Bismillahirrohmaanirrohiim

Asal Muasal "Kaidah" Al Muhafadzah 'alal Qadimis Shalih wal Akhdu bil Jadid Al Ashlah

oleh Yusuf Suharto 

Kiai Kikin (Ketua PWNU Jatim; Pengasuh Pesantren Tebuireng) suatu saat ingin membincangkan kaidah Al-Muhafadzah (menjaga yang lama dan mengembangkan yang baru) yang banyak dikutip oleh warga NU bahkan pimpinan NU. Beliau kemudian memanggil pengurus Aswaja NU Center Tebuireng untuk membahas tema ini bersama para pegiat Aswaja di Jombang.

Akhirnya silaturahim yang dikemas dalam semacam "Halaqah Tradisi dan Kontekstualisasi Aswaja" itu terlaksana di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng pada Kamis (27/03/2025), mulai pukul 10.00 hingga pukul 13.00 WIB. 

KH. Abdul Hakim Machfudz (Kiai Kikin) dalam pengantarnya menyinggung bahwa istilah tersebut perlu ditelaah bersama sebagai sesuatu yang telah menjadi patokan. Dicontohkannya bahwa patokan itu sebagaimana seekor kambing yang bisa ke mana-mana asalkan patoknya jangan dicabut. Dinyatakannya bahwa jika kita mau berkembang silahkan talinya diperpanjang, tapi jangan dicabut patoknya. 

Para pegiat satu persatu diberi waktu untuk memaparkan temuan atau tanggapannya. Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Roziqi menyebutkan bahwa tim Tebuireng Institute yang berdiskusi dengan tim turats Tebuireng telah melakukan penelusuran lafadz kaidah tersebut di Maktabah Syamilah tapi hasilnya nihil. 

Kemudian ada temuan menarik oleh Syafiq salah satu tim, bahwa kaidah ini pernah ditulis tahun 1950-an oleh Syekh Muhammad Ghazali, salah satu ulama Al-Azhar. Namun, sebelumnya ada seniornya yang lebih dulu menulis istilah yang sama, yaitu Dr. Syaikh Abdullah Darraz dalam kitab "Ad Din: Buhutsun Mumahhadah Li Dirasati Tarikhi Adyan pada 4 April 1952. Bermakna Syaikh Darraz mendahului Syaikh Muhammad al-Ghazali.

Sementara itu, Ketua Aswaja Center Jombang, Kiai Abdul Majid menyampaikan bahwa yang lama ini adalah wujud dari hadits tiga era terbaik (Khoirul quruni qarni...), dan menambahkan keterangan, bahwa kaidah itu juga ada di kitab Nukhbatul Afkar min Masyuratil Akhyar wa Lialil Asfar. 

Yusuf Suharto (Mudir Ma’had Aly Mamba'ul Ma'arif Denanyar) mengungkapkan, “Mbah Hasyim Asy'ari itu wafat tahun 1947, punya murid KH Ahmad Shiddiq (Rais Aam PBNU 1984) dan KH. Hasyim Latif. Keduanya menyebutkan kaidah/istilah al-muhafadzah itu dalam bukunya masing-masing. KH Ahmad Shiddiq di bukunya, "Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama" terbit tahun 1969, dan KH Hasyim Latif dalam buku "Panji Penegak Ahlussunah wal Jama'ah" pada 1979. Ini menarik, jika ada bukti bahwa memang Kiai Hasyim lebih dulu menyebut kaidah itu dan disampaikan kepada para muridnya sebelum Syekh Darraz."

Yusuf juga menyampaikan bahwa dalam pengajian rutin Syarah Al Kawakib Al Lamma'ah karya Syaikh Abi Fadhal, Kiai Aziz Masyhuri sempat membahas istilah Al Muhafadzah ini.

Ustadz Anang Firdaus, Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, menemukan data di catatan kaki buku Prof. Ahmad Zahro “Nahdlatul Ulama dan Wawasan Kebangsaan”, yang menyebutkan bahwa ‘kaidah’ itu ditulis dalam tanda kutip karena statusnya sebagai kaidah yang belum baku. Terbukti masih ada penyebutan lain seperti slogan, jargon, kata hikmah, etos, ini menurut KH. Aziz Masyhuri Denanyar.

“Di catatan kaki buku yang sama, Kiai Aziz Masyhuri menyatakan bahwa ungkapan itu berasal dari Ahmad Amin. Dari Ahmad Amin lalu dikutip oleh Anwar Sadat Presiden Mesir dalam sebuah pidatonya. Prof Zahro ini mewawancarai Kiai Aziz pada 3 Maret 2001 di kantor PWNU Jatim. Sedangkan di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh KH Ahmad Shiddiq dan Nurcholis Madjid. Yang kemudian diterima sebagai kaidah keberagaman oleh NU. Ini disebutkan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam ‘NU dan Generasi Baru’,” tambahnya.

Lanjutnya, pada catatan kaki yang lain, menyebutkan bahwa ungkapan (al-muhafadzah) berasal dari syair Muhammad Iqbal. Isu yang melekat M Iqbal adalah tajdid dan ishlah. “Tetapi saya kurang setuju kalau Kiai Hasyim terpengaruh M. Abduh. Kalau setuju dengan modernisasi, iya. Tapi kalau modernisasi dimaknai sebagai meninggalkan mazhab, itu tidak,” imbuhnya.

Sedangkan redaksi ini di kitab-kitab, tutur Pak Anang, ditulis juga oleh Syekh Abul Hasan An-Nadawi tetapi dalam redaksi yang berbeda, yaitu "Al-Jam’u bainal qodimis sholih wal akhdu bil jadidi an-nafi’."

Diskusi berlanjut dengan pemaparan dan penajaman dari masing-masing pemateri. Ke depan, para ahli yang mengadakan Halaqah Tradisi dan Kontekstualisasi Aswaja  ini akan mencoba merumuskan apa yang telah dibahas menjadi satu produk yang bisa dinikmati banyak kalangan khususnya generasi muda.


.

PALING DIMINATI

Back To Top