Hal yang paling menakutkan dalam hidup adalah ketika melihat peradaban berhenti atas nama ketidaktuan dan kekolotan serta keengganan untuk menerima dan mempelajari hal-hal baru. Dimana hal ini mulai banyak menjangkiti kaum intelektual muda muslim indonesia. Padahal di benua Eropa kini sedang terjadi keguncangan besar akibat semakin tersudutnya darwinisme oleh para anti-darwinis serta kerontokan materialisme dalam kerangka sains. Memang para ilmuwan (saintis) memakai filsafat untuk berlari dari kenyataan dan mencoba untuk masih mempertahankan keyakinan yang sebenarnya sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Namun, semakin hari, banyak para terpelajar di eropa semakin sadar akan adanya sebuah penciptaan seluruh alam semesta ini. Banyak ilmuwan (saintis) yang malah lebih percaya akan adanya pencipta di seluruh tatanan kosmos ini, yaitu Tuhan atau Allah bagi seorang mu’min. Guncangan itu ditimbulkan oleh seorang anti darwnisme yang bernama Harun Yahya (Turki) yang kini mengguncang seluruh eropa bahkan dunia, termasuk Indonesia sendiri. Lewat pembuktian dan pendekonstruksiannya dalam dunia sains, islam semakin kokoh dan terus merangsek untuk membuktikan bahwa teori evolusi yang dipopulerkan oleh Charles Darwin hanyalah sebuah khayalan yang didukung oleh banyak ilmuwan yang telah menanggalkan etika seorang pemikir dan saintik mereka.
Namun hal yang mengejutkan adalah, para intelektual muslim indonesia masih saja menggunakan kerangka berpikir konservatif sebagai world view mereka dalam meresepsi segala hal. Terlebih hal yang sangat janggal adalah keengganan para (mayoritas) intelektual muslim Indonesia untuk mengkualitaskan dirinya akan luasnya dunia ini. Semakin parah pula luka intelektual kita hari ini dikarenakan mereka sudah merasa cukup dengan hanya berpegang pada keyakinan yang didapat dari orang tuannya dan guru-gurunya, tanpa pernah mau belajar mengenai musuh-musuhnya. Semakin kita acuh tak acuh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, semakin pula kita mendekadensikan islam lebih jauh. Dan hal ini terbukti dilingkungan kita sendiri, Unissula. Sedang UIN/IAIN/STAIN malah lebih asyik terjerumus dalam pembongkaran Al Quran secara massif yang tanpa pernah mau mengkritisi metode-metode barat yang digunakannya.
Bulletin ini adalah bulletin kritik. Sebuah bulletin yang mencoba mengambil pijakan berbeda dalam kerangka berpikir, telaah, analisis sampai metode kritik yang digunakan. Warna berbeda ini kami gunakan karena memang sudah saatnya hal ini dilakukan. Dan kapan lagi kalau tidak sekarang?
Sebelum melangkah ke pembahasan lebih jauh,kami dan khususnya saya sendiri meminta maaf kalau sudah hampir dua bulan tidak menerbitkan bulletin bumilangit dikarenakan ada hal-hal yang membuat penerbitan ditunda. Salah satunya penyebabnya adalah seluruh file yang akan kami terbitkan ternyata termakan virus dan terlebih flasdisck cadangan pun hilang. Dari mulai data dan hal-hal yang sudah kami rancang akhirnya hilang tak tersisa. Dan selebihnya kami minta maaf sebesar-besarnya. Karena kami juga tak punya laptop hehehe
Tugas seorang intelektual muslim
Disini saya terpaksa tidak mendekonstruksi teks Ari Sentani lebih jauh karena beberapa alasan. Dan yang lebih penting bagi saya sendiri adalah bagaimana tulisan ini bisa di baca tanpa banyaknya salah tafsir seperti tulisan-tulisan kemaren yang memang belum selayaknya muncul. Dan disinilah seharusnya saya bisa lebih dekat dengan kawan-kawan muslim semua yang ada di universitas ini.
