Berikut sekelumit pernyataan dan pertanyaan dari seorang kawan :
Kesepakata n ulama, tidak pernah ada dalil kuat yang mengatakan itu bersifat final dan mengikat serta tidak perlu lagi dipertanya kan.
Adalah pembatasan , kemampuan daya nalar dan lain sebagainya adalah belenggu kreatifita s, hanya akan mengungkun g umat dari persoalan yang makin mengglobal ...
Kata dan opini tidak perlu lagi adalah vonis yang salah, buat
apa manusia sekarang di beri akal, fikiran dan otak jika hanya jadi
hiasan biar di sebut 'manusia'
Apakah tidak bakal ada lagi ulama modern yang pemikirann ya menyamai atau melebihi 4 imam mujtahid mutlak ?
Apakah anda mendahului sunnatulla h, bagaimana jika Allah berkehenda k dan itu pasti..
Hanya orang-oran g
yang terbuai dan terpaku dengan 'zona nyaman' yang menolak perubahan
dan pemikiran baru tentang islam selama tidak bertentang an dan sejalan dengan Al Qur’an
Berdasarka n apa yang disampaika n
oleh kawan di atas, maka beliau termasuk mereka yang memahami Al
Qur'an dan As Sunnah dengan kemampuan nalar / logika atau akal pikiran.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits
Sanad hadits adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan matan/ redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah .
Kita memahami Al Qur'an dan As Sunnah berdasarka n apa yang kita dengar dari apa yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu yang tersambung dengan lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Inilah yang dinamakan bertalaqqi (mengaji) dengan ulama bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Hal yang akan ditanyakan seperti
Apakah yang kamu pahami telah disampaika n / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Siapakah ulama-ulam a terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah
(apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa).
Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaika n secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallah u alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenan kan menyampaik an
apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca
dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari
mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Selain memahami Al Qur'an dan As Sunnah melalui lisannya ulama-ulam a terdahulu yang tersambung dengan lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam , adalah melalui cara yang ditempuh oleh Ulil Albab karena Ulil Albab yang dikaruniak an oleh Allah Azza wa Jalla untuk dapat memahami Al Qur'an dan As Sunnah
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganuger ahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Siapakah ulil albab ?
Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah sebagaiman firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Ulil Albab berasal dari lubb tingkatan dari qalb atau hati.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah
Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di
dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam
qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu
ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Hadits qudsi inilah yang menerangka n “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’ , Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah
Firman Allah Taala yang artinya “Kami akan memperliha tkan kepada mereka tanda-tand a (kekuasaan ) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri ” (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Hadits qudsi yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman: "“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembuny i, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakan lah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”
Menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-i slaam). Hal ini sebagaiman a firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiama na firman-Nya yang artinya, ‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaiman a Firman Allah Swt, yang artinya ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaiman a firman-Nya yang artinya, ‘Sesungguhn ya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaiman a firman-Nya , ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan , hati pun disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaiman a yang diterangka n Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung- Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung- Ku.’
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah
bagian yang dapat tampak dengan panca indera kita disebut juga
lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak dengan panca
indera kita disebut juga bathiniah atau ghaib.
Kata ghoib, menurut beberapa kamus arab, seperti lisaanul arab
berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata
hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang
tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang
tidak tampak secara kasat mata.
Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakk annya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintah kan pada malaikatny a untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat : ”Aku menciptaka n manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnaka n aku tiupkan kedalamny a ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Mata di kepala kita diciptakan untuk melihat yang dzahir. Mata membutuhka n cahaya yang mengenai sesuatu yang dilihat. Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulka n dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulka n bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulka n oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihata n
ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim
melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian
otak menerjemah kan aliran ini menjadi sebuah penglihata n tiga dimensi yang penuh makna.
Hati untuk melihat, memahami, mendengar yang ghoib (tidak dapat dilihat atau diindera)
Ruhani(ruh Nya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaa n seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya , maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehenda k, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehenda k itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik , maka ia dipanggil akal.
