Perbincangan tentang nikah sirri belakangan mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya wacana bahwa nikah sirri itu haram, misalnya dalam draft RUU Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Jika benar nikah sirri diharamkan --apalagi kemudian dipidanakan dalam ranah hukum positif Indonesia--dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Masyarakat akan mempertanyakan, bagaimana orang yang jelas-jelas berzina hanya diancam hukuman 3 bulan penjara sedangkan yang melakukan nikah sirri diancam 6 bulan penjara atau denda 6 juta rupiah. Maka wajarlah kalau beberapa kalangan mengharapkan hadirnya kejelasan atau kepastian, boleh tidaknya nikah sirri itu, baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif Indoenesia.Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang hal ikhwal nikah sirri tersebut Elvi Huddhriyah dari Redaksi Mimbar Ulama mewawancarai KH.Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia yang membidangi fatwa. Berikut petikan wawancaranya:
E :Mohon dijelakan apa yang dimaksud dengan Nikah Sirri itu ?
MA:Sebenarnya Nikah Sirri itu ada 2 pengertian :
1. Nikah berdua saja , yaitu tidak ada saksi dan wali. Yang seperti ini sudah jelas haram dan tidak sah. 2. Nikah sirri yang dipahami oleh masyarakat adalah nikah di bawah tangan, yang tidak dicatat oleh KUA. Kalau dalam pengertian ini kita sebagai MUI sudah melakukan pembahasan yang isinya bahwa nikah sirri sepanjang dipenuhi syarat hukum pernikahan itu sah.
Nikah sirri itu bisa haram apabila ada perlakuan yang merugikan istri atau anak yang ditelantarkan karena mereka tidak memiliki landasan untuk melakukan gugatan untuk melindungi dirinya karena tidak tercatat. Karena itu MUI merekomendasikan supaya nikah sirri itu dicatatkan, sehingga tidak ada korban istri maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
E :Kalau begitu namanya bukan nikah sirri lagi dong?
MA:Artinya nikah sirri itu nikah yang tidak dicatatkan. Tetapi kalau kemudian diproses di KUA untuk dicatat, ya namanya tidak nikah sirri lagi.
E :Kalau di dalam hukum Islam sendiri, apakah nikah sirri itu hak-haknya sama atau tidak dengan mereka yang tercatat di KUA.
MA:Seharusnya kalau menurut syariat, istri dan anak itu ‘kan ada (hak-haknya. Red.). Tetapi kalau nikahnya tidak dicatat, maka kemudian dia tidak mempunyai dasar untuk meminta haknya itu. Artinya kalau si suami memenuhi haknya, itu sesuatu yang menjadi kepatuhan suami saja. Tetapi kalau si suami menelantarkan, maka si anak dan istri itu tidak punya dasar untuk mengklaim haknya. Jadi tidak terlindungi hak-haknya kalau melakukan nikah sirri
E :Kalau dari sisi wanita, apa saja kerugian baginya jika melakukan nikah sirri, walaupun pada sisi lain ada wanita yang merasa enjoy saja melakukan nikah sirri?
MA:Kerugiannya antara lain tidak diberikan haknya, tidak dinafkahi dan tidak bisa menggugat. Artinya ketika dia dicerai, dia tidak bisa menuntut apa-apa karena tidak punya surat nikah, dan ketika suaminya meninggal dia juga tidak bisa mengklaim untuk memperoleh haknya itu. Artinya tergantung kebaikan suami dan keluarganya. Jadi tidak memiliki hak apa-apa, Nah inilah yang menjadi persoalan terhadap nikah sirri. Sekarang ini, jika orang menuntut sesuatu ‘kan harus ada bukti, dan bukti itu harus tertulis, tercatat, terdaftar. Jadi itulah persoalannya. Ini sebenarnya yang dipikirkan kemaslahatannya oleh para ulama, oleh para pembela wanita. Tetapi memang banyak wanita yang merasa enak saja dan suka (menjalani nikah sirri). Juga banyak tokoh yang menganggap ini sesuatu yang sah dan sudah dilakukan. Ini banyak juga yang dilakukan oleh ulama. Mereka menganggap mereka memenuhi hak-haknya.
E :Sebenarnya apa yang mendorong mereka melakukan nikah sirri?
MA:Karena adanya larangan berpoligami, kecuali dengan ijin tertulis dari istri. Sebenarnya izin tertulis itu bisa diperoleh kalau istrinya mau, atau melalui pengadilan. Akan tetapi orang akan merasa tidak nyaman. ‘Kan kalau dari istrinya tidak mungkin dapat (ijin), sementara kalau dia mengurus ke pengadilan merasa tidak nyaman dan agak sulit. Nah itulah sebabnya mengapa orang melakukan nikah sirri.
E :Kalau mereka yang karena alasan biaya bagaimana, Pak? Bagaimana upaya pemerintah?
MA:Kalau biaya tidak menjadi masalah. Dia ingin --kalau menurut saya-- utamanya adalah memiliki istri lebih dari satu. Itulah masalahnya.
