Baru-baru ini teman saya terkena stroke sehingga sebelah tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan dan lidahnya kelu. Nasehat yang paling banyak saya dengar adalah agar dia menguatkan tekad dan kemauan untuk melawan penderitaannya supaya dapat sembuh dengan lebih cepat. Saya kira kebanyakan orang mengakui tekad dan kemauan merupakan bekal penting dalam proses penyembuhan baik dari akibat stroke, kangker ataupun penyakit apa saja. Tekad dan kemauan yang sering diteriakkan dengan Yes You Can atau Saya Bisa bukan hanya diakui penting dalam proses pemulihan diri tetapi juga sebagai pemacu semangat dalam mengejar cita-cita, mencapai tujuan. Dari belajar bermain gitar, meninggalkan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan sampai menaklukkan puncak gunung. Tapi Yes You Can maupun Saya Bisa terdengar bernada sombong, terasa memaksakan kehendak dan mendahului takdir. Bagaimana kalau niat, cita-cita, dan masa depan kita hadapi dengan pertanyaan dan pikiran yang terbuka? Kita hadapi dengan sikap bertanya-tanya Bisakah Saya daripada kita tegaskan Saya Bisa. Atau dalam versi yang lebih akrab: “Insyaalloh Bisa”
Wray Herbert dari Association for Psychological Science menulis tentang hasil penelitian Ibrahim Senay, psychologist dari Universitas Illinois Amerika dalam Scientific American edisi bulan Juli 2010 dengan judul: The Willpower Paradox. Ditulis disana bahwa pada dasarnya menetapkan pikiran pada sesuatu tujuan dapat berdampak kontraproduktif dibandingkan dengan memikirkan masa depan sebagai pertanyaan terbuka. Aneh kan? Bagaimana mungkin menegaskan niat justru mengurangi dan bukannya mempermudah tercapainya tujuan? Dalam salah satu eksperimen yang melawan intuisi itu Professor Senay merekrut sejumlah relawan dengan tujuan pura-pura untuk mengkuti penelitian mengenai bentuk tulisan tangan. Sebagian diminta untuk menuliskan: I will (saya mau) berulang-ulang sedangkan sebagian lain diminta menuliskan Will I? (maukah saya). Sesudah selesai, semuanya diminta untuk mengerjakan anagram, yaitu menukar-nukar susunan huruf dalam satu kata atau kalimat menjadi kalimat baru yang berbeda arti.
Ternyata mereka yang menuliskan Will I? hasilnya jauh lebih baik dibanding mereka yang menuliskan I Will. Pada eksperimen berikutnya tugas mengerjakan anagram itu diganti dengan mengikuti program latihan senam rutin selama beberapa waktu.Tetapi hasilnya tetap sama. Mereka yang menulis Will I jauh lebih taat mengikuti latihan itu dibanding mereka yang menuliskan I will. Perbedaan perkataan saya mau dan maukah saya sebelum mengerjakan anagram atau latihan senam tadi tidaklah kentara. Tetapi pada dasarnya maukah saya menempatkan pikiran mereka dalam mode bertanya-tanya sedangkan saya mau merupakan penegasan diri mereka dan keinginan mereka.
Ternyata orang yang menjaga pikirannya tetap terbuka dan bertanya-tanya (wondering mind) lebih termotivasi dan terarah pada tujuan dibandingkan dengan mereka yang mengikrarkan tujuannya pada diri sendiri. Pikiran yang bertanya-tanya cenderung untuk mencari inspirasi positif dari dalam, daripada berpegang pada standar yang kaku. Jadi lebih baik kita melaksanakan niat dengan pikiran terbuka dan bertanya-tanya daripada menegaskannya dengan semboyan Saya Bisa. Karena itu ucapkan selalu Insyaalloh. Cita-cita akan tercapai dengan lebih mudah. Insyaalloh. (Juman Basalim)