Bismillahirrohmaanirrohiim

Kolom Gus Nur Hamid : Tiang Negara

Harian Jogja (Jum'at, 23 April 2010 10:31:40) 

Beberapa hari lalu mungkin pembaca ’ditodong’ putra-putrinya, sehubungan pesta ’ulang tahun’. Tetapi saya yakin, mereka tak bermaksud membeli kado sebagai hadiah ulang tahun seseorang. Mereka sekadar ingin berpenampilan beda pada hari H pesta. 

Pada hari itu, pembaca atau kakek nenek mereka akan senyum. simbah putri akan terkenang puluhan tahun lalu, betapa gagahnya mbah kakung kala itu. Sebaliknya, mbah kakung terkenang betapa cantik dan innocentnya sang pujaan hati, kala itu. 

21 April lalu kita kembali memperingati hari Kartini. Sebagaimana biasa, sekolah mewajibkan siswa berbusana tradisonal. Pemandangan tampak seperti audisi akbar dimas diajeng atau pemilihan duta pariwisata. Kegiatan belajar mengajar libur, diganti aneka acara yang tak jarang justru sekadar hiburan. 

Jarang terlihat acara mengirim doa bagi Sang Pendekar Bangsa, RA Kartini, apalagi menghidupkan kembali semangat juangnya. Sebagai salah satu dari wonder womennya Indonesia, Kartini meninggalkan warisan sangat bernilai, khususnya kaum perempuan. Jika sebelumnya perempuan tak lebih dari rencang wingking, sekarang bisa dilihat betapa perempuan duduk beradampingan dan berjalan beriringan dengan lakilaki. 

Bahkan jika pembaca menyempatkan diri membaca iklan lowongan pekerjaan, lowongan untuk perempuan justru lebih banyak dibanding laki-laki. Jika merunut sejarah, jauh sebelum Kartini, Islam lebih dahulu memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Pada zaman Jahiliyah, perempuan tak ubahnya harta benda yang dengan udah dapat dipindah tangan, dapat dijual dan diwariskan. Memiliki anak perempuan merupakan aib, sehingga hal biasa membunuh atau mengubur hidup-hidup bayi perempuan,  hanya demi menjaga gengsi. 

Setelah Islam muncul, merekakaum perempuan terangkat derajatnya (QS Al Ahzab[33]: 35). Dari 114 surat dalam Al Quran pun terdapat surat An Nisaa’ akan tetapi kita tidak akan menemukan surat yang bernama Ar Rijaal. Kemudian terdapat banyak hadist nabi yang mengajarkan pemuliaan perempuan, baik dalam kapasitasnya sebagai ibu, istri maupun anak. Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah sabda nabi yang artinya, 

“Yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik kepada perempuan.” Ada sebuah maqolah -yang terjadi perkhilafan pendapat antara para ulama’ tentangnya, apakah termasuk hadis atau hanya maqolah (katakata bijak) ulama- yang artinya, “Wanita adalah tiang negara, ketika wanita baik maka negara  akan kuat, akan tetapi jikawanita buruk/rusak maka  hancurlah negara itu.” 

Ungkapan ini janganlah disalah artikan bahwa wanitalah yang seharusnya memegang kendali pemerintahan. Akan tetapi justru lebih pada kedudukan wanita dalam fungsi domestiknya , memainkan peran sebagai ibu dan istri. 

Sebagi istri, ia bukanlah sekedar alat penerus keturunan, penyalur kebutuhan biologis ataupun satpam merangkap koki bagi rumah suaminya. Masing-masing dari pasangan suami istri adalah laksana pakaian. Ia harus mampu menjaga pasangannya dari pengaruh buruk ’cuaca’, mampu menutupi ’aurat’, juga menambah harkat dan martabat pasangannya. Sebagi ibu ia tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, menyusui, dan perjuangan pemeliharaan fisik lainnya. Akan tetapi ia diharapkan merupakan pendidik pertama putra-putrinya, generasi harapan bangsa. 

Kodratnya sebagai insan yang mempunyai kelembutan fi sik dan perasan merupakan hasil settingan yang sempurna dari Sang Pencipta yang tidak dimiliki laki-laki. Sebuah kehormatan dan amanah yang mulia. 

Menimbang peran dan amanah inilah diperlukannya pendidikan yang tinggi bagi perempuan. Sebagai seorang pendidik, ibu yang ideal adalah yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Sebagai pendamping suami yang mampu melengkapi kekurangan, mengobarkan semangat, dan juga mitra mengevaluasi langkah, baginya pendidikan dan wawasan yang luas merupakan sebuah keniscayaan. 

Yang perlu dibenahi adalah orientasi pendidikan. Lembaga pendidikan selama ini diasumsikan sebagai pabrik pencetak para pekerja, karena orang menuntut ilmu bertujuan mencari pekerjaan saja. 

Kita menganggap wanita berpendidikan tinggi akan sia-sia harta dan waktunya, jika akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Juga tentang fenomena wanita berpendidikan tinggi, yang ujungujungnya melupakan amanah agung sebagai tiang negara. Wallahu a’lam bish showab. 

* Pimpinan Pondok pesantren Assalafi yyah, Mlangi Sleman Yogyakarta


.

PALING DIMINATI

Back To Top