--
Oleh : Ust. Masaji Antoro (Admin)
Oleh : Ust. Masaji Antoro (Admin)
Pada masa sebelum kehadiran Islam ramalan yang berkembang dan dikenal di kalangan masyarakat ada beberapa macam ;
- Ramalan yang dihasilkan dari informasi jin yang mencuri dengar dari suara langit yang kemudian dibisikkan ke tukang ramal.
- Ramalan yang dihasilkan dari informasi jin yang bekerja sama dengan manusia dari hal-hal di luar pengetahuan manusia.
- Ramalan yang dihasilkan dari dugaan dan firasat.
- Ramalan yang dihasilkan dari eksperimen dan kebiasaan.
- Ramalan yang mengacu pada petunjuk bintang.
Dalam masa Pra-Islam para tukang sihir memiliki prediksi ramalan yang lumayan akurat, namun pasca kedatangan Islam, validitas ramalan mereka relatif menurun dan mengalami kekacauan. Hal ini memang ditegaskan dalam aL-Qur’an surat Ash-Shooffaat ayat 10, bahwa setelah Islam datang dan aL-Qur’an diturunkan, langit dijaga oleh para Malaikat dan menjadi zona yang tidak bisa jangkau oleh syaitan.
Sikap Islam terhadap Praktek Ramalan Astrologi (ramalan yang mengacu pada petunjuk bintang)
Astrologi dikelompokkan menjadi dua bagian :
- Astrologi Hisaabiyyah ialah ilmu untuk menentukan permulaan bulan melalui teori perhitungan perjalan bintang. Ulama sepakat akan legalitas ilmu ini guna kepentingan penentuan waktu-waktu shalat serta penentuan arah kiblat. Bahkan mayoritas Ulama menyatakan kewajibannya sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifaayah).
- Astrologi Istidlaaliyyah ialah ilmu ramalan peristiwa-peristiwa dibumi yang mengacu pada gerakan angkasa, jenis astrologi yang kedua inilah yang dilarang dalam Islam apabila meyakini bahwa tanda-tanda simbolis angkasa atau zodiac bisa menunjukkan pengetahuan gaib atau bahkan yang mengendalikan nasib dan peristiwa bumi.
Apabila ramalannya didasarkan hanya pada kebiasaan kondisi alam tertentu, dan semuanya tetap dikembalikan pada kehendak dan kekuasaan Allah, seperti prakiraan cuaca, arah angin, musim dan lain-lain maka hukumnya diperbolehkan hal ini sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW
إذا نشأت بحرية ثم تشاءمت فتلك عين غديقة
“Ketika laut menguap lalu menyebar maka (itu) pertanda musim hujan”(Syeikh ‘Athiyyah Bulugh al-Maraam 73/3)
Nabi bersabda: Allah berfirman: Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir, adapun orang-orang yang mengatakan: Kami diberi hujan dengan sebab keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, maka dia telah berman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan: Kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Astrologi Istidlaaliyyah yang dilarang dalam islam lantaran ia merupakan sebuah pengetahuan yang berpotensi menyesatkan jiwa manusia, bahaya yang melekat dalam astrologi dapat menyebabkan manusia dalam kondisi bayang-bayang (ilusi) atau fitnah, sekalipun pada dasarnya ia hanya didasarkan pada pengetahuan simbolis kosmologis. Jika suatu peramalan didukung kebenaran fakta maka jiwa akan terpedaya oleh pengaruhnya dalam ketidaknyataan, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah Hadits,
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw ditanya tentang para kahin, lalu beliau menjawab, ‘Mereka tidak bernilai apa-apa!’ Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka terkadang memberitakan sesuatu dengan benar.’ Beliau bersabda, ‘Kalimat yang benar itu berasal dari pencurian jin, lalu jin menyuarakannya di telinga walinya (dukun) seperti suara ayam betina yang berkokok (sehingga menggugah teman-temannya), lalu para setan (yang mendengarnya) mencampurinya dengan seratus kedustaan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lebih dari itu, Islam mengajarkan untuk berserah diri pada ketentuan nasib (takdir) dan sikap ini sangat penting untuk membebaskan diri dari segala bentuk peramalan. Doktrin Islam tidak mengenal praktek peramalan astrologis karena hal itu secara tidak langsung berarti menghapuskan kedudukan Tuhan dalam kekuasaan pada diri manusia seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran
Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65).
Wallaahu A'lamu bi As-Shawaabi
REFERENSI : Minah al-Jaliil Syarh Mukhtashar Khaliil 2/113, Wuzaarah al-Auqaaf wa as-Syu"uun al-Islaamiyyah 24/54