Harian Jogja (Jum'at, 14 Mei 2010 09:48:22)
Suatu hari saya bertanya kepada seorang teman, “Kapan kamu memikirkan urusan akhirat?” Sambil tersenyum kecut ia menjawab, “Besoklah kalau sudah tua.”
Ketika pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada seorang teman yang lain ia memberikan jawaban yang tak jauh berbeda. “Wah, boro-boro mikir akhirat, lawong dunia saja sudah bikin pusing,” ungkap dia.
Jawaban kedua teman saya tadi merupakan gambaran kecenderungan pemikiran manusia saat ini. Urusan akhirat mereka pikirkan sambil lalu, sementara untuk urusan dunia mereka perjuangkan mati-matian dengan memutar otak, memeras keringat membanting tulang, bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara demi tercapainya suatu tujuan.
Padahal sebenarnya mereka sudah sering mendengar kehidupan dunia adalah fana. Sekadar 'tilik' kata orang Jawa, maksudnya hidup di dunia ibarat cuma menjenguk teman atau saudara yang tentunya tidak bisa berlama-lama. Ada juga yang mengatakan bawa hidup di dunia ibarat mampir ngombe (singgah, berhenti sebentar untuk sekadar minum.
Menyikapi kehidupan dunia, dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Ad Dunya Mazra’atau Al Akhirah (dunia adalah ladang akhirat).
Sehingga waktu yang sangat terbatas di dunia hendaknya digunakan sebaik-baiknya, semakin banyak yang kita tanam di dunia, semakin banyak pula hasil yang akan kita tuai kelak. Akan tetapi yang sering disalah pahami adalah bahwa mencari bekal akhirat hanyalah terbatas kegiatan seperti; salat, zikir, membaca Alquran, puasa dan ibadah-ibadah ritual lainnya saja. Padahal masih banyak bentuk ibadah lain. Bertetangga dengan baik, bersedekah, meringankan beban sesama, menjadi warga negara yang taat, dan menjadi suami yang bertanggung jawab misalnya, adalah termasuk ibadah. Kemudian sedekah pun tidak harus selalu dengan uang atau barang, tersenyum pun termasuk sedekah.
Namun demikian sedekah berupa harta yang berguna bagi kemaslahatan umum tentunya lebih tinggi nilainya jika dibandingkan sebuah senyuman. Suatu ketika seorang sahabat mengeluh kepada nabi,“Ya Rasul, enakya menjadi orang kaya, mereka salat, puasa, membaca Alquran sebagaimana kami juga mengerjakannya.
Akan tetapi ketika giliran mereka membayar zakat, bersedekah, dan berwakaf, kami tidak dapat menyamai amal mereka tesebut.” Nabi menjawab,”Inna fit Tasbihi sodaqotan, sedekahmu dengan zikir, membaca tasbih sebanyak-banyaknya”.
“Ada sebuah hadist yang jika tidak dicermati seolah-olah mendorong kita untuk antipati terhadap harta benda. Misanya konon orang kaya hisabnya akan lama, sehingga ketika yang lain sudah menikmati indahnya surga, mereka masih berada dalam antrean panjang menjalani proses hisab.
Ada dua pertanyaan yang harus mereka jawab. Yang pertama, “Dari mana hartamu didapat?” kemudian pertanyaan kedua,” Kemana engkau belanjakan?” Hadist ini sebenarnya lebih ditujukan untuk mengingatkan agar kaum hartawan lebih berhati-hati dalam mencari dan membelanjakan harta.
Apalagi sampai berlebihan dalam mencintai dunia hingga melalaikan akhirat. Jadi bukan melarang kita untuk tidak berharta sama sekali. Boleh-boleh saja memilikinya asalkan
cara memperoleh dan membelanjakannya sesuai dengan ajaran agama. Boleh saja harta berlimpah asal tidak menjadikan kita lupa akhirat.
Sebenarnya jika kita benar-benar ngopeni akhirat dan dengan cara yang benar pula, kita akan dipermudah dalam urusan dunia. Di dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman,“Ya dunya, Ikhdimi man khodamani was takhdimi man khodamaka!” (Wahai dunia, layanilah orang yang melayaniku, dan perbudaklah orang yang melayanimu). Dua pilihan yang kelihatannya mudah dalam menetukan baik buruknya akan tetapi sering kali kita kesulitan beristiqomah dengan pilihan kita tersebut. Billahi taufiq wal hidayah.
