Oleh Masaji Antoro
Tasawuf dan Perang Istilah
Membahas
masalah Tasawuf saya jadi ingat pengajian rutin mingguan yang
diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar,
membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh
Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan
sampai pada Bab Tasawuf, setelah selesai membahas Bab Al-Faqr.
Dalam
pengajian terakhir (14/5/2010), Syaikh Al-Buthi menerangkan bahwa
istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada
yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba),
Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan
lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau
sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya.
Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan
masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap
orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah
substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat
masyhur di kalangan para ulama dan santri, "La musyahata fil ishthilah
(tidak perlu ribut karena membahas istilah)."
Dalam
dunia ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut
Jumhur Fuqoha keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut
Hanafiyah keduanya berbeda. Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal
istilah Hadis Mursal yang menurut ahli hadis artinya adalah hadis yang
dinaikkan oleh seorang tabii tanpa menyebutkan siapa perantaranya
kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul artinya adalah hadis yang
terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan berapa pun jumlah
perawinya, mirip Hadis Munqathi'. Imam Asy-Syafii mengingkari Istihsan
dan mengatakan bahwa "Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat
syariat (baru)", sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunakan
Istihsan. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka
hanya sampai pada tataran istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada
substansinya mereka sepakat. Istihsan yang dimaksud oleh Imam
Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini dipakai oleh Ulama
Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang bebeda-beda menurut
ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianlah seterusnya,
perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan
takkan memberikan manfaat yang signifikan.
Demikian pula
dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong
mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa
yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar,
perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus
Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong
pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di
antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari
istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh Al-Buthi
berkata, "Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah
pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur
baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri
bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun jika yang kalian perangi
adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka
berhati-hatilah!"
Beliau juga sering mengulang-ulang
perkataan ini, "Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau
yang lainnya selama substansinya sama."Ya, ternyata istilah tidaklah
sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama dalam
batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan
dalam ceramahnya, "Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak
menggunakan istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Athoillah,
demi menjaga perasaan saudara-saudara kami yang sudah termakan opini
bahwa tasawuf bukanlah dari Islam."
Namun, apakah dengan
demikian beliau mengingkari inti atau substansi Tasawuf? Jawabannya
seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya, jika
memang terbukti berupa pelanggaran terhadap syariat maka kita harus
berdiri dalam satu barisan untuk memeranginya. Namun jika hal-hal itu
adalah bagian dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak
semestinya kita menolaknya.
Jadi, kita mesti banyak
berhati-hati dalam menggunakan istilah sebelum memahami makna
sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang
sengaja mengkotak-kotakkan umat Islam dengan cara menciptakan
istilah-istilah agar umat Islam disibukkan membahasnya lalu terlupakan
akan tugas yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya daripada
itu. Jangan sampai kita terpecah-pecah karena masalah furu'iyyah
sementara kita melupakan prinsip-prinsip agama kita. Wallahu a'lam.
Setelah
menyinggung masalah asal-usul kata Tasawuf yang tak satu kata pun
tepat sesuai kaidah bahasa, Syaikh Al-Buthi melanjutkan pembahasan
dengan memasuki materi mengenai substansi Tasawuf.
Imam
Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, "Sesungguhnya kalangan ini
(sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari
pecahan kata yang diambil dari bahasa." Artinya, istilah Tasawuf dan
identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak
membutuhkan definisi lagi. Beliau melanjutkan, "Tasawuf adalah makna
(substansi)nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang
mengungkapkan sesuai dengan apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya
satu-persatu hanya akan mengeluarkan kita dari topik pembicaraan
sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggung beberapa di
antaranya saja." Kemudian beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang
beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.
Di
antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri,
"Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar
dari perilaku yang tercela." Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah
akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral
seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk
ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama,
karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan
moral tapi di satu sisi mengabaikan agama.
Riwayat
kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang
Tasawuf, "Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq
(Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya." Definisi ini agak
dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi
menjelaskan maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan
segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah
telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan
merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata
"darimu" maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu.
Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia
karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah
merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukakan oleh
Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj,
beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, "Dia adalah seseorang yang
sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain."
Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan
siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna
ini. Beliau menyanggah, "Sebenarnya untuk merasakan kesendirian,
seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat
terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika
seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga
kesendirian hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik."
Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama Allah, seseorang tidak perlu
menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu letaknya di hati,
bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati, tidak mesti
harus memisahkan jasad dari manusia.
