Oleh Yendri Junaidi
Pernah mendengar ajakan seperti ini, “Mari kita hadirkan niat…”, atau “Mari perbarui niat…”?
Tentu ini ajakan yang mulia. Namun perlu kita telisik lebih jauh, bisakah niat -yang sebenarnya niat- itu ‘dihadirkan’? Dengan kata lain, apakah niat berada dalam kendali kita? Bisakah ia di-ikhtiyarkan?
Imam al-Ghazali menyatakan, niat tidak berada dalam kendali ikhtiyar. Orang yang tidak memahami hakikat niat, ketika mendengar anjuran untuk memperbaiki dan memperbanyak niat, ia menyangka itu bisa dilakukan dengan cara berkata dalam hati: “Saya berniat belajar karena Allah…”, “Saya berniat makan karena Allah…” dan seterusnya.
Itu bukan niat, melainkan kata hati, kata lidah atau kata pikiran. Adapun niat yang sesungguhnya adalah kecenderungan atau terdorongnya diri melakukan sesuatu karena ada hal yang ditujunya, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.
‘Kecenderungan’ (الميل) itu sendiri tidak mungkin dibuat-buat atau diciptakan melalui kehendak semata. Hal itu sama saja dengan kata orang yang sedang kekekanyangan, “Saya berniat untuk menyukai makanan itu…” atau perkataan orang yang hatinya kosong, “Saya berniat untuk mencintai si fulan…”.
Perkataan itu hanya akan menjadi susunan kata-kata yang kosong dari makna karena ia tidak berangkat dari kecenderungan dan rasa suka yang sesungguhnya.
Jadi bagaimana? Tak ada cara untuk menimbulkan kecenderungan dan kesukaan itu kecuali dengan menempuh sebab-sebabnya. Sebab-sebab itu ada yang bisa diusahakan dan ada yang tidak.
Ketika seseorang sudah sangat ‘kebelet’ nikah karena dorongan syahwat yang sangat kuat, dan tidak ada sama sekali terbersit niat menjaga ‘iffah atau beroleh keturunan, maka saat ia menikah niatnya tidak lain adalah untuk memenuhi syahwat.
Tentu ini bukan hal yang salah, karena menikah dengan niat memenuhi syahwat secara halal juga bagian dari ibadah. Yang menjadi fokus di sini adalah niat yang hakiki itu adalah yang sesuai dengan kecenderungan.
Ketika di hatinya tidak ada keyakinan (yang tentu bersumber dari pengetahuan) bahwa menikah itu adalah untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw yang sangat besar keutamaannya, maka ia tidak mungkin menikah dengan niat mengikut sunnah, kecuali sekedar ucapan di lidah atau kata hati semata. Dan itu bukanlah niat yang sesungguhnya.
Jadi bagaimana caranya ia bisa meniatkan pernikahan itu untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw? Ia mesti perkuat keimanannya pada syariat dan yakin bahwa ada pahala yang besar bagi orang yang mengikuti sunnah Rasul. Dengan cara itu, ‘semoga’ muncul niat untuk menikah karena ikut sunnah Nabi.
Karena itulah, beberapa ulama salaf ‘enggan’ melakukan sesuatu - meskipun baik- kalau tidak hadir niat dalam hati mereka. Dan ini sesuatu yang mungkin sulit dimengerti.
Ibnu Sirin tidak ikut menyalatkan jenazah Hasan al-Bashri. Ketika ditanya kenapa tidak ikut, ia menjawab:
ليس تحضرني نية
“Tidak ada niat yang hadir.”
Ada yang memanggil isterinya untuk diambilkan sisir. Isterinya bertanya, “Mau kubawakan juga kaca?” Ia diam sejenak. Lalu ia berkata, “Iya”. Ketika ditanyakan, ia berkata: “Aku punya niat untuk meminta sisir, tapi tidak untuk meminta kaca. Maka aku berhenti sejenak sampai Allah Swt ‘menyiapkan’ niat itu untuku.”
***
Ada kisah menarik antara Dawud bin al-Muhabbir dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dawud mengarang sebuah kitab yang ia beri judul ‘Akal’. Ketika Imam Ahmad datang ke rumahnya, ia ingin melihat kitab karangan Dawud itu.
Setelah membuka beberapa lembar, Ahmad mengembalikan kitab itu pada Dawud. Dawud berkata, “Ada apa?”
Ahmad menjawab, “Banyak hadits dha’if di dalamnya.”
Dawud berkata, “Saya menulis kitab ini tidak berfokus pada sanad. Kalau itu fokusnya, tentu aku akan melihatnya dari kacamata sanad. Tapi ketika aku melihatnya dari kacamata amal, aku mendapatkan manfaat dari buku ini.”
Imam Ahmad berkata, “Coba kembalikan lagi padaku buku itu. Aku akan lihat menggunakan kacamata yang engkau gunakan untuk melihatnya.”
Dawud menyerahkan kembali bukunya. Kali ini Imam Ahmad melihat agak lama. Lalu ia berkata, “Jazakallah khairan, aku mendapatkan manfaat dari buku ini.”
والله أعلم وأحكم
[YJ]