oleh Abdul Wahab Ahmad
Syaikh Yusuf Qardhawi dan yang sepemikiran dengan beliau sering berkata bahwa di zaman dahulu profesi jasa tidak terkena zakat sebab hasilnya sedikit, beda dengan profesi di zaman sekarang. Saya tidak tahu profesi yang dimaksud itu apa, mungkin tukang bangunan dan pekerja kasar lainnya yang itu pun sampai sekarang memang rendah gajinya.
Namun yang jelas, tampaknya mereka semua lupa bahwa profesi yang terhormat dari dulu hingga kini tidak pernah kecil bayarannya. Kita lihat misalnya profesi hakim di masa Khulafaur Rasyidin sebagaimana disebutkan dalam buku 'Ashr al-Khilafah al-Rasyidah Muhawalah Linaqd al-Riwayah al-Tarikhiyah Wifqa Manhaj al-Muhadditsin karya Akram al-Umari, gaji bulanannya sebagai berikut:
1. Salman bin Rabi'ah al-Bahili di Kufah digaji 500 dirham
2. Syuraih di Kufah digaji 100 dirham
3. Abdullah bin Mas'ud di Kufah 100 dirham per bulan plus daging seperempat kambing per hari
4. Utsman bin Qais di Mesir digaji 200 dinar
5. Qais bin Abi al-Ash di Mesir digaji 200 dinar
Bila memakai kurs sekarang, satu dirham setara kurang lebih 3 gram perak. Harga perak saat ini sekitar 52.000 per gram. Jadi gaji Salman adalah 3 x 500 x 52.000 = 78.000.000. Sedangkan gaji Syuraih dan Ibnu Mas'ud sebanyak 3 x 100 x 52.000 = 15.600.000.
Adapun gaji Hakim Mesir sebanyak memakai dinar yang setara emas seberat 4,25 gr. Kalau memakai kurs harga emas sekarang, bisa sangat fantastis nilainya. Dengan harga emas 1.700.000, berarti gaji mereka adalah 340.000.000. Kalau kita memakai kurs dinar dan dirham di masa Nabi, menurut Ibnu Khaldun satu dinar setara 12 dirham sehingga 200 dinar sama dengan 200 x 3 x 52000 x 12 = 374.400.000,- makin besar lagi.
Karena nama-nama di atas bukan hakim biasa, coba kita bandingkan mereka dengan hakim agung saat ini. Di Indonesia sekarang, menurut data google, hakim agung bisa membawa pulang gaji sebesar 500 juta per bulannya karena adanya Tunjangan Penanganan Perkara. Artinya dari dulu hingga kini gaji hakim memang besar.
Itu baru hakim, belum lagi para gubernur yang secara de facto menjadi raja-raja kecil saat itu. Meski saya tidak menemukan besaran pastinya, namun pastinya gaji mereka jauh lebih besar.
Apakah mereka semua yang gajinya sangat jauh di atas UMR itu dikenakan potongan zakat profesi? jawabannya, tidak. Sebesar apa pun gajinya, tidak ada yang namanya zakat profesi selama lebih dari 1 milenium sejarah umat islam. Bukan karena para ulama tidak tahu bahwa ada beberapa profesi bergaji fantastis, tapi karena mereka tahu tidak ada landasan syariat untuk mengambil paksa harta mereka atas nama zakat. Karena itu, alasan pengusung zakat profesi terlalu dibesar-besarkan untuk mengesankan pekerjaan jasa di masa lalu hampir seluruhnya kecil. Padahal, baik sekarang atau pun dulu, gaji bulanan pegawai negara memang relatif besar bila dibanding buruh kasar.
Sekarang, dengan diperkenalkannya pungutan bid'ah bernama zakat profesi, maka seluruh gaji pegawai dipotong atas nama zakat. Meskipun teorinya hanya untuk mereka yang gajinya mencapai nishab emas, tapi faktanya di lapangan sering tidak ada nishab-nishaban; Yang gajinya di bawah 2 juta pun ada yang terkena potongan. Ditambah lagi banyak yang perhitungannya dihitung dari bruto, bukan netto gaji yang dikurangi kebutuhan hidup, dengan mengikuti fatwa sesat seorang ustadz, sehingga zakat profesi sangat tidak adil. Yang begini ini bukan lagi zakat tapi PPN namanya.
