Bismillahirrohmaanirrohiim

Apakah hadis-hadis dalam Kitab Shahih benaran sahih yang lantas bisa dipakai?

oleh Musa Minang

Saya ingin berbagi sebahagian dari maklumat yang saya dapat dalam kajian bersama Syaikh Dr. Muhyiddin ibn Muhammad ‘Awwamah pada malam Selasa (27 Jan 2025) di Darus-Sunnah Ciputat. Menurut saya, ini sangat penting, karena ini salah satu kunci dalam memahami kitab hadis sahih, seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
.
Sejak menjadi mahasantri di Darus-Sunnah dulu, saya sudah sering mendengar bahwa tidak semua hadis dalam kitab sahih itu merupakan hadis sahih. Kenyataan ini telah menjadi bahan kritik oleh kelompok kanan dan kiri, oleh para orientalis dan juga oleh orang-orang seperti Syaikh al-Albani. 
Ini tentu menjadi persoalan, mengingat kitab-kitab sahih itu merupakan kitab sahih yang diterima oleh ulama lintas masa dan generasi. Bukan oleh ulama sembarangan, tetapi juga oleh para kritikus hadis. Kenapa baru kemudian digaungkan pembicaraan tentang “ada hadis-hadis tidak sahih di dalam kitab-kitab sahih”. Kenapa?
.
Nah, kemaren itu, teman saya, Ust. Aenul Yaqin mengajukan suatu pertanyaan mengenai pengamalan hadis-hadis sahih (lebih tepatnya, hadis-hadis dalam kitab sahih), padahal hadis tersebut, maknanya (matannya) tidak dipakai dalam praktik fikih. 
.
Syaikh memberikan tawaran, mau dijawab lebar atau ringkas. Karena yang bertanya memilih jawaban ringkas, beliau suruh membaca kitab Syaikh Muhammad ‘Awwamah terkait pertanyaannya tersebut. Lalu Syaikh menjelaskan suatu kunci dalam memahami kitab sahih.
.
Beliau mulanya membuat analogi tentang seseorang yang memiliki kepakaran. Misalnya seorang muhandis (insinyur) yang mengerti kepakaran tentang seluk beluk bangunan. Ketika ia melihat suatu bangunan, maka dengan kepakarannya, pikirannya dengan spontan memberikan penilaian tentang titik masalah dari bangunan tersebut. Begitu juga dokter yang pakar mengenai kesehatan manusia, ketika ia melihat seseorang, maka pikirannya membawanya untuk membaca masalah kesehatan yang ada pada orang itu. Itu adalah insting alamiah yang ada orang yang memiliki kepakaran tertentu.
Berangkat dari analogi ini, beliau kemudian menjelaskan mengenai Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam menyusun kitab sahihnya. Dua imam ini adalah pakar ‘ilal hadis (berbagai macam cacat yang samar dalam matan atau sanad hadis). Dengan kepakaran beliau itu, maka ketika membicarakan hadis, insting kepakarannya membawanya untuk menemukan masalah yang terkait dengan illat hadis tersebut.
.
Beliau memberikan beberapa contoh. Di antaranya, hadis yang terkait dengan Q.S. al-Hujurat ayat 2 mengenai larangan mengangkat suara melebihi suara Nabi:
يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النبي
.
Dalam hadis No. 187 dalam Sahih Muslim (hadis pertama dalam bab tersebut, yakni bab ke-52) diceritakan bahwa sahabat yang bernama Tsabit ibn Qais memilih untuk di rumah saja, tidak mau mendekati Nabi, lantaran ayat tersebut, karena ia tahu suaranya besar. Ia merasa amal baiknya telah musnah. Nabi merasa kehilangan, tidak melihat Tsabit ibn Qais, lalu Nabi menanyakannya kepada sy Sa’ad ibn Mu’adz, tetangga Tsabit.
.
Singkat cerita, Sa’ad mendatangi tetangganya itu, menanyakan perihal, apa gerangan ia tidak datang ke masjid. Oh ternyata masalahnya ialah karena ia merasa ahli neraka setelah mendengar ayat tersebut di atas.
.
Hadis ini, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibn ‘Awwamah, memiliki problem. Ayat tersebut turun pada tahun ke-9 Hijriyah, yaitu pada peristiwa adanya wufūd (kunjungan qabilah-qabilah Arab). Sedangkan Sa’ad ibn Muadz wafat pada tahun ke-5 Hijriyah. 
Dengan ini, maka riwayat hadis No. 187 tersebut, ditemukan suatu problem, yaitu adanya cerita tentang Sa’ad ibn Mu’adz, padahal dia sudah meninggal dunia 4 tahun sebelumnya. Ini menunjukkan  bahwa riwayat ini bermasalah. Wajar jika berdasarkan riwayat ini, ada orang-orang yang mempersoalkan kesahihannya, bahwa mempersoalkan Sahih Muslim secara keseluruhan, bahkan sosok Imam Muslim itu sendiri.
.
Tetapi, jika diperhatikan riwayat setelah hadis tersebut, dalam bab yang sama (bab ke-52), maka ditemukan riwayat-riwayat berikutnya itu (ada 3 riwayat) diberikan catatan oleh Imam Muslim bahwa tidak disebutkan Sa’ad ibn Mu’adz dalam riwayat itu. 
.
Jadi, riwayat pertama dalam bab itu sebenarnya Imam Muslim sedang menyampaikan riwayat yang mu’allal (ada cacatnya) dan riwayat-riwayat berikutnya adalah penjelasan mengenai riwayat yang tidak ada ‘illatnya. Itulah yang dilakukan oleh Imam Muslim; menjelaskan ‘illat hadis.
.
Dengan kenyataan ini, maka jelas bahwa hadis-hadis dalam kitab sahih itu tidak lantas sahih semua, dan tidak lantas menjadi hadis yang bisa langsung diamalkan (dipakai untuk menentukan hukum, menyimpulkan suatu peristiwa dsb). Hadis-hadis tersebut harus dibaca dengan metodologi keilmuan, baru bisa dipakai. 
.
Ini hanya satu contoh, ada contoh-contoh lainnya yang beliau sebutkan. 
Terakhir, satu kalimat yang beliau katakan, bahwa kitab-kitab itu disusun oleh Imam al-Bukhari dan Muslim adalah untuk murid-muridnya. Mereka (murid-muridnya itu) adalah para imam yang berilmu luas dan mengerti dengan apa yang ditulis oleh gurunya, mengerti tentang 'ilal. (buku-buku itu bukan ditulis untuk orang-orang sembarangan. Oleh karena itu, dalam membaca hadis-hadis itu, harus merujuk kepada penjelasan-penjelasan para ulama).
Wallahu A’lam.


.

PALING DIMINATI

Back To Top