Noor Hamid
Ketika pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada seorang teman yang lain ia memberikan jawaban yang tak jauh berbeda. “Wah, boro-boro mikir akhirat, lawong dunia saja sudah bikin pusing,” ungkap dia.
Jawaban kedua teman saya tadi merupakan gambaran kecenderungan pemikiran manusia saat ini. Urusan akhirat mereka pikirkan sambil lalu, sementara untuk urusan dunia mereka perjuangkan mati-matian dengan memutar otak, memeras keringat membanting tulang, bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara demi tercapainya suatu tujuan.
Padahal sebenarnya mereka sudah sering mendengar kehidupan dunia adalah fana. Sekadar 'tilik' kata orang Jawa, maksudnya hidup di dunia ibarat cuma menjenguk teman atau saudara yang tentunya tidak bisa berlama-lama. Ada juga yang mengatakan bawa hidup di dunia ibarat mampir ngombe (singgah, berhenti sebentar untuk sekadar minum.
Menyikapi kehidupan dunia, dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Ad Dunya Mazra’atau Al Akhirah (dunia adalah ladang akhirat).
Sehingga waktu yang sangat terbatas di dunia hendaknya digunakan sebaik-baiknya, semakin banyak yang kita tanam di dunia, semakin banyak pula hasil yang akan kita tuai kelak. Akan tetapi yang sering disalah pahami adalah bahwa mencari bekal akhirat hanyalah terbatas kegiatan seperti; salat, zikir, membaca Alquran, puasa dan ibadah-ibadah ritual lainnya saja. Padahal masih banyak bentuk ibadah lain. Bertetangga dengan baik, bersedekah, meringankan beban sesama, menjadi warga negara yang taat, dan menjadi suami yang bertanggung jawab misalnya, adalah termasuk ibadah. Kemudian sedekah pun tidak harus selalu dengan uang atau barang, tersenyum pun termasuk sedekah.
Namun demikian sedekah berupa harta yang berguna bagi kemaslahatan umum tentunya lebih tinggi nilainya jika dibandingkan sebuah senyuman. Suatu ketika seorang sahabat mengeluh kepada nabi,“Ya Rasul, enakya menjadi orang kaya, mereka salat, puasa, membaca Alquran sebagaimana kami juga mengerjakannya.
Akan tetapi ketika giliran mereka membayar zakat, bersedekah, dan berwakaf, kami tidak dapat menyamai amal mereka tesebut.” Nabi menjawab,”Inna fit Tasbihi sodaqotan, sedekahmu dengan zikir, membaca tasbih sebanyak-banyaknya”.
“Ada sebuah hadist yang jika tidak dicermati seolah-olah mendorong kita untuk antipati terhadap harta benda. Misanya konon orang kaya hisabnya akan lama, sehingga ketika yang lain sudah menikmati indahnya surga, mereka masih berada dalam antrean panjang menjalani proses hisab.
Ada dua pertanyaan yang harus mereka jawab. Yang pertama, “Dari mana hartamu didapat?” kemudian pertanyaan kedua,” Kemana engkau belanjakan?” Hadist ini sebenarnya lebih ditujukan untuk mengingatkan agar kaum hartawan lebih berhati-hati dalam mencari dan membelanjakan harta.
Apalagi sampai berlebihan dalam mencintai dunia hingga melalaikan akhirat. Jadi bukan melarang kita untuk tidak berharta sama sekali. Boleh-boleh saja memilikinya asalkan
cara memperoleh dan membelanjakannya sesuai dengan ajaran agama. Boleh saja harta berlimpah asal tidak menjadikan kita lupa akhirat.
Sebenarnya jika kita benar-benar ngopeni akhirat dan dengan cara yang benar pula, kita akan dipermudah dalam urusan dunia. Di dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman,“Ya dunya, Ikhdimi man khodamani was takhdimi man khodamaka!” (Wahai dunia, layanilah orang yang melayaniku, dan perbudaklah orang yang melayanimu). Dua pilihan yang kelihatannya mudah dalam menetukan baik buruknya akan tetapi sering kali kita kesulitan beristiqomah dengan pilihan kita tersebut. Billahi taufiq wal hidayah.
Noor Hamid