Oleh ustadz Umar M Noor, MA
Perbahasan di bawah ini merupakan salah satu bahasan yang satu cantumkan dalam buku saya [yang belum rampung hingga hari ini karena kesibukan yang tak henti-henti] bertajuk ”Imam Al-Syafii dan hadis Nabi”. Sengaja saya tuliskan di sini semoga bemanfaat untuk para pembaca. Saya sangat mengalu-alukan setiap komen konstruktif dan diskusi ilmiah yang akan memperkaya bahasan ini. Selamat membaca.
Makna Ucapan Imam Al-Syafii, Apabila sebuah hadis sahih, maka ia adalah mazhabku
Al-Syafi’i sadar keterbatasannya sebagai manusia biasa bahwa sekeras apapun upayanya melahirkan ijtihad-ijtihad yang sejalan dengan hadits Nabi Saw tetap terbuka kemungkinan bahwa sebagian ijtihad atau fatwanya itu berbenturan dengan hadits-hadits yang selama ini belum pernah didengarnya. Apalagi hadits di masanya belum sepenuhnya sempurna dikumpulkan dari semua ulama umat yang tersebar di berbagai negeri.
Justeru, ia berpesan kepada murid-muridnya, “Jika kalian menemukan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan pendapatku.” Beliau juga berkata, “Setiap orang pasti terluputkan sunnah Nabi Saw atau tidak sampai kepadanya. Maka jika aku berpendapat atau membangun sebuah hukum yang bertentangan dengan hadits Nabi Saw, maka sabda Nabi Saw itu pendapatku.” Beliau juga berkata, “Setiap masalah yang aku sampaikan, ternyata hadits yang dinilai sahih oleh ahli hadits bertentangan dengannya, maka aku menarik kembali ucapan itu selama aku hidup atau setelah aku mati.” [AlBaihaqi, "Manaqib Al-Syafi'i" 1/472-475.]
Tugasan tidak mudah
Ucapan Al-Syafi’i yang mengungkapkan hal ini sangat banyak dan masyhur diriwayatkan oleh murid-muridnya di Mekah, Irak dan Mesir sehingga menunjukkan keseriusan dirinya tentang hal ini. Namun perintah ini ternyata tidak terbuka untuk dilakukan oleh sembarang ahli hadits atau ahli fiqh, apalagi sembarang orang yang tidak mengusai ilmu hadis dan fiqh dengan mendalam. Al-Hafiz Ibn Al-Shalah berkata, “Tugas ini tidak mudah. Tidak semua faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, edit: M. Najib Al-Muthi'i, [Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-'Arabi 1415 H=1995 M] 1/105]
Tidak semua hadits, walaupun sahih sanadnya, siap diamalkan untuk membangun sebuah hukum halal dan haram. Tidak terhitung ucapan para ulama yang menegaskan bahwa mengamalkan hadits tanpa didahului kajian seksama tentang status sanad dan isi matannya sering kali menyesatkan pelakunya. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Hadits menyesatkan kecuali untuk para ahli fiqh.” ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 139]
Syarat Melakukan Tugasan ini
Untuk itu, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menjalankan pesan Al-Syafi’i ini. Abu Syamah –ahli fiqh mazhab Al-Syafi’i di Damaskus dan salah seorang murid Ibn Al-Shalah- berkata:
“Setiap hadits sahih dari Nabi Saw yang berisi hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Syafi’i, maka hadits itu mazhabnya tanpa ragu-ragu sebagaimana ucapannya ini. Adapun jika ada ucapannya yang bertentangan dengan hadits tersebut, maka (kondisinya) terbagi dua. Pertama, beliau tidak mengetahui hadits ini. Maka hukumnya seperti yang pertama, yakni ucapannya harus ditinggalkan dan hadits itu harus diterima sebagai mazhabnya. Hal ini jika teks hadits dengan jelas menunjukkan hukum tersebut. Adapun jika tidak jelas, atau dapat digabungkan antara isi hadits itu dengan pendapat Al-Syafi’i, maka tidak boleh (menolak pendapatnya).
