Harian Jogja (Jum'at, 05 Maret 2010 09:01:46)
Malam itu kebetulan ia pulang agak larut. Beberapa kali ia mengetuk pintu tapi tidak juga dibukakan. Akhirnya ia merebahkan tubuh di depan pintu berselimutkan udara malam. Menjelang Subuh, ia terjaga saat istrinya membuka pintu. Apakah ia kemudian memarahi sang istri yang membiarkannya semalam kedinginan?Ternyata tidak, justru ia minta maaf atas keterlambatannya.
Kecantikan istrinya, bukanlah penyebab ia tidak marah. Ia memang dikenal sebagai lelaki yang menghormati kaum Hawa. Baginya karakteristik fisik dan psikis mereka yang lemah adalah untuk dilindungi bukan untuk ditindas dan dilecehkan.
Laki-laki tampan itu lahir dalam keadaan yatim. Pada usia enam tahun, keprihatinannya semakin lengkap setelah sang ibu tercinta wafat. Kelembutan hati yang terlatih sejak belia mengantarkannya sebagai sosok yang datang sebagai pembebas kaum lemah. Ia juga berhasil membebaskan umat manusia dari paganisme seperti yang dialami masyarakat jahiliyah kuno dan andai kita benar-benar mengikuti ajarannya, niscaya juga terbebas dari budaya jahiliyah modern yang menuhankan akal dan materi.
Ia adalah seorang panglima perang yang amat disegani teman maupun lawan. Namun kedudukan tinggi tidak menjadikannya melupakan posisinya sebagai seorang ayah dan suami yang dinanti kasih sayangnya. Kecintaan terhadap buah hati juga tidak menghalanginya menegakkan keadilan.
Kalau kebetulan Anda berbeda keyakinan atau agama dengannya, Anda tidak perlu merasa cemas. Agamanya amatlah toleran sehingga Anda dapat hidup dengan aman tanpa sedikitpun teror mengancam. Adapun belakangan para pengikutnya yang bersikap lain mungkin karena kurang mengenal panutan mereka yang mulia ini.
Demikian pula bagi Anda yang belum lama memeluk agamanya, atau belum bisa secara kaffah dalam mengamalkan ajarannya. Ia tidak gegabah mengklaim Anda telah keluar dari agamanya. Karena hal tersebut adalah urusan Anda dengan Allah. Selama Anda mengikrarkan bahwa Allah sebagai satu-satuya tuhan yang berhak untuk disembah dan ia sebagai utusanNya, maka jiwa, harta, dan kehormatan Anda telah terjamin.
Anda tentu sudah dapat siapa yang sedang kita rasani dalam tulisan ini. Beliau tak lain dan tak bukan adalah Baginda Muhammad SAW. Nabi yang kebetulan bulan ini kita peringati kelahiran sekaligus mangkatnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya di bulan Rabiul Awwal berbagai kemasan acara kita gelar untuk memperingatinya. Pengajian, sholawatan, pembacaan maulud maupun sirahnya, dan berbagai macam acara lain. Akan tetapi dapat kita lihat pula seolah semua itu hanyalah rutinitas yang hanya begitu-begitu saja.
Ketika kita mendengar pembacaan kisah beliau, kita mungkin akan terkagum-kagum, terharu dan seolah semangat keberagamaan kita meningkat saat itu juga . Akan tetapi seringnya hal itu tidak berlangsung lama, Orang Jawa mengistilahkannya “bungentuwo “, mlebu kuping tengen metu kuping kiwa (masuk telinga kanan langsung keluar lewat telinga kiri )tanpa mampir dan membekas dihati.
Sering pula kita mendengar saudara kita atau bahkan kita sendiri ketika dianjurkan untuk mencontoh akhlak beliau yang mulia kita berdalih, “Lho, saya kan bukan nabi , manusia pilihan yang maksum terjaga dari dosa.” Dan kemudian ketika dialihkan kepada keteladanan para sahabat masih ada saja jawaban, “Mereka kan pernah hidup pada masa Nabi, ibarat air gunung yang jernih karena masih dekat dengan mata air, sedangkan kita sudah begitu jauh dari mata air, sehingga wajar kalau keruh.”
Begitulah kita ada saja dalih yang kita sampaikan. Kita sering lupa bahwa nabi yang terjaga dari dosa begitu bersemangat dalam menegakkan malam-malamnya , mengisi dengan ibadah hingga kakinya bengkak. Penderitaan kita sangatlah berat bagi beliau, hingga beliau berderai airmata karenanya. Beliau adalah manusia yang membutuhkan tidur, namun ketika bangun tidur tampaklah bekas tikar kasar pada kulitnya. Beliau terbiasa tidak makan selama tiga hari. Beliau mengganjal perut dengan batu untuk menghilangkan lapar. Jadi beliau memanglah manusia yang diciptakan untuk dicontoh bukan sekedar dongeng ataupun kebanggaan umat. Kalaupun kita merasa bagai air yang sudah amat keruh karena begitu jauh jarak kita dengan Sang mata air, tidakkah kita merindukan dan mengupayakan kejernihan? Billahit Taufik Wal Hidayah