Sunan Ampel Raja Surabaya
Sebenarnya, jauh sebelum kedatangan Raden Rahmat, Surabaya telah memiliki seorang raja bernama Arya Lembu Sura yang beragama Islam. Dalam Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa puteri Arya Lembu Sura menikah dengan penguasa Tuban, Arya Teja, dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Disebutkan pula, bahwa puteri Arya Lembu Sura yang bernama Retna Panjawi menikah dengan Brawijaya dari Majapahit. Sementara menurut naskah Tedhak Pusponegaran, Arya Lembu Sura memiliki putera bernama Arya Sena dan Arya Baribin.
Keberadaan Arya Lembu Sura sebagai raja Surabaya, dapat dijadikan tonggak untuk memahami keberadaan tokoh Raden Rahmat sebagai raja di Surabaya. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh sumber-sumber tertulis historiografi bahwa Raden Rahmat menikahi puteri Arya Teja dari Tuban yang bernama Nyi Ageng Manila. Itu berarti, isteri Raden Rahmat adalah cucu Arya Lembu Sura, lebih masuk akal daripada pendapat umum yang mengatakan bahwa tokoh asal Campa tersebut adalah seorang ulama pendiri pesantren di Ampel Denta.
Dengan memahami bahwa jauh sebelum kedatangan Raden Rahmat di Surabaya sudah ada kerajaan dan sang raja yang berkuasa adalah seorang muslim, tentunya keberadaan sebuah masjid sudah menjadi keniscayaan. Itu sebabnya, keberadaan Masjid Peneleh hendaknya dikaitkan dengan keberadaan keraton Arya Lembu Sura yang letak geografisnya hanya sekitar 300-400 meter di barat daya Masjid Peneleh. Bahkan Masjid Ampel Denta pun, sesungguhnya sudah ada sebelum kehadiran Sunan Ampel di Surabaya. Menurut kronik Cina, Masjid Ampel Denta didirikan oleh seorang asal Shi Fun An (Pnom-penh) bernama Bong Swi Hoo, cucu Bong Tak Keng. Tetapi tanpa alasan yang jelas, penyunting kronik mempersamakan tokoh Bong Swi Hoo dengan Raden Rahmat (de Graaf, 1998: 10) meski tidak didukung satu pun sumber lokal yang mengatakan bahwa Raden Rahmat memiliki seorang kakek bernama Bong Tak Keng. Itu berarti, Bong Swi Hoo bukanlah Sunan Ampel meski asalnya dari Campa. Hal itu setidaknya terlihat pada nama topografi kediaman marga Bong yang masih dikenal penduduk Surabaya, yaitu kawasan kampung San Bong-an (kampung kediaman tiga marga Bong – pen) di selatan Ampel.
Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum ada data yang sahih yang menunjuk bahwa Raden Rahmat pernah menjadi ulama termasyhur dan mendirikan pesantren di Ampel Denta. Bekas-bekas reruntuhan pesantren di Ampel Denta tidak pernah ditemukan. Santri-santri Sunan Ampel yang menjadi ulama pun tidak pernah diketahui keberadaannya baik dalam cerita-cerita tutur apalagi babad. Kader-kader didikan Sunan Ampel justru menunjukkan kedudukan sebagai penguasa seperti Prabhu Satmata raja Giri Kedhaton, Raden Patah Adipati Demak, dan Raden Kusen Adipati Terung. Bahkan para pendatang Portugis dan Belanda yang singgah di Jawa dan Surabaya pada abad ke-16 dan ke-17 Masehi, tidak sedikit pun pernah menyinggung adanya pesantren di Ampel Denta. Berita tentang pesantren tertua di Surabaya terdapat di Sidoresmo (Dresmo) dengan pemimpin pesantren seorang kyai bernama Ahmad Sungeb.
Sekali pun Hikayat Hasanuddin menuturkan bahwa Raden Rahmat diangkat sebagai imam di Surabaya oleh Arya Sena, Pecat Tandha di Terung, tetapi hal itu hendaknya tidak ditafsirkan sebagai sekedar imam sholat di masjid. Sebab jika sekedar menjadi imam sholat, tentu tidak diperlukan upacara pengangkatan resmi oleh salah seorang pejabat tinggi kerajaan yang masuk golongan panca tandha ring pakiran-kiran (lima pejabat tinggi kerajaan), yaitu panca tandha ring terung, Arya Sena, putera Arya Lembu Sura. Istilah imam yang disebut dalam Hikayat Hasanuddin, hendaknya ditafsirkan ‘pemimpin’ penduduk yang beragama Islam. Bahkan berita yang menyatakan Sunan Ampel diangkat sebagai imam di Surabaya, hendaknya ditafsirkan bahwa saat itu komunitas muslim beserta masjidnya sudah ada di Surabaya.
Ketiadaan data yang mendukung anggapan Sunan Ampel sebagai ulama dan pemimpin pesantren itu, bertolak belakang dengan kuatnya data yang menunjukkan bahwa tokoh yang bernama Raden Rahmat itu seorang raja. Sumber-sumber sejarah di Surabaya, mengatakan bahwa Sunan Ampel adalah raja Surabaya. Itu terbukti dari pengakuan raja-raja di Surabaya pada abad ke-16 dan ke-17 sebagai keturunan Sunan Ampel, yang hal itu dicatat oleh Tome Pires dan Mendes Pinto yang datang ke Jawa awal abad ke-16, Artus Gijsels dan Steven van der Haghen yang datang ke Surabaya awal abad ke-17. Bukti bahwa kerajaan Surabaya pernah ada, dicatat pula oleh Valentijn yang datang ke Surabaya tahun 1708 Masehi, di mana ia masih melihat sisa-sisa tembok keraton Surabaya. Bangunan-bangunan bekas keraton Surabaya itu baru benar-benar hancur ketika terjadi pertempuran di Surabaya 1719.
Berdasar uraian di muka, jelaslah bahwa cerita tutur dan historiografi yang menempatkan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sebagai seorang ulama dan pengasuh pesantren adalah suatu kekeliruan dalam menafsirkan gelar sinuhun atau susuhunan. Sebab gelar sinuhun atau susuhunan, tidak pernah diperuntukkan bagi ulama. Gelar tersebut, sepanjang jaman hanya diberikan kepada raja-raja. Di samping itu, bukti sejarah juga tidak mendukung pernah adanya pesantren di Ampel Denta. Sebaliknya, bukti adanya keraton di Surabaya dan raja-rajanya yang mengaku keturunan Sunan Ampel, tidak dapat ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekeliruan penggambaran sosok tokoh penyebar Islam di Surabaya itu, terjadi akibat diskontinuitas penulisan sejarah karena merosotnya pengetahuan tentang Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno akibat peperangan yang terus-menerus mewarnai perubahan tatanan sosial pasca runtuhnya Majapahit atau patut dicurigai ada latar politis yang melingkupinya.
Sumber tulisan: