Oleh: Husein Muhammad
Di tengah hingar-bingar perdebatan soal RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, saya ditanya seorang teman tentang hukum “perempuan menari dengan tubuhnya yang meliuk-likut”. Pertanyaan ini menarik dan memang relevan untuk konteks perbincangan RUU APP tersebut. Saya segera ingat mengenai hal ini pada buku himpunan Bahtsul Masail NU“ (Kajian hukum Islam NU). Di dalamnya ada pertanyaan yang persis sama dengan yang ditanyakan teman tersebut. “Bagaimana hukum tari-tarian lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?”, begitu pertanyaan yang diajukan dalam Muktamar I di Surabaya 21 Oktober 1926.
Forum Bahtsul Masail pada muktamar NU tersebut dalam jawabannya mengatakan : “Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum lelaki dan gerak kelelaki-lakian bagi kaum wanita. Bila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram”.(Baca : Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU himpunan K.H.Aziz Masyhuri, diterbitkan PPRMI dan Qultum Media cet. I/ 2004, h. 15).
Sebagaimana tradisi NU, setiap keputusan selalu merujuk pada kitab-kitab kuning (buku klasik umumnya produk pemikiran abad pertengahan). Maka keputusan di atas juga mengacu pada sejumlah kitab dan pendapat ulama yang ada di dalamnya. Fatwa tersebut dirujuk dari kitab Al Itihaf, syarh (komentar) kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al Ghazali. Di dalamnya disebutkan ; para ulama berbeda pendapat mengenainya dalam batas antara makruh dan mubah. Di antara ulama yang berpendapat bahwa menari demikian hukumnya makruh adalah Imam Qaffal seorang tokoh mazhab Syafi’i aliran Khurrasani. Sementara ulama yang menghukumi mubah antara lain Imam Haramain, Ibnu ‘Imad al Sahrawardi dan Imam Rafi’i. Semuanya adalah para pengikut mazhab Syafi’i aliran Iraqi. Aliran Syafi’i ini secara umum tergolong tradisionalis, meski beberapa di antaranya juga progresif. Imam Haramain, guru Imam Al-Ghazali, mengatakan:
الرقص ليس بمحرم فإنه مجرد الحركات على استقامة او إعوجاج
“Menari tidaklah haram karena ia sekedar gerakan-gerakan tubuh yang bisa tegak lurus dan bisa juga lenggak-lenggok). Akan tetapi beliau segera memberi catatan “asal goyangannya tidak berlebihan”.
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi dan Qiyas. Nabi pernah menyaksikan orang-orang Habasyah yang menyanyi dan menari. Beliau diam saja dan tidak membencinya. Gerak-gerak tari disamakan dengan gerak-gerak tubuh yang lainnya.
Nah, begitulah para ulama NU menjawab soal hukum menari. Saya tidak tahu lagi sekarang apakah keputusan ini masih berlaku untuk hari ini atau sudah dibatalkan/dianulir oleh keputusan Muktamar berikutnya. Saya juga tidak tahu apakah lenggang-lenggok dan gerakan tubuh perempuan yang lemah-gemulai itu termasuk dalam katagori erotika dan dengan demikian termasuk pornoaksi?. Sulit bagi saya untuk menilai sejauh mana goyangan tersebut tidak dianggap sederhana atau berlebihan. Saya juga tidak dapat memastikan apakah menari seperti itu pada waktu lampau “dinilai” para ulama, termasuk ulama NU, tidak menimbulkan rangsangan dan hanya dianggap sebagai sekedar gerak seni?. Wallahu A’lam.
Pengalaman di Kairo
Akan tetapi yang lebih menarik dari itu adalah pengalaman saya di Kairo, Mesir. Tahun 1998 saya diundang mengikuti Konferensi Internasional yang menggelar tema besar “Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi” di sana. Konferensi dibuka oleh Syeikh Al-Azhar (Grand Syeikh): Sayid Thantawi di Universitas Islam tertua dan terkemuka ; Al Azhar, di kawasan Nasr City. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 40 an negara Islam yang diwakili oleh para ulama dan para pakar kesehatan terkemuka di negaranya masing-masing. Peserta dari Universitas Al Azhar termasuk yang paling banyak. Dari Indonesia hadir 11 orang. Beberapa di antaranya : Masdar F. Mas’udi; direktur P3M, Dr. Muslim Ibrahim (sekarang ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Noangroe Darussalam), Dr. Khalijah Nasution; dosen IAIN Sumatera Utara, Masruha; mantan ketua KPI, Marhumah; dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya sendiri dan teman lain yang saya sudah lupa namanya.