Definisi lain
dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata, "Ciri-ciri
Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah
mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu
adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan
mencari popularitas setelah bersembunyi." Definisi ini juga cukup
dalam maknanya. Kalimat "merasa fakir setelah kaya" maksudnya adalah
merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya
sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih
merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan
orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi
sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir
setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat
"merasa hina setelah mulia" maksudnya adalah tawadhu' dan merasa
rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik.
Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan
daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali
menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian,
kalimat "bersembunyi setelah tenar" maksudnya adalah menenggelamkan
diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama
Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah
ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang
melakukan sebaliknya, merasa kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi
setelah ia mengakui kefakirannya, merasa mulia setelah ia mengakui
kehinaannya dan mencari popularitas di mata manusia setelah sebelumnya
ia adalah orang tak dikenal.
Syaikh Al-Buthi
menjelaskan maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusnya
melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan
kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang
berbunyi, "Setiap tempat punya perkataannya dan setiap perkataan punya
tempatnya."
Beliau memberikan contoh seseorang yang baru
pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di
rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia
punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga
ia menggunakan waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga.
Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangannya dan merindukan
kehadirannya.
Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan
semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat
ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga
merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan
waktunya.
Tidakkah kita memperhatikan hadis yang berbunyi,
"Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga
hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri).
Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran)" (HR. Tirmidzi).
Dalam
hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, "Dalam kemaluan istrimu ada
sedekah." Sebagian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatkan pahala?"
Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan
kemaluannya di tempat yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?" Sahabat
menjawab, "Ya." Beliau melanjutkan, "Begitu juga jika ia
meletakkannya di tempat yang halal, dia mendapatkan pahala." (HR.
Muslim)
Jadi, seorang muslim seharusnya
senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat,
waktu dan kondisinya. Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap
waktu ada haknya masing-masing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok
jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.
Selanjutnya,
Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, "Tasawuf adalah akhlak mulia yang
muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia."
Syaikh
Al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud "zaman mulia" adalah zaman
Nabi SAW, "pribadi mulia" adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan "kaum
mulia" adalah para sahabat.
Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf
lalu menjawab, "Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak
dimiliki oleh sesuatu apapun."
Syaikh Al-Buthi
menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya
selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu
adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah
SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim
seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi.
Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat
kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satunya Tuhan yang
berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.
Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Melepaskan jiwa bersama apa yang dikehendaki oleh Allah SWT."
Syaikh
Al-Buthi menjelaskan maksud "dikehendaki" adalah "diridhoi". Artinya,
seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa
yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan
kehendak makhluk.
Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun."
Syaikh
Al-Buthi menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah
saja tanpa menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud
dengan "tanpa ikatan" yaitu tanpa keterikatan dengan selain-Nya.
Ruwaim
bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, "Tasawuf dibangun di atas tiga hal:
komitmen terhadap kefakiran dan ketergantungan kepada Allah,
mewujudkan pengorbanan dan pemberian, meninggalkan usaha dan ikhtiar."
Syaikh
Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang
muslim senantiasa berkomitmen dengan rasa kemiskinan dan
ketergantungan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah
refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbanan dan
pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak
dari sebelumnya, yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha
yang dapat menggeser atau menghilangkan makna kalimat sebelumnya.
Ma'ruf Al-Karkhi berkata, "Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalkan apa yang ada di tangan makhluk."
Demikianlah
ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan
di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh
Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohullah.
Walhamdulillahi rabbil 'alamin.
Al
Junayd berkata, "Tasawuf adalah perang tanpa kompromi." Maksudnya
adalah kesungguhan tiada akhir. Tasawuf adalah usaha dan kerja keras
yang tak kenal henti dalam melaksanakan ketaatan dan kepatuhan terhadap
Allah SWT.
Dia berkata pula, "Para Sufi adalah anggota dari satu
keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka."
Maksudnya, mereka memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh selain
mereka dalam akhlak, pergaulan dan lain-lain.
Selanjutnya dia
juga menjelaskan lagi, "Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang
disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah." Dalam hadis
disebutkan, "Sesungguhnya Allah memiliki pasukan malaikat yang
bertugas untuk mencari dan mengikuti halaqoh-halaqoh majelis dzikir di
bumi." (HR. Al-Hakim, Sahih Al-Isnad)
Al Junayd menyatakan,
"Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan
kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik."
Dia juga mengatakan, "Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak
orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, memayungi segala
yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu." Semua itu
disebabkan oleh rasa tawadhunya (perasaan hina) di hadapan Allah SWT.
Dia
melanjutkan, "Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian
kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak."