Hal yang perlu dikembangkan dalam diri intelektual muslim adalah bukan hanya mencari penulis-penulis, namun juga kritikus-kritikus agar segalanya tidak mandeg dan berujung pada yang dekaden, terlebih fungsi kritikus adalah untuk mengontrol dan mengamati perkembangan intelektual yang gersang atau bahkan melenceng. Di Unissula harus mulai ada kritikus dalam ranah intelektual dan tulisan yang selama ini tak pernah ada, bahkan oleh anak-anak peradaban islam yang dibangga-banggakan itu. Tugas intelektual muslim tidaklah semudah yang kita bayangkan. Hal yang paling terdepan untuk membuat islam kembali bangkit adalah mendorong para bakal calon intelektual muslim untuk tidak menjadi muslim yang melempem yang hanya ikut sana sini tanpa punya sebuah acuan, yaitu dengan menjadi seorang muslim yang berani mengatakan tidak kepada dekadensi intelektual! Namun berbasiskan nilai-nilai Islam yang kuat.
Selain harus adanya seorang kritikus muslim dalam berbagai ranah (filsafat, sains, ekonomi, politik, budaya, sampai teologi dll), harus pula ada para pemikir muslim yang berkecimpung dalam ranah praktek. Dimana pengimplementasian nilai-nilai islam sangatlah penting demi keberlangsungan islam di masa yang akan datang. Jelas ini tidak mudah dan penuh perjuangan yang berat untuk mencapai kearah itu. Terlebih kita dihadapkan dengan minimnya para teoritisi dan ilmuwan muslim yang dapat membendung banjir ilmu pengetahuan dari barat. Kekalahan dalam ranah teori serta dunia sains, merupakan kekalahan yang terbilang tak kecil dalam mempengaruhi kondisi dan pandangan masyarakat islam internasional dalam kehidupan sehari-harinya.
kebangkitan islam mulai tampak lagi ketika semua mata tertuju pada seorang intelektual muslim Turki, yaitu Harun Yahya yang memulai debat evolusi dengan para evolusionis internasional yang disitu membuat saya sendiri sejak Aliyah bertanya-tanya, apakah intelektual muda muslim Indonesia dewasa ini sudah mengkualitaskan dirinya untuk hal-hal seperti ini? Apakah kita sudah siap akan hal ini? Dari mulai pengetahuan kita akan agama islam sendiri, sampai perihal filsafat, sains hingga politik? Apakah ini tidak terlalu berat? Hanya ingin membantah evolusionis dan para ilmuwan materialis saja Harun Yahya harus berbicara lewat banyak hal; sains (fisika, kimia/alkimia, astronomi), filsafat, teologi, budaya, sosiologi, biologi, arkeologi, paleontologi, ornitologi, filologi, geologi, antropologi, sejarah, teologi, teosofi, sampai politik dan lain sebagainya. Ternyata apa yang dulu sering kita dengar dan perbincangkan saat masih dibangku sekolah bisa sangat merepotkan seperti ini. Seperti, “siapa nenek moyang kita dulu,adam atau kera?” dan “lebih duluan mana, adam atau dinosaurus?”. Hal yang kita anggap sepele seperti ini ternyata butuh kerja ekstra keras untuk menjelaskannya. Terlebih untuk skala internasional! Dan kita tidak hanya cukup mengatakan “alah mereka ateis jangan digubris, dan jangan pelajari ini itu karena ini buatan mereka, ilmu pengetahuan mereka dll”. Hal seperti ini mencerminkan intelektual muslim kita lebih suka mitos daripada mencoba untuk membuktikan kebenarannya serta mengkritisinya. Terlalu kolotkah kita selama ini? .
