Bismillahirrohmaanirrohiim

Wahabi-Taymiy Kurang Memuliakan Allah

oleh Abdul Wahhab Ahmad 

Tafsiran-tafsiran Wahabi-Taymiy terhadap ayat dan hadis sifat adalah tafsiran yang seringkali tidak mengandung unsur kemuliaan bagi Allah. Berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) yang tafsirannya selalu memuliakan Allah dan menekankan atribut ketuhanan.

Misalnya:

1. Tafsir Istawa

Versi Aswaja: Istawa adalah menaklukkan (qahr) sebagai perwujudan salah satu Nama Allah, yaitu al-Qahhar. Sebagian lagi menafsirkannya sebagai mengurus (tadbir) atas alam semesta sebagaimana nash ayat istawa diiringi dengan kata yudabbiru. Dalam makna ini berarti setelah Allah menciptakan langit dan bumi, Dia menunjukkan penaklukannya yang sempurna dan pengaturannya terhadap seluruh makhluk yang direpresentasikan oleh Arasy, makhluk terbesar. Siapa pun yang membaca keterangan ini, maka ia akan paham bahwa ini adalah pengagungan terhadap Allah.

Versi Wahabi-Taymiy: Istawa adalah duduk, bertempat, berlokasi, tinggal di sebelah atas sesuatu. Tidak ada satu pun makna ini yang mengandung unsur pengagungan. Cuma membahas tempat belaka. Sama seperti ketika kita mengatakan bahwa pak tukang sedang bertempat di atas atap rumah memperbaiki genteng, maka kita tidak sedang memujinya apalagi sedang menganggapnya lebih tinggi daripada yang punya rumah yang tinggal di bawah.

2. Tafsir qadam

Versi Aswaja: Qadam dalam hadis tentang tidak puasnya neraka jahannam ketika diberi manusia bermaksud "ma qaddamahullah" atau apa yang selalu didahulukan oleh Allah, yang disingging dalam firmannya: "inna rahmati sabaqat qadlabi" (sesungguhnya rahmatku mendahului kemarahanku). Artinya, Allah mendahulukan kasih sayangnya kepada mukmin ahli maksiat yang menghuni neraka hingga Allah memerintahkan neraka untuk merasa cukup jangan meminta penghuni lagi. Neraka pun patuh dan mengkerut seketika. Siapa pun paham bahwa tafsiran ini sangat memuliakan Allah.

Versi Wahabi-Taymiy: Qadam dalam hadis tentang tidak puasnya neraka jahannam bermakna organ kaki yang dimiliki Allah. Selain ini merupakan paham sekte mujassimah yang disepakati sesat oleh para ulama sejak era salaf hingga khalaf, dalam makna ini sama sekali tidak ada pengagungan terhadap Allah. Yang ada justru bernuansa menghina Allah dan mengurangi kekuasaannya sebab dalam makna ini ketika neraka terus-terus meminta manusia, Allah dianggap meletakkan kakinya yang berukuran sangat besar ke dalam neraka hingga neraka menjadi mengkerut. Artinya kaki Allah dalam akidah Wahabi-Taymiy pernah masuk neraka dan muat di sana. 

Selain itu, seolah Allah tidak mampu menyuruh neraka diam hingga harus repot-repot memasukkan kakinya ke neraka. Tidak jauh beda dengan akidah Kristen yang seolah Allah tidak mampu mengampuni dosa manusia hingga harus repot-repot mengorbankan anaknya. Kesesatan akidah ini sangat jelas bagi mereka yang berakal.

3. Tafsir Uluw

Versi Aswaja: uluw berarti sifat kehatinggian Allah dalam arti tidak ada satu pun yang bisa setara dengan Allah. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya, yang lebih tinggi levelnya, yang lebih agung, yang lebih hebat dari pada Allah. Allah adalah satu-satunya yang berada di puncak kesempurnaan. 

Versi Wahabi-Taymiy: uluw berarti berlokasi di tempat tertinggi. Ini hanya soal ketinggian fisik sehingga orang yang ada di puncak gunung dianggap lebih dekat dengan Allah daripada orang yang berada di bawah. Ini sama saja dengan berkata bahwa orang di lantai dua lebih tinggi daripada yang di lantai satu. Selain merupakan ajaran sekte mujassimah yang sesat, dalam tafsiran ini sama sekali tidak ada kehebatan, pujian atau pengagungan terhadap Allah, malah merendahkan Allah sebab artinya sebelum makhluk tercipta "di bawah", maka Allah tidak bersifat uluw menurut konsekuensi akidah mereka yang menggantungkan sifat uluw pada lokasi.

Dari ketiga contoh tersebut terlihat mana tafsiran yang memuliakan dan mana tafsiran yang justru membatalkan kemuliaan Allah. Perlu dicatat, keduanya adalah tafsiran, bukan seperti sangkaan orang bodoh yang mengira bahwa pemaknaan harfiah bukanlah penafsiran sebab makna ada banyak dan dalam pemilihan salah satu makna yang ada harus disertai dengan dalil sehingga pemilihan ini pun disebut penafsiran. Karena itu, tidak bisa ada pihak yang mengaku bahwa "itu Allah sendiri yang mengatakan demikian sehingga haram ditentang". Faktanya, itu hanyalah penafsiran belaka dari pihak yang mengatakan demikian. Sekarang tinggal Anda mau memilih tafsiran yang memuliakan atau tafsiran yang tidak memuliakan?

Semoga bermanfaat.


.

PALING DIMINATI

Back To Top