Karena perhatian terhadap lahiriah akan melalaikan perhatian terhadap
batin. Seseorang yang disibukkan memperbaiki kulitnya akan terlupakan
memperhatikan isinya.
Sahl bin Abdullah berkata, "Sufi adalah
orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis." Ini
adalah kiasan. Maksudnya ia merasa tak memiliki apapun karena dirinya
sendiri adalah milik Tuhannya. Bukan berarti ia memanggil setiap orang
untuk membunuhnya, karena hal itu mustahil dan dilarang syariat. Juga
bukan berarti keputusasaan terhadap rahmat Allah SWT karena hal itu
merupakan kekufuran.
Ahmad an-Nury berkata, "Tanda seorang Sufi
adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain
ketika ada." Artinya ketika dalam keadaan sulit ia diam, rela dan
tidak mengeluh, namun ketika dalam keadaan lapang ia mendahulukan
orang lain daripada dirinya sendiri.
Muhammad bin Ali al-Kattany
menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang
melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam
tasawuf." Ya, tasawuf adalah akhlak yang terpuji, barangsiapa
bertambah akhlaknya, bertambah pulalah tasawufnya.
Ahmad bin
Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, "Tasawuf adalah tinggal di pintu sang
kekasih sekalipun engkau diusir." Ini merupakan kiasan. Maksudnya
seseorang pasrah di hadapan pintu rahmat Allah SWT, melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa peduli
apakah ia akan diterima atau ditolak. Ia hanya percaya terhadap
kemurahan Allah dan sama sekali tidak mengandalkan amalannya. Dalam
hadis, "Amalan seseorang takkan dapat memasukkannya ke dalam surga."
Karena yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah
kemurahan Allah semata.
Dia juga mengatakan, "Tasawuf adalah
sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya." Karena indahnya
kedekatan terhadap Allah SWT hanya dapat dirasakan setelah seseorang
bersusah-payah dalam mencapainya. Pepatah Arab mengatakan, "Tiada
kenikmatan kecuali setelah kelelahan."
Dikatakan, "Orang yang
paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir." Maksudnya seseorang
yang mengaku sufi namun kikir, maka sebenarnya ia bukanlah sufi.
Karena tidak mungkin bersatu antara seorang sufi dengan sifat kikir.
Dikatakan,
"Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik." Maksudnya
tangan yang tidak menyisakan sedikitpun dunia kecuali diinfakkannya di
jalan Allah, sedangkan hatinya tetap bersih hanya untuk Allah semata.
Asy-Syibly
mengatakan, "Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa
kegelisahan." Maksudnya adalah seseorang merasa yakin dengan rahmat dan
kasih sayang Allah SWT tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagaimana
bisa khawatir sedangkan kekasihnya selalu berada di sampingnya.
Ketika
ia diberikan kesehatan, ia merasa yakin bahwa kesehatan itu merupakan
nikmat yang terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya, ketika ia
ditimpa sakit atau musibah lainnya, ia merasa tenang dan yakin bahwa
semua itu adalah yang terbaik dari Allah untuk dirinya. Ketika ia diuji
dengan kemiskinan, ia yakin bahwa kondisi itulah yang terbaik menurut
Allah SWT. Begitu juga ketika ia diuji dengan kekayaan, ia yakin bahwa
itulah pemberian terbaik dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)
Abu
Manshur berkata, "Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah
SWT, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah SWT." Maksudnya,
seorang sufi selalu mengingatkan kita tentang nikmat-nikmat yang
datangnya dari Allah SWT, sementara orang-orang hanya mengingatkan kita
tentang kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah SWT.
Asy-Syibly
mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah
SWT." Maksudnya adalah hatinya terpisah dari makhluk dan hanya terpaut
dengan Allah saja. Keterpisahan ini tidak bermakna keterpisahan secara
fisik dan materi. Boleh jadi fisiknya membaur dengan manusia di
pasar, kantor, madrasah dan lain-lain, tapi hatinya hanya bersama
Allah saja. Ini benar-benar hidup dalam keterasingan di tengah-tengah
keramaian. Jasadnya berjalan di muka bumi, namun hatinya
melayang-layang di kerajaan Allah. Orang semacam ini seolah-olah
diciptakan untuk menjadi kekasih-Nya.
Allah SWT berfirman, "dan
Aku telah memilihmu (Musa) untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41). Yaitu
memutusnya dari dari semua makhluk.
Kemudian Allah SWT berfirman,
"Kau (Musa) takkan dapat melihat-Ku." (QS. Al-A'raf: 143). Karena
kedekatan seseorang terhadap kekasih akan mengundang rasa rindu untuk
melihatnya. Namun sayang, di dunia ini tak satupun yang diizinkan oleh
Sang Kekasih untuk melihat-Nya, bahkan Nabi Musa sekalipun. Hanya di
akhirat saja tempat paling indah itu.