Berbincang lagi mengenai pluralisme
Pluralisme sebenarnya dilahirkan atas kegagalan agama-agama didunia ini untuk memberikan tempat yang layak bagi manusia untuk hidup. Terlebih proyek modernisme yang mengalami banyak cacat sehingga melahirkan para pemikir yang ingin mencari jalan keluar dari kegagapan agama dalam mengikuti perubahan zaman. Agama terkesan angker bagi kehidupan manusia. Walau benih pluralisme ini paling mencolok telah lahir semenjak zaman pencerahan, namun pluralisme menjadi semakin matang ditangan para kaum poststrukturalis dan postmodernis yang menganggap bahwa tak ada makna (kebenaran) tunggal di dunia ini dan yang ada hanyalah keberagaman tafsir dan pemaknaan. Bukan lagi heurmeunetika tapi dekonstruksi segala sesuatu yang dianggap benar yang secara terus menerus yang akan menjadi tantangan umat manusia selama hidup. Dan disitu tak ada yang namanya kepastian, segala sesuatu didunia ini selalu berubah dan bergerak serta tak mempunyai ujung dan pangkal. Namun perlu di ingat, hal-hal diatas adalah apa yang seringkali dijadikan alasan barat demi mencapai semua yang ada sekarang ini. Padahal kalau dilihat, bukan agama yang membuat kekacauan tatanan hidup di dunia ini, namun lebih kepada para pemeluknya dan orang-orang yang membenci agama-agama, dan Tuhan.
Pluralisme dewasa ini semakin tumbuh subur ditangan para posmodernis atau penganut posmodernisme. Sementara posmodernisme ditengarai adalah kepanjangan dari kapitalisme lanjut yang menuai kritik dari berbagai kalangan teoritisi dan pengamatan sosial (filsuf sosial). Salah satu pengkritik terkerasnya adalah Fredrick jameson, seorang posmarxis. Namun yang perlu di kritisi lebih jauh lagi, baik kapitalisme maupun marxisme (komunisme) ditambah lagi fasisme adalah hasil dari darwinisme, dimana hal ini seringkali dinamakan dengan “darwinisme sosial”. kata “darwinisme sosial” sendiri seringkali menuai kritik dan ketidaksepakatan atas penggunaan istilah tersebut dikalangan darwinis klasik dan neo-darwinis. Sementara itu, posmodernisme kini semakin cepat merambat dengan bantuan para kapitalis, saintis dan para pemikir dunia. Efek-efek dari posmodernisme memang sangat halus dan “kesadaran kolektif” kita sedang diarahkan kesitu untuk menerima dan menyakini kebenarannya. Bahkan dibanyak Negara-negara islam pun secara terang-terangan mengimplementasikannya.
“Ciri pemikiran postmodernisme cenderung analogis, luwes, dan mengacu keberagaman makna. Nilai-nilai postmodernisme menekankan pada toleransi, pluralitas, kebebasan dan perdamaian (Hottois, 1997 : 410). Postmodernisme tidak bisa dipisahkan dari demokrasi, filsafat hak asasi manusia dan kosmopolitanisme.Maka ia mengambil jarak terhadap tuntutan rasio yang mutlak dan pencarian akar kebenaran "(Haryatmoko “petaka hipermodernisme”, majalah dua bulanan basis nomor 05-06, tahun ke-58, mei-juni 2009).
Efek dari posmodernisme adalah individualisme dan konsumerisme. Namun yang lebih berbahaya dari itu semua adalah pemasukan multikulturalisme dan pluralisme kedalam lingkup agama. Toleransi, HAM, demokrasi, dan kebebasan hanyalah topeng semu sejak liberalisme ditulis oleh Adam Smith dalam bukunya the wealth of nations. Kini ironisnya, banyak intelektual muslim Indonesia (Unissula) bahkan tidak tahu perkembangan intelektual dan ilmu pengetahuan barat. Bahkan apa itu liberalisme, kapitalisme, fasisme dan bahkan komunisme pun tidak tahu. Kebanyakan hanya tahu mitos. Tak pernah mengerti maksud sebenarnya. Hal-hal ini harus diakhiri segera, kalau tidak? Tunggu saja hancurnya Islam karena pemeluknya masih tak mau sadar. Cepat atau lambat, penindasan dalam ranah intelektual (pemikiran) akan semakin menjadi-jadi.
:: Buletin Bumilangit :: oleh Naga Sukma