Hal yang paling awal bagi tholabul ilmi (penuntut ilmu)
khususnya ilmu agama, ilmu untuk memahami Al Qur'an dan As Sunnah
adalah mengenal Allah (ma’rifatu llah) dan upaya mengikuti jalan (thariqat) menelusuri perjalanan yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi melalui maqam-maqa m hakikat agar sampai (wushul) kepada Allah, dekat dengan Allah, melihat Allah dengan hati dan mendapatka n ridha-Nya atau cintaNya
Awaluddin makrifatul lah, awal-awal agama ialah mengenal Allah. Semakin banyak mengenal Allah (ma’rifatu llah) melalui ayat-ayat- Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya .
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu
menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ilmuwan yang mendapat hidayah maka hubunganny a dengan Allah ta’ala semakin dekat.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Barangsiap a yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya , maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Ulil albab adalah mereka yang dapat menggunaka n lubb (qalbu) nya dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah. Ulil albab adalah mereka yang dapat menggunaka n akal qalbu nya bukan akal pikiran (logika/ otak/rasio)
Akal pikiran berbeda dengan Akal Qalbu (hati).
Akal Pikiran / logika adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau kerja otak.
Akal Qalbu / hati adalah mengikuti cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa setiap manusia.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan Kami telah menunjukka n kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamk an kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaann ya“. (QS As Syams [91]:8 )
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Be liau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteram kan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-oran g memberi fatwa yang mem-benark anmu.” Hadits diriwayatk an oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Bagaimana syarat untuk dapat menggunaka n lubb (qalbu/ hati) dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah ?
Manusia terhalang memahami petunjukNy a atau cahayaNya karena dosa
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati (ketiadaan cahaya), sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati.
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaiman a firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a
yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Berikut ilustrasi untuk dapat membedakan antara akal pikiran (logika) dengan akal qalbu (hati/ hikmah) atau disebut juga hakikat
Ummi: “Abi, Abi sayang ndak sama ummi ? “
Abi : “Umi ini bagaimana sih seperti orang bodoh yang mengulang- ulang pertanyaan”
Dialog ini benar secara logika / ilmiah (pikiran dan memori) karena (berdasar memori si Abi) orang yang mengulang-ng ulang pertanyaan adalah menunjukka n kebodohann ya namun dialog ini keliru atau bermasalah kalau ditinjau dengan hikmah (akal qalbu)
Ilustrasi lainnya
1 + 1 = 2
1 + 1 = 3
Baris kedua adalah salah jika menggunaka n akal pikiran (rasio/ otak/ logika). Namun dapat menjadi benar jika menggunaka n akal qalbu (hikmah) sebagaiman a yang terjadi dalam hukum kekuatan sinergi dalam kerjasama tim (work colaborati on) karena ada unsur non logika yakni unsur rasa atau hubungan antar manusia.
Begitupula anak kecil yang belum baligh , mereka tidak dikatakan berakal walaupun mereka sudah dapat menggunaka n logika/ rasio/otak nya
"Tidak dikenakan kewajiban atas tiga golongan orang,yait u anak-anak sampai baligh,ora ng gila sampai sadar,dan orang tidur sampai terbangun" (HR.Bukhor i,Abu Daud,At Tirmidzi,A n Nasa'I,Ibn u Majah,Daru quthni,dan Ahmad).
Begitu pula dengan orang gila mereka dikatakan kehilangan akal walaupun mereka masih mempunyai otak
Tidak ada mahluk lain selain manusia yang dikarunia akal.
Tumbuhan, hewan atau bahkan malaikat tidak diberikan akal, dan dengan
keberadaan akal didalam dirinya inilah manusia kemudian ditasbihka n sebagai mahluk yang mulia. Hewan juga ada yang mempunyai otak, namun tidak dikatakan mempunyai akal
Dengan akal inilah kemudian manusia dapat membedakan
mana yang hak dan mana yang bathil, mana yang halal, dan mana yang
haram, mana yang benar, dan mana yang salah, mana yang lurus, dan mana
yang menyimpang ……, dan seterusnya
‘Kemampuan akal’ inilah kemudian manusia dibebani kewajiban untuk mengenal dan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan sesungguhn ya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunak annya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunak annya untuk melihat (tanda-tan da kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunak annya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-oran g yang lalai. Kedatangan azab Allah kepada orang-oran g yang mendustaka n ayat-ayat- Nya dengan cara istidraj” (QS Al A’raaf [7]:179)
Cara Istidraj , dengan membiarkan orang itu bergeliman g dalam kesesatann ya, hingga orang itu tidak sadar bahwa dia didekatkan secara berangsur- angsur kepada kebinasaan .