Selain itu, sebenarnya tidak perlu data rumit untuk memahami kelemahan zakat profesi. Cukup logika sederhana saja sudah terlihat bahwa basisnya adalah khayalan bukan realitas. Lihat saja misalnya seorang pegawai yang mendapat take home pay sebesar 10 juta per bulan. Ini secara teori sudah mencapai nishab emas bila gajinya dikalkulasi selama satu tahun. Dengan mengutip keterangan di situs Baznas yang berjudul "zakat penghasilan", untuk contoh gaji 10 juta per bulan pada tahun 2025, terkena zakat sebanyak 2,5% per tahun yang dibayarkan setiap bulan sebesar 250.000,-/ bulan. Kalkulasi Baznas ini mengandaikan orang tersebut mempunyai investasi emas senilai lebih dari 85 gram yang tersimpan selama satu tahun (haul). Coba tanya di mana wujud investasi emas itu? Tidak ada, sebab itu hanya khayalan. Realistasnya, tabungan orang itu di akhir tahun paling hanya beberapa juta saja, kalau tidak habis. Jangankan benar-benar punya investasi emas senilai 85 gram, berkhayal pun si pegawai tersebut tidak sanggup, tapi rupanya khayalan itu pun menjadi basis dia terkena pungutan zakat. Kalau bukan sesat pikir maka apa namanya ini?
Kalau kita beralih ke konsep zakat profesi yang "lebih waras", tidak sesesat yang tadi, zakat profesi dihitung dari netto. Jadi, yang dikalkulasi adalah sisa penghasilan setelah dikurangi semua kebutuhan bulanan. Bila misalnya gaji 10 juta per bulan hanya tersisa satu juta per bulan, maka setahun hanya terkumpul 12 juta sehingga tidak wajib zakat. Bila setahun sisa gaji seseorang betul-betul terkumpul uang senilai minimal emas 85 gram, barulah wajib zakat. Namun, ini sama-sama mengkhayal punya emas 85 gram lebih sebagai investasi. Kenyataannya, semua tahu bahwa uang senilai emas tidak sama dengan punya barang emas itu sendiri. Uang itu mengalami penurunan harga, beda dengan emas yang memang instrumen investasi. Ujungnya sama-sama mengkhayal punya emas padahal emasnya tidak ada.
Belum lagi, secara fikih aturan zakat emas adalah emasnya harus mengendap selama satu tahun penuh. Kalau misalnya anda membeli emas seberat 85 gram lalu setelah delapan bulan dijual untuk dibelikan emas lain, maka hitungan haulnya harus direset menjadi nol bulan kembali. Dalam zakat profesi, reset haul ini tidak ada sebab basisnya adalah khayalan. Pokoknya dikhayalkan setahun terkumpul endapan gaji senilai 85 gram emas, maka wajib zakat meskipun realitasnya tidak pernah ada endapan uang tersebut sebab uangnya selalu mengalir keluar masuk. Ohya, reset haul ini sangat penting dalam fikih sehingga di literatur fikih dijelaskan bahwa orang yang memiliki puluhan kilo emas tidak wajib zakat emas bila masing-masing emasnya selalu terjual sebelum setahun dan berganti barang emas lain. Jadi, kaidah haul ini harus berbasis realitas barangnya benar-benar ada dan dimiliki secara penuh selama setahun penuh, barulah wajib zakat.
Selain itu, mewajibkan zakat profesi sama artinya menuduh para ulama islam selama lebih dari satu milenium tidak paham fungsi zakat. Selain itu, mereka juga menuduh umat islam sepanjang sejarah yang punya gaji banyak telah memakan harta haram sebab tidak menunaikan zakatnya. Ini adlah konsekuensi dari membuat aturan kewajiban baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam sejarah.
Mungkin ada sebagian yang mengatakan bahwa pemikiran saya ini jumud terlalu terpaku pada teks fikih di masa lalu. Sebenarnya bukan demikian, kasusnya adalah saya, dan demikian juga para ulama sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga seabad lalu, tidak mau ada orang yang memakan harta orang lain tanpa status kehalalan yang jelas. Zakat itu bersifat paksaan, bukan sukarela. Mewajibkan zakat pada seseorang sama dengan mewajibkan "merampas" harta orang tersebut dan itu dosa besar bila tanpa dasar hukum syariat yang jelas, apalagi kalau hanya berbasis khayalan seolah orang tersebut mempunyai investasi berupa emas sebanyak 85 gram yang mengendap selama setahun, padahal emasnya tidak ada. Sangat mengherankan bagaimana bisa banyak orang sekarang begitu terobsesinya untuk merampas harta orang lain dan makan dari harta orang kaya tanpa ada legalitas nash syariat sehingga menuduh penentang zakat profesi sebagai pemikir jumud?
Selamat berkhayal, eh maksudnya semoga bermanfaat.
