في الرد على الجهمية والمعطلة (١٣٠٣/٤).

"Apakah ada yang dimaksud dengan istiwa' selain duduk?"

Dan teks ini tidak valid dari Kharijah bin Mush'ab, karena dalam sanadnya terdapat Said bin Sakhar ad-Darimi (سعيد بن صخر الدارمي), dan dia tidak dikenal keadaannya (Majhul) sebagaimana yang dikatakan Ibn Abi Hatim dan lainnya.
راجع: الجرح والتعديل (٣٤/٤)، لسان الميزان (٣٤/٣).

Dan tidak seharusnya Ibn al-Qayyim menggunakan hal seperti ini dalam masalah-masalah akidah, tetapi kebiasaan Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim adalah mereka menerima semua yang lemah dan palsu selama sesuai dengan mazhab mereka, dan menolak semua yang sahih dan tetap selama bertentangan dengan mazhab mereka yang salah. Siapa pun yang membaca karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim akan menyadari hal ini.

Dan yang benar menurut ahli haq (Kelompok yang benar) adalah bahwa mereka men-Tafwidh makna "istawa" kepada Allah Ta'ala, mereka mengatakan: "Istawa" sebagaimana yang Allah firmankan, dengan makna yang Allah kehendaki atau ditakwil dengan kekuasaan, keagungan, al-Uluw dan semua itu tidak berarti menetapkan tempat bagi Allah Ta'ala, karena Allah disifati al-'Aliy, dan 'Arsy bukanlah tempat bagi-Nya, karena 'Arsy hanyalah makhluk dari makhluk-makhluk Allah Ta'ala, dan mustahil bagi Allah yang Maha Qadim berada di tempat yang baharu, jika tidak demikian, di mana Allah Ta'ala berada sebelum Dia menciptakan 'Arsy, sebelum Dia menciptakan al-Ma', sebelum Dia menciptakan alam semesta?

Allah Yang Maha Qadim telah ada tanpa permulaan sebelum ada segala sesuatu maka tidak ditanya bagi-Nya Dimana & Bagaimana. Ini adalah keyakinan yang shahih seorang Muslim yang dijalani oleh salafus saleh.

Dan inilah yang dikatakan oleh para imam Islam dalam menolak makna harfiah dari ayat Istawa tersebut, dan menegaskan makna-makna tersebut serta mensucikan Allah Ta'ala dari tempat:

Al Imam Al Mujtahid Abu Hanifah an Nu'man bin Tsabit Radliyallahu 'anhu (150 H) berkata:

[ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا]
جامع العقائد كتاب الوصية (ص٦٨)، ترتيب وتعليق محمد صبور البخاري، ط، مركز الثقافة الإسلامية، بخاري، ط سنة ١٤٢٠هـ / ١٩٩٩م.

"Kita menetapkan bahwa Allah subhanahu wata'ala 'ala al Arsy istawa tanpa membutuhkan kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Allah adalah Dzat yang menjaga Arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepadanya, apabila Allah butuh pada lainnya maka Dia tidak akan kuasa untuk mengadakan alam dan mengaturnya seperti halnya makhluk, apabila Allah butuh pada duduk dan menetap maka sebelum terciptanya Arsy, di mana Allah?! Allah benar-benar maha suci dari semua itu."

Dan diantara Tadlis (penipuan) Wahhabi terhadap ucapan para Ulama adalah apa yang dilakukan oleh Faisal bin Qazzar Al-Jassem dalam bukunya: 
: الأشاعرة في ميزان أهل السنة
"Asy'ariyah dalam Timbangan Ahlus Sunnah".

Ketika dia mengutip teks dari Imam Abu Hanifah dalam salah satu pembahasan akidah, dia memanipulasi teks Imam Abu Hanifah dan berkata: 
قال رحمه الله في وصيته في التوحيد ونقر بأن الله تعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة، (#واستقر_عليه)، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج

"Dia Imam Abu Hanifah berkata, semoga Allah merahmatinya, dalam kitab wasiatnya tentang tauhid, Kita menetapkan bahwa Allah subhanahu wata'ala 'ala al Arsy istawa tanpa membutuhkan kepadanya (#dan_bersemayam_diatasnya). Allah adalah Dzat yang menjaga Arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepadanya"

Kemudian dia menambah tipuannya dengan mengatakan setelahnya:
[فانظر كيف فشر الاستواء على العرش بالاستقرار عليه] 
الأشاعرة في ميزان أهل السنة الفيصل بن فزار الجاسم (ص ۱۷۱، (۱۷۲)، المبرة الخيرية لعلوم القرآن والسنة، الكويت، الطبعة الأولى ١٤٢٨ هـ ٢٠٠٧م

"Perhatikan bagaimana Imam Abu Hanifah menafsirkan istiwa atas arsy dengan istiqrar (bersemayam) di atasnya."