Pada hari terakhir konferensi, seluruh peserta dijamu panitia makan malam (‘Asya) di atas kapal pesiar sambil mengarungi sungai Nil yang terkenal dan terpanjang di dunia itu. Kami menyantap makan malam sambil memandangi indahnya Nil di waktu malam sambil diiringi alunan musik Timur Tengah. Di tengah-tengah kami menyantap makanan yang sangat lezat itu, tiba-tiba muncul seorang penari perempuan dengan busananya yang “sangat menarik” dan dengan pusat dan kaki mulus terbuka. Tepuk tanganpun dan suit-suit menggelegar. Sang penari melenggak-lenggokkan tubuhnya yang semi telanjang itu sambil menyanyi riang sambil berjalan-jalan mendekati atau mengajak penonton ikut menari. Saya tidak tahu apakah si penari tahu bahwa mereka yang hadir adalah para ulama. Saya dan teman-teman Indonesia berbisik-bisik, senyam-senyum dan ketawa-ketawa kecil sambil melirik ke kanan ke kiri, melihat tingkah atau reaksi ulama-ulama al Azhar yang ikut bersama kami. Tidak seperti yang kami kira, mereka ternyata bersikap biasa-biasa saja dan sepertinya menikmati tarian itu. Orang Mesir menyebutnya “ar-Ruqash as-Syarqiyyah” (Tarian Timur/Timur Tengah). Tentu saja para ulama al Azhar tersebut tidak mempersoalkannya, karena tarian tersebut merupakan seni yang sudah lama membudaya di Mesir dan tidak menimbulkan “bahaya” apa-apa. Sementara saya sendiri sedikit “gemetaran”, lalu keluar. Bukan apa-apa, saya hanya takut dihampiri sang penari lalu diajak menari. Maka saya menikmati tarian itu di luar dan dari balik pintu kaca. Saya sendiri sering menyaksikan Ar-Ruqash al Syarqiyyah (Baly Dance) tersebut baik melalui televisi maupun langsung pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan atau ulang tahun, ketika saya berada di Kairo tahun 1980-1983. Selesai makan malam kami pulang dan tak ada persoalan apa-apa. Kami sama sekali tidak ada pikiran-pikiran “ngeres”. Kami hanya sepakat mengatakan bahwa makan malam di atas kapal pesiar di atas sungai Nil tadi nikmat, mengesankan dan akan menjadi kenangan yang indah. Boleh jadi suatu saat menjadi bahan “dongeng” bagi teman-teman di tanah air.
*Tulisan ini pernah dimuat di Koran Kompas, Maret, 2006, dengan revisi. Judul asli PEREMPUAN MENARI DAN PENGALAMAN DI KAIRO
Di tengah hingar-bingar perdebatan soal RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, saya ditanya seorang teman tentang hukum “perempuan menari dengan tubuhnya yang meliuk-likut”. Pertanyaan ini menarik dan memang relevan untuk konteks perbincangan RUU APP tersebut. Saya segera ingat mengenai hal ini pada buku himpunan Bahtsul Masail NU“ (Kajian hukum Islam NU). Di dalamnya ada pertanyaan yang persis sama dengan yang ditanyakan teman tersebut. “Bagaimana hukum tari-tarian lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?”, begitu pertanyaan yang diajukan dalam Muktamar I di Surabaya 21 Oktober 1926.
Forum Bahtsul Masail pada muktamar NU tersebut dalam jawabannya mengatakan : “Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum lelaki dan gerak kelelaki-lakian bagi kaum wanita. Bila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram”.(Baca : Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU himpunan K.H.Aziz Masyhuri, diterbitkan PPRMI dan Qultum Media cet. I/ 2004, h. 15).
Sebagaimana tradisi NU, setiap keputusan selalu merujuk pada kitab-kitab kuning (buku klasik umumnya produk pemikiran abad pertengahan). Maka keputusan di atas juga mengacu pada sejumlah kitab dan pendapat ulama yang ada di dalamnya. Fatwa tersebut dirujuk dari kitab Al Itihaf, syarh (komentar) kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al Ghazali. Di dalamnya disebutkan ; para ulama berbeda pendapat mengenainya dalam batas antara makruh dan mubah. Di antara ulama yang berpendapat bahwa menari demikian hukumnya makruh adalah Imam Qaffal seorang tokoh mazhab Syafi’i aliran Khurrasani. Sementara ulama yang menghukumi mubah antara lain Imam Haramain, Ibnu ‘Imad al Sahrawardi dan Imam Rafi’i. Semuanya adalah para pengikut mazhab Syafi’i aliran Iraqi. Aliran Syafi’i ini secara umum tergolong tradisionalis, meski beberapa di antaranya juga progresif. Imam Haramain, guru Imam Al-Ghazali, mengatakan:
الرقص ليس بمحرم فإنه مجرد الحركات على استقامة او إعوجاج
“Menari tidaklah haram karena ia sekedar gerakan-gerakan tubuh yang bisa tegak lurus dan bisa juga lenggak-lenggok). Akan tetapi beliau segera memberi catatan “asal goyangannya tidak berlebihan”.
