Dawuh Gus Baha' yang mengkritisi slogan kembali ke Qur'an: "Kita tidak pernah berpisah dari Qur'an, kok disuruh kembali ke Qur'an?". Ya betul, di Pesantren yang dianggap tradisional menu wajib Tafsir yang dikaji adalah Tafsir Jalalain. Selanjutnya meningkat ke Tafsir Nawawi, karya Syekh Nawawi Al Bantani. Belakangan ini mulai tumbuh kajian Tafsir Ayat-ayat Hukum karya Syekh Ali Ash-Shabuni.
Tanpa diduga saya dikejutkan dengan munculnya kiai-kiai pesantren tradisional yang memiliki karya Tafsir komplit 30 juz tanpa dikorting dan diekstrak. Dan sepertinya beberapa kiai tersebut tidak bersentuhan dengan dunia akademis, terbukti metode pemulisan tidak disertai footnote di kitab mereka. Bahkan melihat tahun penulisan juga sebelum masa kitab digital yang tinggal copy paste.
Meski sepertinya mudah, bagi saya tetap berat. Buktinya yang menganggap ringan juga belum punya karya kitab. Karena bagaimanapun kriteria penulisan kitab tidak gampang. Bagi penulis kitab Tafsir diperlukan sebuah perangkat ilmu penunjang, menurut Al-Hafidz As-Suyuthi ada 15. Diantaranya Ilmu Bahasa, Nahwu (gramatika), Sharaf, Ilmu Isytiqaq, Balaghah yang meliputi tiga aspek Bayan, Ma'ani dan Badi', Ilmu Qiraat (setidaknya ada tujuh Mazhab), Ilmu Ushuluddin, Ushul Fiqh, Ilmu Asbab Nuzul (latar belakang turun ayat Al-Qur'an), Ilmu Nasikh dan Mansukh, Ilmu Fikih, Hadis dan riwayat seputar ayat-ayat Al-Qur'an (Al-Itqan 213)
Alhamdulillah saya hadir di Pondok Darul Ulum pada hari ketiga Pekan Ngaji Tafsir Ulama Nusantara, oleh KH Toifur Ali Wafa dari Sumenep, Madura. Berikut beberapa poin yang berhasil saya catat dengan kemudahan yang diberikan oleh Allah:
1. Kutipan
Di mukadimah Kiai Toifur menjelaskan bahwa di dalam Tafsir beliau, Firdaus An-Naim lebih banyak mengutip dari Tafsir Al-Khazin. Beliau juga mengutip catatan Fikih dari Empat Mazhab.
2. Tujuan
Beliau termotivasi dengan hadis yang menjelaskan keutamaan membaca Al Qur'an:
مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا ، لاَ أقول : ألم حَرفٌ ، وَلكِنْ : ألِفٌ حَرْفٌ ، وَلاَمٌ حَرْفٌ ، وَمِيمٌ حَرْفٌ
Hadis: “Barang siapa membaca 1 huruf dari Al-Quran maka ia dapat 10 pahala. Aliflammim, bukan satu huruf. Tapi Alif satu huruf, Lam satu hurum, mim satu huruf” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud)
Beliau mengutip dari Atsar Sahabat bahwa hadis di atas jika dibaca dalam kondisi hadas. Bila dibaca dalam salat maka keutamaannya lebih tinggi. Berikut riwayatnya:
«مَنْ قَرَأَ الْقُرآنَ فِي صَلَاةٍ قَائِمًا كَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمَنْ قَرَأَهُ قَاعِدًا كَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ خَمْسُونَ حَسَنَةً، وَمَنْ قَرَأَهُ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ كَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ» رواه الديلمي من حديث أنس كتاب "إتحاف السادة المتقين بشرح علوم الدين" للمرتضى الزبيدي (3/ 293)
"Barang siapa membaca Q uran saat salat dalam keadaan berdiri maka ia mendapat 100 pahala. Barang siapa membaca Q uran saat salat dalam keadaan duduk maka ia mendapat 50 pahala. Barang siapa membaca Quran di luar salat maka ia mendapat 10 pahala."
3. Kisah Isr4iliyyat
Sebagaimana Tafsir Klasik Kiai Toifur juga mengutip kisah-kisah dari bangsa Isr4il. Hal ini sebagaimana hadis:
ﻻ ﺗﺼﺪﻗﻮا ﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﻻ ﺗﻜﺬﺑﻮﻫﻢ
"Janganlah kau benarkan ahli kitab dan jangan kau dustakan mereka" (HR Bukhari)
Akan tetapi beliau selektif, tidak mencantumkan Riwayat yang sangat Daif seperti kisah Harut dan Marut.
4. Surat Dalam Al-Qur'an Adalah Petunjuk Dari Nabi
Beliau mengawali dengan Surat Fatihah. Meskipun di awal turun Al-Qur'an yang pertama kali adalah Iqra' dalam Surat Al-'Alaq, tetapi di Lauh Mahfudz urutan pertama adalah Fatihah. Sebab para Sahabat yang diperintah menulis Qur'an pernah mendapat perintah dari Nabi:
ﻗﺎﻝ ﻋﺜﻤﺎﻥ: ﻛﺎﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻤﺎ ﺗﻨﺰﻝ ﻋﻠﻴﻪ اﻵﻳﺎﺕ ﻓﻴﺪﻋﻮ ﺑﻌﺾ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﻟﻪ، ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ: «ﺿﻊ ﻫﺬﻩ اﻵﻳﺔ ﻓﻲ اﻟﺴﻮﺭﺓ اﻟﺘﻲ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﻴﻬﺎ، ﻛﺬا ﻭﻛﺬا»
Utsman berkata bahwa saat sebagian Ayat Qur'an turun maka Nabi memanggil sebagian juru tulis (Kiai Toifur menyebut Zaid bin Tsabit) dan berkata: "Letakkan ayat ini di surat yang terdapat dalam surat ini dan seterusnya" (HR Abu Dawud)
• Jazakumullah khoiron untuk Sayidi Dr KH M Afifudin Dimyathi dan Keluarga Besar Pondok Darul Ulum Jombang yang memprakarsai Ngaji Tafsir Ulama Nusantara.