E :Dari segi syariat, jika memenuhi syarat dan rukunnya ‘kan ini sah. Tapi bagaimana dengan dampaknya, misalnya banyaknya anak-anak dan perempuan (isteri) yang telantar? Bukankah mereka dirugikan?
MA:Justru itu harus dilindungi
E :Caranya, Pak?
MA:Caranya itu ketika orang melakukan nikah sirri ‘kan ada 2 pemikiran. Ada yang diberikan sanksi dipidanakan, kemudian mendapat reaksi. Mengapa? Ada kesan nikah sirrinya itu dilarang, diharamkan, dianggap haram lalu dipidanakan. Ini akan mendapat reaksi. Tetapi kalau tidak ada sanksi tentu banyak korban.
E :Bapak setuju tidak dengan sanksi pidana itu?
MA:Masalahnya ini ‘kan sesuatu yang sah, legal dan halal kemudian kok dipidanakan. Mestinya yang dipidanakan itu ketika orang menelantarkan anak istrinya. Jadi bukan pada nikah sirrinya. Inilah yang menjadi tuntutan Majelis Ulama.
E :Bapak sendiri setuju atau tidak dengan ancaman pidana 6 bulan penjara seperti yang ada pada draft rancangan RUU?
MA:Saya kira kita harus bicarakan. (Sekali lagi) yang harus dipidanakan itu adalah perbuatan menelantarkan anak isteri. Jadi bukan nikah sirinya.
E :Ada lagi yang menarik, Pak! Ancaman hukuman pelaku nikah sirri lebih berat daripada hukuman pelaku perzinahan. Kalau kita lihat dari pasal 143 disebutkan pelaku nikah sirri didenda 6 juta rupiah atau kurungan 6 bulan, sedangkan pelaku perzinahan yang menghamili perempuan yang belum menikah hanya dipidana 3 bulan penjara.
MA:Justru itu harus dibicarakan, supaya hukum itu berkeadilan. Yang pertama jangan nikah sirrinya yang dipidanakan tetapi dikarenakan menelantarkan anak isteri. Yang ke-2 jangan sampai pelaku nikah sirri yang menelantarkan anak isteri itu lebih berat dari perzinahan.
E :Bagaimana menurut pendapat Bapak jika ada yang mengatakan karena akibat nikah sirri banyak anak yang ditelantarkan ?
MA:Tidak! Tidak semua pelaku nikah sirri menelantarkan anak. Artinya kalau orang nikah sirri dan anak isterinya tidak terlantar dan dipenuhi hak-haknya, maka tidak ada masalah. Karena itu bukan pada perbuatan nikah sirrinya tapi pada penelantarannya, baru kemudian dibicarakan pidananya atau hukumannya seperti apa.
E :Sanksi apa yang pantas menurut Bapak dari MUI?
MA:Ya kita memang belum membicarakan. Tapi itu memang perlu, supaya ada perlindungan. Sudah ada 2 yang direkomendasikan. Pertama, agar diproses pencatatan bagi pelaku nikah sirri. Yang kedua, yang menelantarkan diberikan hukuman. Ketika proses pencatatan pasti ada persoalan baru, yaitu harus ada surat izin dari isteri pertama. Kalau tidak diproses itu artinya melanggar undang-undang. Nah tentu harus ada pengaturan, sanksinya saya kira harus dibicarakan lebih dalam karena banyak menyangkut kepentingan banyak pihak. Jangan sampai itu dianggap hukuman yang tidak adil terlalu berat atau terlalu ringan.
E :Apa saran Bapak kepada masyarakat yang akan melakukan pernikahan sirri?
MA:Sebaiknya hindari melakukan pernikahan sirri, sebab nikah sirri berpotensi pada pelanggaran hukum.
E :Jaman Rasulullah juga ‘kan tanpa pencatatan. Bagaimana menurut Bapak?
MA:Oh ya. Jaman dulu tidak ada pencatatan. Jaman Rasulullah itu orangnya jujur-jujur. Pencatatan itu ada setelah banyak orang yang melanggar, menelantarkan misalnya. Maka dibuatlah aturan pencatatan sehingga orang punya surat nikah.
E :Apa masukan MUI kepada Pemerintah dalam rangka menertibkan kembali mereka yang ingin menikah?
MA:Ada banyak usulan pernikahan agar menjadi resmi, memberikan sanksi kepada suami yang menelantarkan anak dan isteri, meninjau larangan poligami, dan lain-lain. Namun saya banyak bertanya pada kaum ibu, ternyata mereka keberatan.
E :Tapi banyak juga ‘kan, Pak, para ulama yang melakukan poligami?
MA:Ya memang. Tapi tidak semua kyai atau ulama. Artinya, benar ada beberapa kyai (berpoligami), karena kyai punya potensi untuk tidak cukup memiliki satu isteri seperti juga yang lain. Nah, maka dari itu banyak kyai yang menentang larangan poligami. Malah kalau di Madura banyak kyai punya isteri lebih dari satu dengan jalan nikah siri.