Beliau adalah al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri
al-Baghdadi. Memiliki kunyah Abu al-Qasim. Ayah beliau adalah seorang
penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah disandarkan
kepada profesi ayahnya tersebut. Keluarga al-Junaid berasal dari
Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak.
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah.
Al-Junaid salah seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Muhammad Ibn Abdullah ar-Razi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita mengambilnya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allah yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasulullah: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…” .
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allah selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah” .
Sikap wara’, zuhud, takwa, tawadlu’ dan kuat dalam ibadah sudah barang tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak empat ratus raka’at. Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak tiga ratus raka’at dan tiga puluh ribu kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya, suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir berkata: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits:
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah.
Al-Junaid salah seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Muhammad Ibn Abdullah ar-Razi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita mengambilnya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allah yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasulullah: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…” .
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allah selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah” .
Sikap wara’, zuhud, takwa, tawadlu’ dan kuat dalam ibadah sudah barang tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak empat ratus raka’at. Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak tiga ratus raka’at dan tiga puluh ribu kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya, suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir berkata: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits:
اتّقُوْا فَرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah”. (Artinya panglihatan seorang mukmin yang saleh memiliki kekuatan).
“Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah”. (Artinya panglihatan seorang mukmin yang saleh memiliki kekuatan).
Mendengar pertanyaan
spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala.
Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, masuk Islamlah engkau
karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islam”. Mendapat
jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islam.
Abu ‘Amr ibn ‘Ulwan berkata: “Suatu hari aku pergi ke pasar Rahbah untuk suatu keperluan. Setelah sampai di pasar tiba-tiba tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang perempuan cantik. Aku memalingkan muka sambil mengucap istighfâr. Namun lagi-lagi mataku tertuju kepadanya. Setibanya aku di rumah, seorang nenek berkata kepadaku: “Wahai tuan, apa yang menyebabkan wajahmu menjadi hitam?”. Aku mengambil cermin, dan benar ternyata wajahku berubah menjadi hitam. Lalu aku berdiam diri di rumahku selama empat puluh hari meminta ampun kepada Allah. Setelah empat puluh hari tiba-tiba hatiku berkata: “Kunjungilah gurumu; al-Junaid”. Maka aku bergegas menuju kota Baghdad. Setelah sampai di rumah al-Junaid aku mengetuk pintu, tiba-tiba al-Junaid datang membukakan pintu sambil berkata: “Masuklah wahai Abu ‘Amr, engkau berbuat dosa di Rahbah dan kita minta ampun kepada Allah di Baghdad” .
Ali ibn Muhammad al-Hulwani berkata: Berkata kepadaku Khair an-Nassaj: “Suatu hari aku sedang duduk di rumahku. Tiba-tiba hatiku memiliki prasangka bahwa al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Tapi aku berfikir mungkin ini hanya prakiraan saja. Namun dalam hatiku prasangka tersebut timbul kembali bahwa memang al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Sekali lagi aku berfikir mungkin itu hanya prakiraan saja. Lagi-lagi prasangka dalam hatiku tersebut datang kembali, ini berulang hingga tiga kali. Lalu aku berdiri menuju pintu untuk membukanya, dan ternyata benar al-Junaid sedang berdiri di sana, seraya berkata kepadaku: “Wahai Khair, semestinya engkau membukakan pintu dengan prasangkamu yang pertama” .
Al-Junaid wafat hari Jum’at tahun 297 Hijiriah atau 910 Masehi. Abu Bakr al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abu Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah setelah sebelumnya telah mangkhatamkan bacaan al-Qur’an seluruhnya.
Amaddanâ Allâh Min Amdâdih.