Kedua, ia pernah mendengar hadits itu dan mengetahui kesahihannya lalu ia mentakwilnya, maka harus diperhatikan ucapannya. Jika ucapan itu jangan jelas dan kuat alasannya, maka ucapan itu tidak boleh ditolak, akan tetapi hadits tersebut harus ditafsirkan seperti penafsirannya. Seperti hukum membaca basmalah di dalam shalat dan penafsirannya terhadap hadits Anas yang sangat jelas menafikan bacaan itu. Begitu juga hadits batalnya puasa orang yang berbekam, sebab ia mengatakan bahwa hadits tersebut mansukh. Jika ucapannya terbuka untuk ditolak, maka hadits tersebut harus diterima seperti penafsirannya tentang kewajiban membasuh tangan hingga ke siku dalam tayamum.
Dan tidak ada yang mampu melakukan hal ini kecuali orang yang berilmu dan diakui ijtihadnya. Kepada orang ini lah Al-Syafi’i menujukan ucapannya “Jika kalian menemukan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan pendapatku.” Jadi, ucapan ini bukan untuk sembarang orang.” ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal.133-136.]
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]
Syarat Satu Lagi
Menurut saya, kita harus menambahkan syarat lain yang belum disebutkan oleh kedua imam ini. Dalam kajian-kajian buku ini [maaf, buku ini belum diterbitkan], kita telah melihat kapasiti Al-Syafi’i dalam kritik hadits dan pengakuan ulama atas keunggulan metodenya dalam memilah hadits-hadits yang layak diterima atau harus ditolak. Metode yang digunakan Al-Syafi’i kadang berbeda dengan metode yang diterapkan ahli hadits yang lain. Misalnya, beliau menilai hadis-hadis riwayat Ikrimah adalah lemah, sementara Imam Al-Bukhari mensahihkannya. beliau juga berpendapat bahawa riwayat Sulaiman bin Yasar dari Aisyah adalah mursal [terputus], sementara Al-Bukhari dan Muslim menilainya bersambung. Begitu juga berbagai permasalahan lain yang telah saya sebutkan dalam artikel bertajuk “Antara Al-Syafii dan Al-Bukhari”.
Oleh itu, jika kita menemukan sebuah hadits yang disahihkan sekelompok ahli hadits, dan isinya tampak bertentangan dengan pendapat Al-Syafi’i, maka kita wajib memperhatikan dengan seksama: apakah metode mereka dalam menilai hadits itu sejalan dengan metode Al-Syafi’i atau tidak? Kita harus membayangkan: andai Al-Syafi’i benar-benar tidak pernah mendengar hadits ini sebelumnya, lalu sekiranya ia mendengar hadits ini; apakah ia akan mensahihkan hadits itu seperti ulama-ulama hadits yang mensahihkannya atau tidak? Syarat ini menurut saya sangat berat dilakukan oleh ahli fiqh yang tidak menguasai ilmu hadits dengan sempurna.
Singkat kata, tanpa memenuhi semua syarat ini perkiraan seseorang bahwa pendapat Al-Syafi’i telah bertentangan dengan hadits, lalu ia segera meninggalkan pendapat itu dan mengamalkan hadits, tidak dapat dibenarkan sama sekali. Apalagi jika ia melakukannya sambil mengira tengah melaksanakan wasiat Al-Syafi’i yang telah diabaikan oleh para pengikut mazhab Al-Syafi’i sendiri. Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan Ibn Al-Mundzir sering kali melakukan hal ini sehingga pendapat mereka ditolak oleh ulama-ulama mazhab Al-Syafi’i dan tidak diakui sebagai bagian dari mazhab ini.
