Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
1. Mayoritas ulama madzhab terdahulu hingga beberapa generasi setelahnya, berpendapat bahwa hukum mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain, termasuk hari natal adalah diharamkan.
Diantara alasannya bahwa mengucapkan selamat, berarti menyetujui dan mengakui kebenaran agama tersebut. Sedangkan dalam masalah keyakinan, hal yang fundamental bahwa setiap muslim yakin hanya agama Islam yang diterima di sisi Allah.
2. Sedangkan mayoritas lembaga fatwa dunia seperti Darr Ifta Mishriyah dan ulama kontemporer hari ini berpendapat sebaliknya, bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain hukumnya mubah alias boleh-boleh saja.
Karena illat (sebab) yang menjadi pengharaman pada masa lalu dipandang sudah tidak ada. Ucapan selamat hari raya dinilai hanya sebagai bentuk mujamalah (basa-basi) dan sikap saling menghormati dalam muamalah.
Sedangkan beberapa lembaga lainnya seperti Lajnah Daimah Arab Saudi tetap mengharamkan.
3. Di Indonesia MUI berfatwa bahwa ucapan selamat Natal hukumnya secara asal adalah haram. Sedangkan beberapa lembaga fatwa seperti tarjih Muhamdiyah tidak melarang.
4. Maka yang membolehkan jelas ada dasarnya dari fatwa ulama dunia dan juga lokal. Selama dalam batasan yang normal, tak selayaknya yang mengikuti pendapat ini dituduh liberal apalagi murtad keluar dari Islam.
Sebaliknya juga demikian, yang berpendapat bahwa mengucapkannya hukumnya haram, merupakan pendapat yang tak kalah kokohnya, karena mengikuti pendapat ulama empat madzhab dan juga fatwa institusi yang resmi diikuti di negeri ini.
Tak sepatutnya juga dituduh radikal, dicap tidak bisa bertoleransi atau menghargai keragaman.
5. AST memilih pendapat yang mana ? Point ini tidak penting, tapi karena terus berulang ditanyakan izinkan saya untuk menjawabnya : Saya lebih cenderung memilih pendapat mayoritas ulama khususnya dari empat madzhab yang mengharamkan dengan tetap menghargai pilihan kalangan yang membolehkan.
Pilihan ini lebih kepada pendapat yang menurut saya lebih tepat, cermat dan selamat. Karena masalahnya adalah pada kalimat "selamat"nya.
Kata selamat itu sangat lekat dengan Islam. Di dalamnya terkandung semacam do'a dan penekanan yang sangat berbeda dengan kata sa'id (gembira) dari versi ucapan natal di Arab seperti sa'id milad. Atau merry (gembira) critsmas dalam versi inggris.
6. Seandainya kalimat yang di ucapkan "bahagia natal" atau sekedar "senang ya natal", tentu akan berbeda dengan ucapan yang kita gunakan selama ini yakni "selamat natal". Dan ini lebih serupa dengan sa'id milad, atau I'd milad yang difatwakan kebolehannya di negeri arab seperti Mesir.
Seandainya ucapan natal dalam bahasa Arabnya bunyinya "Assalam fil Milad" atau yang semisalnya, kira-kira ulama di sana berubah tidak ya fatwanya ?
Karena ucapan selamat natal di arab itu dari susunan kalimatnya ya memang benar-benar cuma basa basi dan berbeda dengan disini...
7. Akan sangat bermanfaat seandainya diadakan diskusi atau debat ilmiah tentang masalah ini. Diskusi yang bertujuan menguatkan keyakinan sekaligus menumbuhkan sikap saling menghargai bukan hal yang tercela. Selama masih dalam ranah ilmiyah, tidak perlu ada yang baper. Seperti komentar nyinyir : "Mereka yang merayakan, kenapa kita yang ribut."
Karena ini bukan hanya masalah saat natal saja, namun jika kita lihat setiap saat terulang juga perdebatan yang sama saat maulid, isra mi'raj, Valentine, tahun baru dll.
8. Hal ini tidak selalu bisa diartikan bahwa umat Islam tidak dewasa, kurang kerjaan dan tuduhan negatif lainnya. Tapi jika perlu dilihat dari sisi positifnya, ini bukti bahwa Islam adalah agama ilmiah. Awam dan alimnya sangat biasa dengan dalil dan hujjah pendapat. Tidak asal menelan dogma.
9. Berbeda halnya jika semangatnya untuk saling menghina dan menjatuhkan satu sama lain. Itu tentu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali permusuhan dan juga justru menumbuhkan keraguan dalam beragama.
Itulah diantara makna peringatan dalam hadits :
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
"Tidaklah suatu kaum yang tadinya mendapatkan petunjuk menjadi sesat, kecuali karena gemar mendebat." (HR. Tirmidzi)
Wallahu a'lam.