Allah SWT berfirman, "Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya." (QS. Yunus: 26). Tambahan itu berupa melihat wajah Allah
secara langsung. (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syibly juga
mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Al-Haq (Allah
SWT)." Ini adalah kiasan, karena seorang anak selalu merasa aman dan
nyaman bersama ayahnya. Ia merasa tenang dari segala macam gangguan.
Ia menyadari kelemahan dirinya, sekaligus mengakui kekuatan ayahnya.
Demikian pula keadaan para sufi, mereka merasa tenang dan aman bersama
Allah. Mereka menyadari kelemahan diri mereka sekaligus mengakui
kekuatan dan kehebatan Allah. Oleh karena itu, mereka menyerupai
anak-anak yang berada di pangkuan ayah mereka.
"Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nahl: 60)
"Dan
bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ar-Rum: 27)
Asy-Syibli
berkata, "Tasawuf adalah kilat yang menyala." Maksudnya adalah
kondisi batin yang berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga
menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja' (harap) menguasai seorang
sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu
ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah
menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan
siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu
berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang
menyala.
Asy-Syibli juga berkata, "Tasawuf adalah terlindung dari
memandang makhluk." Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihatan anda
dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam
warna-warninya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang
rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan
melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT.
Anda sama sekali tidak melihat makhluk-makhluk itu. Yang ada di
pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptakan semua itu, yaitu Allah
SWT. Lalu bibir anda pun melantunkan kalimat-kalimat pujian yang indah,
"Subhanallah. Maha Suci Allah."
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka." (QS. Ali Imran: 190-191).
Seorang sufi berjalan di atas
muka bumi, berjual-beli dengan manusia di pasar, bercocok tanam di
sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat
dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptakan dunia itu.
Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya
penglihatan. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu
makhluk-makhluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan
lain-lain, namun ia tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah Allah
SWT.
Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalnya wujud) yang
menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya
malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran
Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.
Ruwaym
berkata, "Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka
bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka
tak ada lagi kebaikan pada mereka." Maksud bertengkar di sini adalah
saling mengingatkan satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-olah
tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka
berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-basi
dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah
SAW bersabda, "Agama itu adalah nasehat."
Al Jurairy mengatakan,
"Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab."
Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan
syariat.
Khouf dan roja' adalah dua sikap yang harus seimbang pada
diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah
satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami
Al-Ya's (keputusasaan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT.
Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan, "Sudahlah, Allah
tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak."
Sebaliknya, rasa roja' yang berlebihan juga dapat menyebabkan
seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan
mengatakan, "Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-banyaknya.
Allah Maha Luas ampunan-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan
menyiksa hamba-Nya." Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi
selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak
terjadi kepincangan.
Sedangkan makna "berpegang pada adab" adalah
berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa
syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang
paling taat menjalankan syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi
seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi
namun syariatnya masih terbengkalai bukanlah sufi sebenarnya.
Al-Muzayyin
menegaskan, "Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq." Maksudnya
adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Abu Turab
an-Nakhsyaby menyatakan, "Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh
sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya." Ketika
seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki, ia tidak bergeming, bahkan
mengatakan, "Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu."
Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan, ia pun tak bergeming dan
mengatakan, "Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya
lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat
penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang
tahu."
Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang
berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa
yang melemparkan, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu.
Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih
dahulu, "Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran
ini."
Di tempat lain, dua orang sedang bersengketa mengenai suatu
permasalahan. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama
kemudian, masing-masing di antara dua orang yang bersengketa itu
berhenti bersengketa dan tidak mau menuntut lawannya.
Demikianlah,
semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihkan.
Kehadirannya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan
kontribusi positif dan konstruktif. Pujian maupun celaan tak dapat
mengotori hatinya.
Allah SWT berfirman:
"…kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS.
Al-Maidah: 54)
Dikatakan,
"Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal duniawi
tidaklah mengganggunya." Maksudnya, bagi seorang sufi, usaha dalam
melakukan ketaatan bukanlah sebuah beban. Sebaliknya, ia merupakan
sebuah kebutuhan, sehingga usaha tersebut tidak membuatnya merasa
lelah. Di samping itu, usaha-usaha itu tidaklah mengganggunya dalam
mempertahankan tawakkal. Seorang sufi berusaha tanpa kenal lelah
seolah-olah usahanya itulah satu-satunya yang dapat menyelamatkannya
dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Namun di saat yang
sama, ia bertawakkal, pasrah dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah
SWT seolah-olah usahanya tersebut tidaklah berarti apa-apa.