Pendapat Ditolak
Begitu juga yang berlaku kepada Abu Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang yang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Al-Syafi’i yang mengatakan bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Hadits ini ditinggalkan Al-Syafi’i dengan sengaja karena dianggapnya mansukh oleh hadits lain. ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 100 dan 110]
Begitu juga ketika Muhammad bin ‘Abd Al-Malik Al-Karaji meninggalkan qunut dengan alasan, “Hadits bahwa Nabi Saw meninggalkan qunut di shalat subuh sahih menurut saya.” Taqy Al-Din Al-Subki berkata, “Setelah aku membaca kisah ini, aku meninggalkan qunut di shalat subuh beberapa lama. Kemudian aku melihat bahwa qunut yang ditinggalkan Nabi Saw adalah doa untuk kabilah Ra’l dan Dzakwan, juga bukan di shalat subuh. Adapun (untuk masalah) meninggalkan doa secara mutlak setelah berdiri di shalat subuh ada hadits ‘Isa bin Mahan. Mengenai hadits ini ada diskusi-diskusi cukup panjang –sekarang bukan masa untuk menguraikannya. Aku lalu kembali ke qunut sampai sekarang.” ["Thabaqat Al-Fuqaha Al-Syafi'iyyin" 1/283]
Ulama mazhab Al-Syafii lain yang sering berfatwa sesuai dengan hadits walau harus keluar dari mazhab adalah Abu Al-Qasim ‘Abd Al-’Aziz bin ‘Abdillah Al-Dariki (w. 375 H). Ia berkata, “Berpegang kepada hadits lebih baik daripada berpegang dengan ucapan Al-Syafii atau Abu Hanifah.” ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 122-124] Namun ucapan ini tentu saja tidak diterima selama tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas.
Ulama Melaksanakan Tugasan ini
Jika benar terbukti bahwa Al-Syafi’i tidak mengetahui hadits yang diriwayatkan tentang suatu masalah, lalu ia membangun ijtihadnya dengan qiyas atau cara lain sehingga kesimpulannya menyalahi hadits itu, maka para ulama mazhab Al-Syafi’i menerima koreksi pendapat itu dengan senang hati.
Beberapa belas masalah di Mazhab Qadim yang ditarjih atas Mazhab Jadid misal yang sangat jelas untuk hal ini. Abu Bakar bin Al-Atsram berkata, “Suatu hari kami bersama Al-Buwaithi. Aku lalu menyebutkan hadits ‘Ammar bin Yasir tentang (cara) tayamum. Al-Buwaithi lalu mengambil pisau dan menghapus (sebuah kata) dari kitabnya dan merubahnya menjadi ‘satu pukulan’. Ia lalu berkata: Ini adalah wasiat guru kami (Al-Syafi’i). Jika kalian (ahli hadits) mensahihkan sebuah hadits, maka itu adalah pendapatku.” ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 122-124]
Al-Syafi’i berpendapat bahwa tayamum harus dua kali pukulan; satu pukulan untuk wajah, dan satu lagi untuk tangan. Ulama-ulama mazhab Al-Syafi’i kemudian memperbolehkan bertayamum dengan satu pukulan karena hadits ini walaupun dengan dua pukulan lebih sempurna.
Al-Baihaqi sering kali melakukan koreksi mazhab Al-Syafi’i dengan hadits sahih di buku-bukunya tanpa melahirkan kritikan dari ulama-ulama mazhab Al-Syafi’i karena keluasan ilmunya dan kemahirannya dalam mengkaji pendapat-pendapat Al-Syafi’i. Al-Baihaqi berkata tentang puasa enam hari di bulan Syawal, “Mazhab Al-Syafi’i mengikuti sunnah jika sahih (sanadnya), dan sunnah ini telah sahih.” ["Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar" 6/380] Ia juga berkata tentang hadits qadha puasa orang yang telah meninggal dunia, “Andai Al-Syafi’i melihat semua sanad-sanad hadits ini, ia tidak akan menyalahinya.” ["Al-Sunan Al-Kubra" 4/256]
Semua kes-kes ini menunjukkan bahwa perintah Al-Syafi’i untuk mengoreksi mazhabnya benar-benar dilaksanakan oleh para pengikutnya, namun tentu sahaja, dengan mengikuti aturan-aturan teliti yang telah digariskan. Wallahu a’lam.