Ini adalah kebohongan terang-terangan dan buruknya agamanya dalam menyampaikan perkataan para imam. Perhatikan nukilanya, ia menyebutkan teks Imam Abu Hanifah:
[واستقر عليه]
"ALLAH BERSEMAYAM DIATAS ARSY"

dan yang benar dalam semua salinan cetakan dari teks Imam Abu Hanifah adalah:

[من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه]

"Allah subhanahu wata'ala 'ala al Arsy istawa tanpa membutuhkan kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya".

Dan perbedaan antara kedua ungkapan itu seperti langit dan bumi, Wahhabi memutarbalikkan perkataan Imam Abu Hanifah untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Allah Ta'ala Bersemayam (Istiqrar), padahal yang benar dari Imam Abu Hanifah adalah pengingkaran terhadap Istiqrar (bersemayam), maka perhatikan kebohongan dan penipuan yang jelas dari Wahabi, dan setelah itu mereka berkata atas kebohongan mereka: inilah Aqidah Salaf!

Dan Imam Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H berkata: 

[معنى الاستواء هُوَ الْعُلُو والارتفاع، ولم يزل الله تَعَالَى عَاليا رفيعا قبل أن يخلق عرشه، فَهُوَ فَوق كل شيء، والعالي على كل شَيْءٍ، وَإِنَّمَا خص الله الْعَرْشِ لِمَعْنَى فِيهِ مُخالف لسَائِرِ الْأَشْيَاء، وَالْعرش أفضل الْأَشْيَاء وأرفعها، فامتدح الله نفسه بأنَّهُ على الْعَرْش أستوى، أي: عَلَيْهِ علا، وَلَا يجوز أَن يُقَال: أستوى بمماسة، ولا بملاقاة تَعَالَى الله عَن ذَلِك علوا كَبِيرًا ، وَالله تَعَالَى لم يلحقه تغير ولا تبدل، ولا تلحقه الحدود قبل خلق الْعَرْشِ، وَلَا بعد خلق الْعَرْش]
العقيدة للإمام أحمد رواية الخلال» (ص ۱۰۸)، الناشر : دار قتيبة بدمشق، الطبعة: الأولى، ١٤٠٨هـ.

"Makna "istawa" adalah "al-'uluw" dan "al-irtifa'" (Maha Tinggi & Maha Agung), dan Allah Ta'ala senantiasa Maha Tinggi dan Maha Agung sebelum menciptakan 'arsy-Nya, Allah di atas segala sesuatu, dan Maha tinggi derajat-Nya di atas segala sesuatu. Allah mengkhususkan penyebutan 'arsy untuk suatu makna yang berbeda dari segala sesuatu. 'Arsy adalah makhluk yang utama dan tertinggi dari segala sesuatu, maka Allah memuji diri-Nya bahwasanya Dia "istawa" atas 'arsy, dengan makna Dia Maha tinggi di atasnya. Dan tidak boleh dikatakan: "istawa" dengan makna bersentuhan dengan Arsy, atau dengan berhadapan. Allah Ta'ala Maha Maha suci dari itu dengan kesucian yang agung. Dan Allah Ta'ala tidak mengalami perubahan atau pergantian, dan tidak terikat oleh batasan-batasan (Hudud) sebelum penciptaan 'arsy, dan tidak pula setelah penciptaan 'arsy".

Perhatikan perkataan Imam Ahmad: "Dan tidak boleh dikatakan: "istawa" dengan makna bersentuhan dengan Arsy, atau dengan berhadapan. Allah Ta'ala Maha Maha suci dari itu dengan kesucian yang agung", karena perkataan itu sangat jelas menafikan duduk, bersemayam, dan tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dan Wahhabi.

Dan berkata ulama tafsir terkemuka Muhammad bin Jarir al-Tabari yang wafat pada tahun 310 H: 

[علا عليها علو ملك وسلطان، لا علو انتقال وزوال]
جامع البيانه (٤٣٠/١)

"Dia Maha tinggi di atasnya dengan Maha tinggi kerajaan dan kekuasaan, bukan ketinggian perpindahan dan pergeseran."

Dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi yang wafat pada tahun 333 H berkata: 

[وقد كَانَ وَلَا مَكَانَ، فَهُوَ على مَا كَانَ، يتعالى عَنِ الزَّمَانِ وَالمُكَانَ، إِذْ إِلَيْهِمَا ترجع حُدُودِ الْأَشْيَاء ونهايتها، وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بالله]
التوحيد للماتريدي (ص ١٠٦).

"Allah telah ada pada azal tanpa tempat, maka Dia kekal seperti adanya pada azal, Maha suci Allah dari tempat dan zaman, karena pada keduanya kembali batas-batas segala sesuatu dan penghabisannya, wa la Quwwata illa billah"

Dan Imam Abu Hatim Al-Busti yang dikenal sebagai Ibn Hibban, penulis kitab Sahih Ibn Hibban, yang wafat pada tahun 354 H berkata:

[كَانَ وَلَا زَمَانَ وَلَا مَكَانَ، وَمَنْ لَمْ يُعْرَفْ لَهُ زَمَانٌ، وَلَا مَكَانٌ وَلَا شَيْءٌ مَعَهُ، لِأَنَّهُ خَالِقُهَا، كَانَ مَعْرِفَةُ الْخَلْقِ إِيَّاهُ كَأَنَّهُ كَانَ فِي عَمَاءٍ عَنْ عِلْمِ الْخَلْقِ، لَا أَنَّ اللَّهَ كَانَ فِي عماء]
صحیح ابن حبان عند حديث رقم (٦١٤١)، (٨/١٤)

"Allah ada pada azal tanpa zaman tanpa tempat, dan yang tidak diketahui memiliki zaman, juga tanpa tempat, dan tidak ada sesuatupun bersama-Nya, karena dialah Sang Penciptanya, Maka pengetahuan makhluk terhadap-Nya seolah-olah Dia dalam ketiadaan ilmu pengetahuan makhluk, bukan karena Allah berada diatas Awan"

Dan Imam Abu Sulaiman al-Khattabi yang wafat pada tahun 388H berkata:

[والله سبحانه حامل حملته، لا حاجة به إلى العرش، وَلَيْسَ بِمَكانٍ لَهُ، ولا هُوَ مُتَمَكِّنٌ فِيهِ، وَلَا مُعْتَمِدٌ عَليهِ, لأن هذا كله من صفات الحدث، لكنه بائن منه ومن جميع خلقه، وإنما جاء في التنزيل:( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) [ طه : ٥] فنحن نؤمن بما أُنزِلَ، ونقول كما قالَ، وَلَا نُكَيفه ولا نَحْدُّهُ، وَلَا نَتَأَوَّلُهُ ]
(۲) شأن الدعاء وتفسير الأدعية المأثورة / للخطابي (ص ١٦٠)، بتحقيق: أحمد يوسف الدقاق، الناشر: دار الثقافة العربية

"Dan Allah Ta'ala yang menjadikan Arsy dan Malaikat penyangganya berada diarah atas, tidak membutuhkan kepada Arsy, dan bukan sebagai tempat bagi-Nya dan Dia tidak bertempat pada Arsy, dan tidak bergantung padanya, karena semua yang disebutkan ini adalah sifat-sifat baharu (makhluk), melainkan Allah berbeda dari seluruh makhluk-Nya, adapun yang terdapat dalam firman Allah: ar-Rahmmanu ala al-Arsy istawa (Thaha:5), Maka kita beriman sebagaimana yang diturunkan dalam al-Qur'an sebagaimana yang di firmankan Allah, dan tidak menetapkan sifat sifat benda bagi-Nya, dan tidak membatasinya dan tidak mentakwilnya".

Dan penolakan Imam Al-Khattabi terhadap takwil di sini tidak bersifat mutlak, maknanya telah disalahfahami. Adapun yang maknanya jelas dan rajih, Imam Al-Khattabi telah melakukan takwil, dan itu terbukti darinya, tidak ada yang menolaknya kecuali orang yang jahil.