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi dan Qiyas. Nabi pernah menyaksikan orang-orang Habasyah yang menyanyi dan menari. Beliau diam saja dan tidak membencinya. Gerak-gerak tari disamakan dengan gerak-gerak tubuh yang lainnya.
Nah, begitulah para ulama NU menjawab soal hukum menari. Saya tidak tahu lagi sekarang apakah keputusan ini masih berlaku untuk hari ini atau sudah dibatalkan/dianulir oleh keputusan Muktamar berikutnya. Saya juga tidak tahu apakah lenggang-lenggok dan gerakan tubuh perempuan yang lemah-gemulai itu termasuk dalam katagori erotika dan dengan demikian termasuk pornoaksi?. Sulit bagi saya untuk menilai sejauh mana goyangan tersebut tidak dianggap sederhana atau berlebihan. Saya juga tidak dapat memastikan apakah menari seperti itu pada waktu lampau “dinilai” para ulama, termasuk ulama NU, tidak menimbulkan rangsangan dan hanya dianggap sebagai sekedar gerak seni?. Wallahu A’lam.
Pengalaman di Kairo
Akan tetapi yang lebih menarik dari itu adalah pengalaman saya di Kairo, Mesir. Tahun 1998 saya diundang mengikuti Konferensi Internasional yang menggelar tema besar “Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi” di sana. Konferensi dibuka oleh Syeikh Al-Azhar (Grand Syeikh): Sayid Thantawi di Universitas Islam tertua dan terkemuka ; Al Azhar, di kawasan Nasr City. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 40 an negara Islam yang diwakili oleh para ulama dan para pakar kesehatan terkemuka di negaranya masing-masing. Peserta dari Universitas Al Azhar termasuk yang paling banyak. Dari Indonesia hadir 11 orang. Beberapa di antaranya : Masdar F. Mas’udi; direktur P3M, Dr. Muslim Ibrahim (sekarang ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Noangroe Darussalam), Dr. Khalijah Nasution; dosen IAIN Sumatera Utara, Masruha; mantan ketua KPI, Marhumah; dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya sendiri dan teman lain yang saya sudah lupa namanya.
Pada hari terakhir konferensi, seluruh peserta dijamu panitia makan malam (‘Asya) di atas kapal pesiar sambil mengarungi sungai Nil yang terkenal dan terpanjang di dunia itu. Kami menyantap makan malam sambil memandangi indahnya Nil di waktu malam sambil diiringi alunan musik Timur Tengah. Di tengah-tengah kami menyantap makanan yang sangat lezat itu, tiba-tiba muncul seorang penari perempuan dengan busananya yang “sangat menarik” dan dengan pusat dan kaki mulus terbuka. Tepuk tanganpun dan suit-suit menggelegar. Sang penari melenggak-lenggokkan tubuhnya yang semi telanjang itu sambil menyanyi riang sambil berjalan-jalan mendekati atau mengajak penonton ikut menari. Saya tidak tahu apakah si penari tahu bahwa mereka yang hadir adalah para ulama. Saya dan teman-teman Indonesia berbisik-bisik, senyam-senyum dan ketawa-ketawa kecil sambil melirik ke kanan ke kiri, melihat tingkah atau reaksi ulama-ulama al Azhar yang ikut bersama kami. Tidak seperti yang kami kira, mereka ternyata bersikap biasa-biasa saja dan sepertinya menikmati tarian itu. Orang Mesir menyebutnya “ar-Ruqash as-Syarqiyyah” (Tarian Timur/Timur Tengah). Tentu saja para ulama al Azhar tersebut tidak mempersoalkannya, karena tarian tersebut merupakan seni yang sudah lama membudaya di Mesir dan tidak menimbulkan “bahaya” apa-apa. Sementara saya sendiri sedikit “gemetaran”, lalu keluar. Bukan apa-apa, saya hanya takut dihampiri sang penari lalu diajak menari. Maka saya menikmati tarian itu di luar dan dari balik pintu kaca. Saya sendiri sering menyaksikan Ar-Ruqash al Syarqiyyah (Baly Dance) tersebut baik melalui televisi maupun langsung pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan atau ulang tahun, ketika saya berada di Kairo tahun 1980-1983. Selesai makan malam kami pulang dan tak ada persoalan apa-apa. Kami sama sekali tidak ada pikiran-pikiran “ngeres”. Kami hanya sepakat mengatakan bahwa makan malam di atas kapal pesiar di atas sungai Nil tadi nikmat, mengesankan dan akan menjadi kenangan yang indah. Boleh jadi suatu saat menjadi bahan “dongeng” bagi teman-teman di tanah air.
*Tulisan ini pernah dimuat di Koran Kompas, Maret, 2006, dengan revisi. Judul asli PEREMPUAN MENARI DAN PENGALAMAN DI KAIRO