Oleh: Moh. Achyat Ahmad
(Direktur Annajah Center Sidogiri)
Hampir dipastikan pada setiap momentum peringatan Isra Mikraj, pembicara yang diundang dalam acara itu menyinggung sikap penerimaan Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq yang langsung percaya dengan cerita Baginda Nabi, tentang apa yang beliau alami semalam. Sikap Abu Bakar yang take it for granted itu berbeda dengan sahabat pada umumnya, yang masih menyimpan keragu-raguan, apalagi dengan orang-orang musyrik dan munafik, yang langsung heboh dengan menyangkal dan menertawakan.
Tentu saja, pembenaran sahabat Abu Bakar yang tanpa kompromi terhadap Baginda Nabi itu kemudian menjadi model unik yang menunjukkan kualitas keimanan beliau, yang dengan itu beliau memperoleh gelar ash-Shiddiq. Namun masalahnya, masih banyak para penceramah yang mengartikan bahwa dalam hal itu, Abu Bakar memakai media “iman” sembari meletakkan nalar dan akal beliau. Jadi ketika membenarkan kisah Isra Mikraj Baginda Nabi, Abu Bakar tidak memakai akal rasionalnya, melainkan memakai media keimanan belaka.
Menurut hemat penulis, penjelasan seperti itu rancu, tidak ekuivalen dengan konsep keimanan dalam Islam, dan karena itu cukup berbahaya, terlebih di era media sosial yang sesak dengan netizen kritis seperti saat ini. Sebagaimana maklum, keimanan dalam Islam adalah keimanan yang didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan suatu kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh akal. Karena itu, Islam mengecam keimanan orang-orang kafir yang menyembah berhala hanya karena melestarikan tradisi leluhur mereka; sekadar ikut-ikutan tanpa terlebih dahulu membuktikan apakah yang disembah itu adalah Tuhan yang benar ataukah tuhan palsu?
Karena itu, mengatakan bahwa penerimaan Abu Bakar terhadap peristiwa Isra Mikraj adalah sikap keimanan beliau sembari mengesampingkan akal, adalah pernyataan yang perlu dikoreksi. Sebab kita tahu bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling cerdas dan paling istimewa di sisi Baginda Nabi. Sedangkan iman yang kuat adalah iman yang dilandasi oleh bukti-bukti ilmiah, rasional, dan logis. Bukan iman yang pokoknya percaya, mengesampingkan ilmu, dan sekadar taklid, di mana iman model ini masih disangsikan keabsahannya. Tentu ironis dan kontraproduktif jika kita mengatakan keimanan Abu Bakar adalah keimanan jenis yang kedua itu.
Lalu bagaimana kita memahami pernyataan Abu Bakar, bahwa beliau “akan selalu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Baginda Nabi, bahkan jika itu lebih ‘tidak masuk akal’ ketimbang peristiwa Isra Mikraj”?
Penjelasannya adalah, bahwa pernyataan Abu Bakar itu tidak muncul dari ruang hampa. Pernyataan itu dibangun di atas latar belakang dan fakta-fakta ilmiah yang begitu kuat hingga tidak terbantahkan. Abu Bakar adalah orang yang paling mengenal Baginda Nabi sejak lama. Beliau sudah membuktikan bahwa temannya itu adalah orang yang tidak pernah berbohong sekalipun. Lalu temannya itu mengaku sebagai seorang utusan, dan Abu Bakar telah melihat bukti-bukti rasional dari kebenaran pengakuan itu; bahwa yang diterima oleh temannya itu adalah wahyu dari Allah, bukan gangguan kejiwaan atau kerasukan jin, karena antara wahyu dan kerasukan bisa dibedakan dan dipahami secara rasional dan ilmiah.
Nah, ketika Abu Bakar telah memiliki bukti berupa pengalaman dan pembuktian secara langsung (at-tajribah wal-musyāhadah) yang begitu kuat, maka beliau sampai pada keyakinan bahwa temannya itu adalah seorang utusan Allah yang maksum, yang tidak mungkin berbohong. Sedangkan Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa untuk melakukan apapun. Jadi, ketika bukti ilmiah itu sudah mengkristal dalam diri Abu Bakar, lalu Baginda Nabi datang dan menceritakan pengalaman Isra Mikraj-nya, maka apa yang menghalangi Abu Bakar untuk membenarkan cerita itu? Pastinya tidak ada penghalang apapun, sebab bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Baginda Nabi dan kekuasaan Allah telah mengkristal dalam diri Abu Bakar.
Itulah yang menjawab kenapa Abu Bakar begitu enteng membenarkan cerita Isra Mikraj, seakan-akan beliau mengabaikan faktor rasionalitas, padahal faktanya tidak demikian. Wallahu a‘lam bish-shawab.