Imam Ibn Furak, yang wafat pada tahun 406 H, berkata: 

[وليس المراد بذلك علو بالمكان، وإذا لم يكن معنى «على» مختصا بعلو المكان، فقد بان أن معناه علو على ما يليق به مما لا يقتضي المكان]
مشكل الحديث وبيانه لابن فورك (ص ٤٥٩)، بتحقيق: موسى محمد علي الناشر: عالم الكتب بيروت، الطبعة الثانية، ١٩٨٥م.

"Dan maksud dari (makna 'ala') itu bukanlah ketinggian tempat, dan jika makna 'ala' tidak terkhusus pada ketinggian tempat, maka jelas bahwa maknanya adalah Uluw yang layak dengan-Nya yang tidak memerlukan tempat" 

Dan Abu Ishaq Al-Tsa'labi yang wafat pada tahun 427 H berkata: 

[ووصفه بالعلو والعظمة دون أن يكون موصوفا بالأماكن والجهات والحدود والحالات؛ لأنها صفات الأجسام، وأمارات الحدث، والله سبحانه وتعالى كان ولا مكان، فخلق الأمكنة غير محتاج إليها، وهو على ما لا يزل]
التفسير الثعلبي (٩ / ٣٦٠).

"Dan Allah disifatkan dengan al-Uluw (Maha Tinggi) dan al-'Adzamah (keagungan) tanpa disifatkan dengan tempat-tempat, arah-arah, batasan-batasan, dan perubahan; karena itu adalah sifat-sifat jism dan tanda-tanda kebaharuan. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala ada pada azal tanpa tempat, maka Allah menciptakan tempat-tempat tanpa membutuhkan tempat, dan Dia seperti yang Dia selalu ada (tidak berubah, Allah tetap ada tanpa tempat)."

Dan Abu Mansur al-Baghdadi yang wafat pada tahun 429 H berkata: 
[وأجمعوا -أي أهل السنة والجماعة- على أنه لا يحويه مكان، ولا يجري عليه زمان، على خلاف قول من زعم من الهشاميّة والكرّاميّة أنه مماسّ لعرشه، وقد قال أمير المؤمنين علي رضي الله عنه: إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانًا لذاته، وقال أيضا: قد كان ولا مكان وهو الآن على ما كان]
الفرق بين الفرق وبيان الفرقة الناجية (ص ۳۲۱).

"Mereka (ahlus sunnah) sepakat (ijma') bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat, dan tidak dilalui oleh zaman, berbeda dengan Hisyamiyyah dan Karramiyyah yang meyakini bahwa Allah menyentuh Arsy-Nya. Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu berkata: Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan Arsy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat bagi Diri-Nya. Dia (Sayyidina Ali) juga berkata: Allah ada pada azal tanpa tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia ada pada azal (Allah tidak berubah, Allah tetap ada tanpa tempat)".

Dan Imam besar Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib yang wafat pada tahun 437 H berkata: 

[ومعنى [عند ربك]، أي في طاعته وعبادته، لم يعن القرب من مكانه لأن المكان على الله تعالى لا يجوز، ولا يحتاج إلى مكان؛ لأن المكان محدث، وقد كان تعالى ذكره ولا مكان]
الهداية إلى بلوغ النهاية (٦٥٢٩/١٠).

"Dan makna "'Inda Rabbik" adalah dalam ketaatan dan ibadah kepada-Nya, bukan berarti dekat dengan tempat-Nya karena tempat tidak layak bagi Allah Ta'ala, dan Dia tidak memerlukan tempat; karena tempat itu baharu (makhluk), dan Allah telah ada pada azal tanpa tempat".

Dalam Risalah Al-Wafiyah karya Abu Amr Al-Dani yang wafat pada tahun 444 H: 
[واستواؤه : علوه بغير كيفية، ولا تحديد، ولا مجاورة، ولا مماسة]
الرسالة الوافية لمذهب أهل السنة في الاعتقادات وأصول الديانات لأبي عمرو الداني (ص ۱۳۰)

"Dan istiwā -Nya: adala sifat Uluw-Nya tanpa kaifiyyat(sifat-sifat benda), tanpa batasan, tanpa berdekatan, dan tanpa bersentuhan".

