“Membincang tentang (kajian) al-Qur’an tidak akan pernah ada habisnya. Pemikiran manusia pun tidak akan bisa membatasi (kedalaman) kajian ke-alQur’an-an.” Abdul Halim Mahmud
“Salah satu hikmah paling dalam adalah sikap Nabi Muhammad Saw. Yang tidak menafsirkan al-Qur’an kalimat demi kalimat dan ayat per ayat. Nabi juga tidak pernah menyatakan bahwa tafsirannya membatasi ruang gerak penafsiran lain terhadap al-Qur’an” Abdul Halim Mahmud
Bulan suci (demikian secara lazim masyarakat Indonesia menyebutnya) adalah bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh hampir seluruh umat Islam. Bulan di mana seluruh umat Islam diwajibkan menjalankan ritual puasa selama satu bulan. Di samping itu, bulan Ramadhan adalah bulan di mana al-Qur’an pertama kali diturunkan dari langit ke bumi. Karena itu tidaklah heran jika di surau, mushollah, masjid, dan tempat-tempat lainnya sering terdengar suara umat Islam yang sedang melantunkan ayat suci al-Qur’an.
Kendatipun sangat mudah menemukan lantunan al-Qur’an di tempat-tempat tersebut, bukan berarti kajian al-Qur’an juga dapat mudah dijumpai. Apalagi kajian-kajian ilmu “dunia” (jika memang layak pemetaan ilmu menjadi ilmu dunia dan akhirat) yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Halim Mahmud, sebagian atau bahkan mayoritas umat Islam menganggap bahwa al-Qur’an hanyalah kitab yang menjelaskan tentang keagamaan, bukan urusan keduniawian. Hal inilah yang dikritik oleh Abdul Halim Mahmud bahwa al-Qur’an adalah bukan kitab yang mengkaji hal-hal yang berbau agama saja, melainkan memuat pokok-pokok ilmu dunia.
Makalah “mungil” ini hendak meresume sebuah buku lezat tentang al-Qur’an yang bertajuk “al-Qur’an fi Syahril Qur’an” karya DR.Abdul Halim Mahmud. Penulis merasa bahwa buku ini penting dan wajib dibaca oleh umat Islam untuk menumbuhkan-kembangkan semangat keagamaannya, khususnya perhatiannya terhadap diskursus keal-Qur’anan.
Buku setebal 175 halaman ini terdiri dari 9 bab. Pada pendahuluan buku ini, Abdul Halim Mahmud menegaskan tentang motivasinya dalam menulis karya ini, yakni untuk menumbuhkan semangat gerakan pemikiran yang berlandaskan kajian tentang al-Qur’an. Ia menulis, “Kesulitan (pertama) yang kuhadapi adalah dari ayat mana aku memulai menulis buku ini?” Abdul Halim Mahmud pada akhirnya memilih untuk mengkaji ayat pertama pada surat al-Alaq “Iqra’ Bismi Rabbik” untuk memulai penulisannya dalam buku ini. Ayat ini –menurutnya- di samping ayat pertama yang turun ke bumi, ayat ini juga mengandung kedalaman makna yang sangat luas.
Pada bab pertama, Abdul Halim Mahmud mengurai tentang metode qur’ani kehidupan Muslim. Ia menganalisis dengan cukup detail tentang kalimat “Iqra’” yang menurutnya merupakan kunci gerbang ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga ia mengeritik secara tajam tentang asumsi umum tentang dikotomi ilmu dalam al-Qur’an. Asumsi yang dikritik olehnya adalah Al-Qur’an hanya memuat ilmu-ilmu agama. Padahal al-Qur’an tidak membatasi pada kajian ilmu-ilmu agama. Hal ini ditegaskan oleh-Nya dalam beberapa firma-Nya.
Bab kedua, ia membincang tentang kedalaman makna “Iqra’ bismi Rabbik” dalam kaitannya dengan perang pemikiran “Ghazw al-Fikr”. Pada gilirannya kajian dalam bab ini difokuskan untuk menghujani kritik terhadap muktazilah. Baginya, dasar kajian keislaman adalah wahyu, bukan akal. Pada titik ini, hemat penulis, Abdul Halim Mahmud cenderung gegabah dalam memberikan kesimpulan untuk menggeneralisir kritiknya terhadap Muktazilah. Menurutnya, dasar keilmuan Islam adalah ayat “Iqra’ bismi Rabbik”, sementara Muktazilah dengan kajian filsafatnya akan mengganti dasar yang berupa ayat itu menjadi “Iqra’ bismi Aristo”.
Bab ketiga, Abdul Halim Mahmud memfokuskan diri untuk menulis tentang “Laylat al-Qadr”. Kajian dalam bab ketiga ini menitikberatkan pada fadhilah malam “Laylat al-Qadr”. Sementara pada bab selanjutnya, ia menulis tentang sifat-sifat al-Qur’an seperti : al-Nûr, al-Hakîm, al-Haqq, dan lain-lain.
Bab kelima, ia mengurai tentang bagaimana cara seorang Muslim untuk dapat menyelami kandungan makna dari ayat-ayat al-Qur’an, memahami makna Islam, dan lain sebagainya. Kemudian pada bab setelahnya, ia menulis tentang bulan Ramadhan sebagai bulan berdzikir (bulan untuk lebih jauh dan lebih dalam mengingat-Nya). Pada bab tersebut ia juga mengutip beberapa riwayat tentang dzikir-dzikir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Bab selanjutnya, Abdul Halim Mahmud memaparan tentang do’a-doa yang terdapat dalam al-Qur’an. Ia mengutip kalam hikmah dari Imam Ja’far al-Shadiq tentang empat hal yang mebuat sang Imam takjuban dan heran.
- Aku heran dengan orang yang sedang dilanda ketakutan tapi ia lupa dengan ayat:
حسبنا الله ونعم الوكيل
- Aku heran dengan seseorang yang sedang dilanda ujian atas kelicikan dan kejahatan orang lain, namun ia lupa dengan ayat:
فوقاه الله سيأت ما مكروا
- Aku heran dengan seseorang yang sedang ditimpa marabahaya, akan tetapi ia lupa dengan ayat:
ربي أني مسني الضر ، وأنت أرحم الراحمين
- Aku heran dengan seseorang yang sedang diterpa kesedihan, namun ia lupa dengan ayat:
لا إله إلا أنت ، سبحانك ، إني كنت من الظالمين
Bab delapan, ia mengurai tentang dasar-dasar akidah Agama Islam. Di antaranya adalah mengkaji keyakinan akan dasar-dasar tentang ketuhanan, kerasulan Nabi Muhammad Saw., dan kajian-kajian ketauhidan lainnya yang disertakan dengan dalil-dalil dalam al-Qur’an. Pada bab terakhir, ia mengakhiri penulisannya dengan pembahasan tentang pertolongan Allah kepada umat manusia melalui al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan, dikaji dan didiskusikan. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Semoga kita semua mendapatkan keberkahan bulan di mana al-Qur’an ini diturunkan. Semoga resume buku ini dapat melecut semangat kita untuk mengkaji dan terus mengkaji al-Qur’an dengan penuh keikhlasan. Tidak hanya berhenti pada perlombaan tadarrus layaknya perlombaan MTQ. Allahumma Ballighna Ramadhana.