Harian Jogja (Jum'at, 19 Maret 2010 10:04:55)
Pada beberapa waktu lalu bangsa Indonesia seperti mendapatkan hiburan baru. Baik melalui media cetak maupun elektronik, kita dapat melihat para wakil rakyat saling bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing. Sementara itu, di luar gedung dan di beberapa tempat, terjadi demontrasi masih dalam topik yang sama. Banyak sikap dan tindakan yang dinilai tidak sepantasnya dilakukan. Tidak mencerminkan tindakan seorang yang berpendidikan terlebih sebagai pengemban amanah.
Melihat fenomena tersebut, saya teringat sebuah cerita populer yang sering dinisbatkan pada seorang waliyullah, tokoh bijak Lukman Al Hakim yang namanya diabadikan dalam AlQuran.
Pada suatu hari beliau bersama putranya mengadakan perjalanan jauh membawa seekor keledai yang masih muda, kuat, dan tegap. Keduanya menaiki keledai tersebut dengan berboncengan menyusuri jalan-jalan kampung mengingat panas yang begitu terik waktu itu.
Pada sebuah kampung, seorang penduduk berkata,”Lihatlah teman-teman orang yang tidak mempunyai rasa belas kasih kepada makhluk. Mereka tega menaiki keledai dalam perjalanan yang begitu melelahkan, bukankah seharusnya mereka bergantian menaikinya?”
Mendengar komentar itu, hati Lukman Al Hakim merasa tidak nyaman. Ia kemudian turun dan menyuruh putranya tetap di punggung keledai, sementara beliau berjalan di sampingnya sambil memegang tali kekang keledai.
Ketika melewati sebuah kampung lain, giliran seorang penduduk berkata,” Lihatlah , betapa buruk akhlak pemuda di atas punggung keledai itu, tidak mempunyai rasa belas kasihan kepada ayahnya. Dia enak-enak naik keledai, sedangkan ayahnya yang sudah tua disuruh berjalan, bukankah seharusnya ia yang berjalan?”
Ringkas cerita, dalam perjalanannya berkali-kali Lukman Al Hakim dan putranya menuai komentar dari orang-orang yang dilewatinya. Cerita ini diakhiri dengan nasehatnya kepada putranya, “Nak, engkau dapat menghitung sendiri berapa kali tindakan kita dianggap keliru, maka lain kali ketika kau berjalan dengan arah dan tujuan yang jelas, janganlah mudah menghentikan langkah hanya karena komentar orang”.
Cerita di atas sering juga dinisbatkan pada tokoh sufi nyentrik Nasruddin Hoja. Sesuai dengan kenyentrikannya, cerita itu berakhir setelah Nasruddin dan putranya mencoba meneruskan perjalanan dengan memanggul keledai yang tentunya merupakan tindakan yang sangat konyol.
Sebagaimana yang disampaikan Lukman Al Hakim, perilaku kita tidak akan pernah lepas dari kritikan dan komentar orang lain. Kita memang harus selalu sadar, no body’s perfect, tak ada seorang pun sempurna tanpa cela sehingga kita harus bersikap terbuka menerima saran dan kritik dari orang lain.
Akan tetapi kita juga harus teguh memegang prinsip yang kita yakini kebenarannya dan lebih luas kemaslahatannya, yang bukan semata mata karena menuruti ego pribadi.
Seorang filosof, As Shirazi berkata, “Tidak ada orang yang melemparkan batu kearah pohon yang tidak berbuah.” Setidaknya dua pelajaran dapat kita petik dari perkataan itu. Yang pertama, semakin tinggi kedudukan seseorang, akan semakin besar kemungkinan menuai komentar dan kritik. Dia harus menyadari posisinya, bersiap-siap sebelumnya, agar terhindar dari tindakan-tindakan naif.
Dalam filosofi Jawa disebutkan, “Aja gumunan, aja kagetan, nanging ya aja dumeh!”. Artinya, jangan mudah terpesona, jangan mudah kaget, tapi juga jangan berarti kita takabur anti kritik, dan mengandalkan kekuasaan, apalagi menghalalkan segala cara demi tujuan pribadi.
Yang kedua, tentang orang yang melempar buah. Ada kalanya orang yang melempar sebuah kritikan yang membangun mampu menunjukan kelemahan dan kesalahan sekaligus memberi solusi yang cerdas. Tujuannya untuk kemaslahatan umum, tanpa niat menghancurkan. Yang kedua, adalah tipe pengkritik dengan cara membuka aib, menunjukan kelemahan-kelemahan orang lain dengan maksud menjatuhkan, bukan semata-mata menegakkan kebenaran.
Ada pula yang pandai memberikan kritikan bahkan hujatan akan tetapi tidak mampu memberikan solusi, hanya mencari sensasi yang justru memperkeruh suasana.
Sebagai umat beragama, bangsa Indonesia seharusnya berbeda dari bangsa bangsa lain. Dalam Islam, silaturahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan amat ditekankan. Terlihat betapa nyata Nabi Muhammad SAW mengupayakan kerukunan umat dan penghormatan akan hak-hak orang lain, sebagaimana dalam sabdanya, “Barang siapa menyakiti orang kafir dzimmy, akulah musuh orang tersebut. Dan barang siapa menjadikan aku sebagai musuhnya, akan kukalahkan dia di hari kiamat.”