Mbah Jenggot II
Masalah menghajika n
orang lain Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajika n orang lain, dengan syarat bahwa orang tersebut
telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat
sehingga tidak memungkink annya
melakukan ibadah haji namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau kondisi badanya tidak
memungkink an
melaksanak an ibadah haji namun
mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk
menghajika nnya, apalagi bila
sakitnya kemungkina n susah
disembuhka n, ia wajib
meninggalk an wasiat agar
dihajikan. Mazhab Maliki
mengatakan
menghajika n orang yang masih
hidup tidak diperboleh kan.
Untuk
yang telah meninggal sah menghajika nnya asalkan ia telah mewasiatka n dengan syarat biaya haji tidak mencapai
sepertiga dari harta yang ditinggalk an. Mazhab Syafi'i mengatakan boleh menghajika n orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk
mereka yang tidak mampu melaksanak an ibadah haji karena tua atau sakit sehingga
tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib
membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya
orang yang ditinggalk an. Kedua
orang yang telah meninggal dan belum melaksanak an ibadah haji, Ahli warisnya wajib
menghajika nnya dengan harta yang
ditinggalk an, kalau ada. Ulama
syafi'i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan melaksanak an ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan
langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang
sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun
secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanak an ibadah haji.
Dalil-dali l :
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am
bertanya kepada Rasulullah
"Wahai Rasulullah ayahku telah
wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan
apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?" Jawab Rasulullah "Ya, berhajilah untuknya" (H.R. Bukhari Muslim dll.).
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas " Seorang perempuan dari bani Juhainah
datang kepada Rasulullah s.a.w.
bertanya "Rasululla h!, Ibuku
pernah bernadzar ingin melaksanak an ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal
dia belum melaksanak an ibadah
haji tersebut, apakah aku bisa menghajika nnya?. Rasulullah menjawab "Hajikanla h untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga
wajib membayarny a bukan? Bayarlah
hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari &
Nasa'i).
3. "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata "Ayahku
meninggal, padahal
dipundakny a ada
tanggungan haji Islam, apakah
aku harus melakukann ya untuknya?
Rasulullah menjawab "Apakah
kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib
membayarny a ? "Iya" jawabnya.
Rasulullah berkata
:"Berahjil ah
untuknya". (H.R. Dar Quthni)
4. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanak an haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik
'an Syubramah"
(Labbaik/ aku memenuhi
pangilanmu ya Allah, untuk
Syubramah) , lalu
Rasulullah bertanya "Siapa
Syubramah? ". "Dia
saudaraku,
Rasulullah ", jawab lelaki itu.
"Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya.
"Berhajila h untuk dirimu, lalu
berhajilah untuk
Syubramah" , lanjut
Rasulullah . (H.R. Abu Dawud,
Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan "Haji untukmu dan setelah itu
berhajilah untuk
Syubramah" . Hukum menyewa orang
untuk melaksanak an haji (badal haji): Mayoritas
ulama Hanafi mengatakan tidak
boleh menyewa orang melaksanak an
ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam
mengajarka n
al-Qur'an. Dalam sebuah hadist
riwayat Ubay bin Ka'ab pernah mengajari al-Qur'an lalu ia diberi hadiah busur,
Rasulullah bersabda "Kalau kamu
mau busur dari api menggantun g
di lehermu, ya ambil saja".(H.R .
Ibnu Majah). Rasulullah juga
berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah" (H.R. Abu Dawud).
Sebagian ulama Hanafi dan mayoritas ulama Syafi'i dan Hanbali
mengatakan boleh saja menyewa
orang melaksanak an ibadah haji
dan ibadah-iba dah lainnya yang
boleh diwakilkan , dengan
landasan hadist yang mengatakan
"Sesungguh kan yang layak kamu
ambil upah adalah Kitab Allah" (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan
hadist-had iat yang
mengatakan boleh mengambil upah
Ruqya (pengobata n dengan membaca
ayat al-Qur;an) . Ulama yang
mengatakan boleh menyewa orang
untuk melaksanak an ibadah haji,
berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum
meninggal. Ulama Maliki
mengatakan makruh menyewa orang
melaksanak an ibadah haji, karena
hanya upah mengajarka n al-Qur'an
yang diperboleh kan dalam masalah
ini menurutnya . Menyewa orang
melaksanak an ibadah haji juga
hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah
mewasiatka n untuk menyewa orang
melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak mewasiatka n maka tidak sah.
Syarat-sya rat
menghajika n orang lain :
1. Niyat menghajika n
orang lain dilakukan pada saat ihram. Dengan mengatakan , misalnya, "Aku berniyat
melaksanak an ibadah haji atau umrah
ini untuk si fulan".
2. Orang yang dihajikan tidak mampu melaksanak an ibadah haji, baik karena sakit atau telah
meninggal dunia. Halangan ini, bagi orang yang sakit, harus tetap ada hingga
waktu haji, kalau misalnya ia sembuh sebelum waktu haji, maka tidak boleh
digantikan .
3. Telah wajib baginya haji, ini terutama secara finansial.
4. Harta yang digunakan untuk biaya orang yang
menghajika n adalah milik orang yang
dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.
5. Sebagian ulama mengatakan harus ada izin atau perintah dari pihak yang
dihajikan. Ulama Syafi'i dan
Hanbali mengatakan boleh
menghajika n orang lain secara
sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajika n orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu
orang tuanya tidak pernah mewasiatka n
atau belum mempunyai harta untuk haji.
6. Orang yang menghajika n harus sah melaksanak an ibadah haji, artinya akil baligh dan sehat secara
fisik.
7. Orang yang menghajika n harus telah melaksanak an ibadah haji, sesuai dalil di atas. Seorang anak
disunnahka n
menghajika n orang tuanya yang
telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist
Rasulullah berkata kepada Abu
Razin "Berhajila h untuk ayahmu
dan berumrahla h". Dalam riwayat
Jabir dikatakan "Barang siapa menghajika n ayahnya atau ibunya, maka ia telah
menggugurk an kewajiban haji
keduanya dan ia mendapatka n
keutamaan sepuluh haji". Riwayat Ibnu Abbas mengatakan "Barangsia pa melaksanak an haji untuk kedua orang tuanya atau membayar
hutangnya, maka ia akan
dibangkitk an di hari kiamat
nanti bersama orang-oran g yang
dibebaskan " (Semua hadist riwayat Dar
Quthni). Demikian, semoga membantu.
Waalahu a'alam