Oleh Abdul Wahab Ahmad
Imam al-Baihaqi al-Asy'ari menjelaskan makna kemahabesaran Allah sebagai berikut:
قَالَ الْحَلِيمِيُّ فِي مَعْنَى الْكَبِيرِ: إِنَّهُ الْمُصَرِّفُ عِبَادَهُ عَلَى مَا يُرِيدُهُ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَرَوْهُ وَكَبِيرُ الْقَوْمِ هُوَ الَّذِي يَسْتَغْنِي عَنِ التَّبَذُّلِ لَهُمْ وَلَا يَحْتَاجُ فِي أَنْ يُطَاعَ إِلَى إِظْهَارِ نَفْسِهِ، وَالْمُشَافَهَةِ بِأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ، إِلَّا أَنَّ ذَلِكَ فِي صِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى جَدُّهُ إِطْلَاقُ حَقِيقَةٍ، وَفِيمَنْ دُونَهُ مَجَازٌ لِأَنَّ مَنْ يُدْعَى كَبِيرَ الْقَوْمِ قَدْ يَحْتَاجُ مَعَ بَعْضِ النَّاسِ وَفِي بَعْضِ الْأُمُورِ إِلَى الِاسْتِظْهَارِ عَلَى الْمَأْمُورِ بِإِبْدَاءِ نَفْسِهِ لَهُ وَمُخَاطَبَتِهِ كِفَاحًا لِخَشْيَةِ أَنْ لَا يُطِيعَهُ إِذَا سَمِعَ أَمْرَهُ مِنْ غَيْرِهِ، وَاللَّهُ ﷾ جَلَّ ثَنَاؤُهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ وَلَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ: الْكَبِيرُ الْمَوْصُوفُ بِالجْلَالِ وَكِبَرِ الشَّأنِ، فَصَغُرَ دُونَ جَلَالِهِ كُلُّ كَبِيرٍ
"Al-Ḥalīmī berkata tentang makna "al-Kabīr": Sesungguhnya Dia adalah yang mengarahkan hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dari mereka tanpa mereka melihat-Nya. Dan "kabīr al-qaum" (pemuka suatu kaum) adalah orang yang tidak membutuhkan merendahkan diri di hadapan mereka dan tidak memerlukan menampakkan dirinya agar ditaati, serta tidak perlu menyampaikan perintah dan larangannya secara langsung.
Namun, hal ini dalam sifat Allah Ta'ala merupakan hakikat yang mutlak, sedangkan dalam diri selain-Nya adalah majaz. Sebab, orang yang disebut "kabīr al-qaum" terkadang masih membutuhkan, dalam beberapa kondisi dan dengan sebagian orang, untuk menampakkan dirinya dan berbicara langsung kepada mereka agar diperhatikan. Hal ini karena ada kemungkinan mereka tidak akan menaatinya jika hanya mendengar perintahnya dari orang lain. Adapun Allah ﷻ, Mahasuci pujian-Nya, Dia tidak membutuhkan sesuatu apa pun dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya.
Abu Sulaimān berkata: "Al-Kabīr" adalah yang disifati dengan keagungan dan kebesaran kedudukan, sehingga segala sesuatu yang besar menjadi kecil dibanding keagungan-Nya." (al-Baihaqi, al-Asma' was-Shifat)
Bagi Ahlussunnah Wal Jamaah dan siapa pun yang masih sesuai dengan fitrahnya tanpa terkena doktrin para mujassim, sebenarnya makna kalimat "Allah Maha Besar" sudah jelas, yaitu maha hebat melampaui segalanya sehingga meski tidak terlihat pun tetapi tetap dianggap sebagai sosok yang ditakuti, dihormati, disegani oleh siapa pun. Bahkan frasa"orang besar" sebagai sifat manusia pun semua paham bahwa maksudnya bukan orang bertubuh gendut tapi orang hebat.
Tapi sebab para mujassim mengesankan bahwa kemahabesaran Allah terkait dengan ukuran tubuh Tuhan yang super besar sehingga biasa mereka ilustrasikan dengan ukuran semesta atau Arasy, maka nalar orang awam banyak yang rusak. Mereka yang awalnya secara fitrah memahami kebesaran secara maknawi berubah ke pemaknaan secara jasmani yang hanya menjadikan Allah sebagai sosok yang berukuran maha jumbo dalam imajinasi liar mereka. Maha Suci Allah dari penyifatan mereka.
Akhirnya, kita berkewajiban menjelaskan hal yang sebenarnya sederhana ini dengan menukil penjelasan para ulama Aswaja seperti di atas. Saya pernah menulis tema ini dengan nukilan penjelasan dari ulama lainnya di NU Online dengan judul "Makna Kemahabesaran Allah menurut Ahlussunnah wal Jama'ah", silakan baca juga di sana sebagai pelengkap referensi.
Semoga bermanfaat.