Kompleks makam Syeikh 'Abd al-Qadir al-Jilani yang wafat pada tahun 561 H/I166 M terletak di pusat Kola Bagdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid. Dengan Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung jamaah yang ingin melakukan ziarah kubur.. Jumlah jamaah sanagt banyak kalau dibandingkan dengan jamaah yang ziarah ke makam syeikh Ahmad al-Rifai, makamnya memang terletak di daerah yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, di dekat kota Wasif.
Kampung tcmpat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh yang berarti "pintu gerbang sang Syekh" sebagai penghormatan kepada wali ini. dan pcnduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai "penduduk asli Bagdad". Orang Kurdi dari Irak Utara, menyebut sueilh Abdul Qadir Jilani sebagai Ghauts, Jailani (atau "penyelamat besar Jilani") kampung itu juga dihuni oleh wakil dari etnis Kurdi. Para Fuayliyah yang beretnis Kurdi itu merupakan golongan sosial yang miskin dan tidak lebih dari minoritas kecil di Bab al-Chaykh; selain itu mereka beraliran Syiah dan oleh karena itu tidak begitu menyanjung-nyanjung sang syekh.Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang, yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama. Ruangan makam berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru; ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah. Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafii. Imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Bagdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi; salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Karim al-Mudarris, adalah scorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak.
Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudu; dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga Jilani. Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama. Peziarah datang dari seluruh dunia Islam tapi orang-orang Turki- yang paling sering mengunjungi kompleks al-Jilani! dalam pcrjalanan haji ke Mekkah; ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn 'Arabi di Damaskus. Selain itu. banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Magribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk salat Jumat. Dengan demikian berbagai bangsa berbagi penginapan: sejumlah penganut Qadiri ditanggung oleh wakil setempat selama sebagian besar hidupnya; ada pula yang tinggal di situ selama bcberapa bulan atau hanya beberapa hari.
Tcmpat yang paling ramai di seluruh kompleks tcntu saja makam 'Abd al-Qadir sendiri. Makam dan pagarnya berwarna perak; sedangkan pada tembok ruangan makam dan kubah terpasang banyak kaca kecil segi empat yang memantulkan cahaya tanpa henti. Kesan umum adalah kemegahan, tetapi juga kesejukan, yang mengingatkan kita pada suasana kompleks makam Syiah. Di Timur Tengah, tidak ada makam (maztir) sunni yang semegah kompleks ini.
Setelah memasuki kompleks. Jamaah ziarah mengucapkan ayat Kursi sebelum bcrpaling kc makam, dan mengucapkan salam (taslimah); mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada sctiap langkah; dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan. Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kcbanyakan makam Sunni lainnya.
Pengunjung yang datang berziarah ke makam Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali. Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu khadim penjaga makam. Dapat dicatat bahwa pada makam Abu Hanifa penjaga setempat membagi-bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam. dan hal itu juga berlaku, pada makam-makam Syiah; maka praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam. Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (qifl) pada pagar, untuk memperkuat hubungan mercka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka. Memang, potongan kain dapat dtlcpaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi... Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini: karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok. maka mereka memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.
Semangat religius setempal juga nampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di alas para pemohon (karena penutup makam miring). Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum pcrcmpuan mcmekikkan sebuah lolongan khas ("ulululu") yang nyaring. Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal; kctika scorang pcziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapalkan perhatian Al Jilani,, konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam. dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya...
Para sufi, datang menghormati sang syekh pertama-tama atas dorongan adab, yaitu kcsopanan spiritual. Pada umumnya, permohonan yang diajukan oleh kaum sufi itu tidak mcnyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang fana ini (kemandulan, penyakit, pernikahan atau perceraian, ujiandan sebagainya), melainkan yang berkaitan dengan "pencerahan" (al-fatt?), atau kalau tidak bisa, tuniunan dalam jalan tasawuf, atau bahkan penampakan wali dalam mimpi malam.
Para sufi memandang al-Jilani sebagai satu "kutub" universal, dan jangan dianggap bahwa dalam hal ini ada perbedaan sikap di antara tarekat-tarekat: scperti dikatakan kaum Bcktasyi, "Wali adalah milik semua orang". Maka banyak sufi yang bukan Qadiri juga berkunjung dari jauh untuk berbagi berkah sang wali serta berzikir di makam. Menurut kabar yang beredar di kalangan sufi, orang-orang tarekat tertentu dapat melihat Al Jilani berwujud fisik di samping makamnya, dengan badannya tertutupi kain hijau. Menurut bahasan tasawuf, para wali, kendati telah wafat, mempertahankan kekuatan spiritualnya (tasfynf atau tasfyarruf)t bahkan ada penulis yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu malah bertambah.