Dan berkata Al-Hafiz Ibn Asakir yang wafat pada tahun 571 H, menjelaskan akidah Imam Al-Asy'ari: 

[قالت النجارية: إِن الْبَارِي سُبْحَانَهُ بِكُلِّ مَكَان من غير حُلُول وَلَا جِهَة، وَقَالَت الحشوية والمجسمة: إِنَّه سُبْحَانَهُ حال فِي الْعَرْشِ، وَإِن الْعَرْشِ مَكَانَ لَهُ، وَهُوَ جَالِسَ عَلَيْهِ، فسلك طريقة بينهما فَقَالَ: كَانَ وَلَا مَكان، فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان وَهُوَ بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه]
تبيين كذب المفتري (ص ١٥٠).

"Sekte Al-Najjariah berkata: Sesungguhnya Sang Pencipta Subhanah, berada di setiap tempat tanpa menyatu dengan tempat (hulul) dan tanpa arah. Dan sekkte Al-Hasyawiyah dan sekte Al-Mujassimah berkata: Sesungguhnya Allah Subhanah bertempat di atas Arsy, dan Arsy adalah tempat-Nya, dan Allah duduk di atasnya. Maka beliau mengambil jalan tengah di antara kedua kesesatan tersebut dan berkata: Allah ada pada Azal sebelum ada tempat, lalu Dia menciptakan Arsy dan Kursi tanpa membutuhkan tempat, dan setelah penciptaan tempat, Dia tetap sebagaimana sebelum penciptaan tempat yaitu Allah ada tanpa tempat".

Dan al-Hafidz Ibnu Katsir yang wafat pada tahun 774 H berkata:

[وَإِنَّمَا يُسلك فِي هَذَا الْمَقَامِ مَذْهَبُ السَّلَفِ الصَّالِحِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، والثوري، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَغَيْرُهُمْ، مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَهُوَ إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيلٍ. وَالظَّاهِرُ الْمُتَبَادَرُ إِلَى أَذْهَانِ الْمُشَبِّهِينَ مَنْفِيٌّ عَنِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَ ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾ [الشُّورَى:١١]]
تفسير القرآن العظيم لابن كثير (۳/ ۳۸۳).

"Tetapi sehubungan dengan ini kami hanya meniti cara yang dipakai oleh mazhab ulama Salafus saleh, seperti Malik, Auza'i, As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd, Asy-Syafii, Ahmad, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta lain-lainnya dari kalangan para imam kaum muslim, baik yang terdahulu maupun yang kemudian. Yaitu melaluinya seperti apa adanya, tanpa takyif, tanpa penyerupaan, juga tanpa ta'thil. Dan makna Zahir yang mudah terbayang pada akal orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk merupakan hal yang di tiadakan bagi Allah, Allah Subhanahu wa Ta'ala itu tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyerupai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, (Asy-Syura; 11)"

Perkataan al-Hafidz Ibn Katsir : "Dan makna Zahir yang mudah terbayang pada akal orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk merupakan hal yang di tiadakan bagi Allah". Maksudnya adalah makna-makna yang ditetapkan oleh Ibn Taimiyyah & pengikutnya di tiadakan bagi Allah.

Dan teks Al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan bahwa ucapan orang yang mengatakan: "Istawa berarti istiqrar" adalah ucapan Mujassimah.

Beliau berkata: 
[وقالت الجسمية معناه: الاستقرار]
فتح الباري لابن حجر (٤٠٦/١٣)

"Mujassimah berkata bahwa makna Istiwa adalah Istiqrar (Bersemayam)"

Maka apa yang diyakini oleh umat Islam, baik generasi salaf maupun generasi khalaf, bahwa istiwa' tidak dimaksudkan dengan makna harfiahnya seperti duduk, bersemayam, dan bertempat, melainkan istiwa' adalah teks yang diterima sebagaimana datangnya, dengan tafwidh. Oleh karena itu, para generasi salaf mengingkari konsekuensi-konsekuensi yang terkait dengan makna harfiah istiwa', seperti batasan-batasan (Hudud), bersentuhan (Mumassah), dan menempati ruang (Tahayyuz), serta hal-hal lain yang dinyatakan oleh generasi salaf dan para imam, atau ditakwil yang bersesuaian dengan kaedah-kaedah syariat & konteks ayat, sebagaimana hal ini ditegaskan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. seperti itulah yang terdapat di dalam teks-teks generasi salaf & khalaf.

Wallahu A'lam


.

PALING DIMINATI

Back To Top