Ketika
Dzun Nuun Al-Mishry ditanya tentang orang-orang Sufi, dia menjawab,
"Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah SWT di atas segala-galanya
sehingga Allah mengutamakan mereka di atas segala-galanya." Maksudnya,
orang-orang sufi mampu menekan hawa nafsu mereka demi menjalankan
ketaatan terhadap Allah, sehingga Allah pun meridhoi mereka. Seorang
sufi tahu bahwa bangun di malam hari di musim dingin untuk shalat
tahajjud merupakan sebuah amalan yang berat. Namun ia tahu bahwa amalan
itu disukai Allah, maka ia pun menjalaninya dei mendapatkan
cinta-Nya. Seorang sufi tahu bahwa berpuasa di siang hari pada musim
panas merupakan pekerjaan berat yang tidak disukai semua orang. Namun
karena ia tahu bahwa amalan itu disukai Allah, maka ia pun
melaksanakannya. Semua itu demi cinta-Nya. Seorang sufi selalu
mengutamakan Allah di atas segala-galanya. Kerelaan Allah merupakan
impiannya. Kemurkaan Allah merupakan musibah besar yang harus dihindari
dan patut disesalkan.
Oleh karena itu, Allah pun mengutamakan
mereka di atas segala sesuatu. Kedekatan mereka terhadap Allah telah
menghilangkan jarak antara mereka dengan Allah. Keridhoan mereka
adalah keridhoan Allah. Begitu juga kemurkaan mereka merupakan
kemurkaan Allah juga.
Allah SWT berfirman:
"…kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka
pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al-Maidah: 54).
Rasulullah SAW bersabda:
"Alloh
berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan
perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan
kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya,
Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang
ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta
perlindungan, niscaya Aku lindungi.” (HR. Bukhari).
Muhammad
al-Wasithy mengatakan, "Dahulu mereka memiliki isyarat, kemudian
lama-kelamaan menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu
pun yang tinggal selain kesedihan." Ini merupakan sebuah ungkapan hati
dari seorang sufi yang prihatin melihat kondisi manusia yang semakin
hari semakin memburuk. Dahulu pada masa sahabat, ketakwaan merupakan
hiasan mereka, sehingga mendapatkan pujian dari Allah dan Rasul-Nya.
Kesalihan mereka mampu mendatangkan karomah-karomah yang tak dimiliki
oleh sembarang orang. Inilah yang dimaksud dengan "isyarat". Kemudian
ketika zaman bergeser ke tabiin, spirit itu pun berkurang sedikit demi
sedikit. Begitu juga ketika masa tabiut tabiin dan seterusnya hingga
sekarang.
Nilai-nilai tasawuf yang dahulu merupakan substansi
dinul Islam yang melekat dan mendarahdaging dalam diri para salafus
sholih, lama-kelamaan berubah menjadi rutinitas dan ritualitas tanpa
ruh. Itulah yang dimaksud dengan "gerakan-gerakan", yaitu formalitas
tanpa esensi. Tasawuf menjadi sebuah profesi yang digunakan untuk
mengeruk popularitas dan mencari keuntungan-keuntungan duniawi
lainnya.
Namun kondisi itu juga akhirnya lenyap sama sekali
sehingga tak tersisa sedikit pun. Nilai-nilai Islam yang dahulu
menjadi motor penggerak pada diri setiap muslim, kini hanya menjadi
cerita-cerita dan kisah-kisah yang tertulis di buku-buku. Sejarah
telah menjadi bukti bahwa umat ini telah mengalami degradasi kualitas.
An-Nury
ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab, "Sufi adalah manusia yang
menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab." Maksudnya,
seorang sufi selalu menyimak nasihat-nasihat, baik dari Al-Quran,
hadis, syair maupun yang lainnya, kemudian mereka berkomitmen terhadap
hal-hal yang dapat menyampaikan mereka kepada keridhoan Allah.
Hal-hal itulah yang dimaksud "sebab-sebab".
Abu Nashr as-Sarraj
ath-Thausy berkata, "Aku bertanya kepada All al-Hushry `Siapakah,
menurutmu, Sufi itu?’ Dia menjawab, `Yang tidak dibawa bumi dan tidak
dinaungi langit.’ Dengan ucapannya, menurut saya, ini Al-Hushry
merujuk kepada nuansa keleburan."
Syaikh Al-Buthi berkata, "Penjelasan mengenai kalimat itu sangat panjang."
Damaskus, 30 July 2010
[http://moslemz.multiply.com/journal/item/166]