Secara umum memahami ayat-ayat Allah, ayat qauliyah dipahami dengan didengar sedangkan ayat qauniyah dipahami dengan dilihat.
Allah Subhanahu wa ta'ala menuangkan sebagian kecil dari ilmu-Nya kepada umat manusia dengan dua jalan.
Pertama, dengan ath-thariq ah ar-rasmiya h (jalan resmi) yaitu dalam jalur wahyu melalui perantaraa n malaikat Jibril kepada Rasul-Nya, yang disebut juga dengan ayat-ayat qauliyah yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kita b-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah
Kedua, dengan ath-thariq ah ghairu rasmiyah (jalan tidak resmi) yaitu melalui ilham kepada makhluk-Ny a di alam semesta ini (baik makhluq hidup maupun yang mati), tanpa melalui perantaraa n malaikat Jibril. Karena tanpa melalui perantaraa n malaikat Jibril, maka bisa disebut jalan langsung (mubasyara tan). Kemudian jalan ini disebut juga dengan ayat-ayat kauniyah yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya . Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosm os) ataupun yang besar (makrokosm os).
Bahkan diri kita baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya “Kami akan memperliha tkan kepada mereka tanda-tand a (kekuasaan )
kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas
bagi mereka bahwa Al-Quran adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
sesungguhn ya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS Fushshilat ayat 53)
Antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah terdapat
hubungan yang sangat erat karena keduanya sama-sama berasal dari Allah.
Kalau kita memperhati kan ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an, kita akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhati kan ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah firman Allah dalam QS Adz-Dzariy at ayat 20-21:
“Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-oran g yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhati kan?”
Dalam ayat diatas, jelas-jela s Allah mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak memperhati kan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah agar kita memperhati kan ayat-ayat- Nya yang berupa segala yang ada di bumi dan juga yang ada pada diri kita masing-mas ing. Inilah ayat-ayat Allah dalam bentuk alam semesta (ath-thabi ’ah, nature).
Dalam QS Yusuf ayat 109, Allah berfirman: “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-oran g sebelum mereka?”
Ini juga perintah dari Allah agar kita memperhati kan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan ihwal manusia (at-tarikh wal-basyar iyah).
Disamping itu, sebagian diantara ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an. Tidak jarang dalam Al-Qur’an Allah memaparkan proses penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi, gunung-gun ung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tum buhan, dan sebagainya . Bahkan ketika para ilmuwan menyelidik i
dengan seksama paparan dalam ayat-ayat tersebut, mereka terkesima dan
takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban ilmiah pada ayat-ayat
tersebut, sementara Al-Qur’an diturunkan beberapa ratus tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian -penelitia n ilmiah.
Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya , ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-p enemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizat an
ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan
ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.
Dalam Shahih-nya Bukhari meriwayatk an
dari Aisyah ra. yang artinya, “Wahyu pertama yang sampai kepada Rasul
adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal itu
datang seperti cahaya Shubuh. Setelah itu beliau senang berkhalwat . Beliau datang ke gua Hira dan menyendiri
di sana, beribadah selama beberapa malam. Yang untuk itu beliau
membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan membawa bekal serupa.
Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu, saat beliau berada di gua Hira. Malaikat datang kepadanya dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” lalu Rasulullah saw. berkata, “Lalu di merangkulk u sampai terasa sesak dan melepaskan ku. Ia berkata, ‘Bacalah!’ Aku katakan, ‘ Aku tidak bisa membaca.’ Lalu di merangkulk u sampai terasa sesak dan melepaskan ku. Ia berkata,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptaka n, Dia telah menciptaka n manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuin ya.” (Al-Hadits ).
Iqro' bismirabbi kalladzi kholaq.
Kholaqol insaana min 'alaq.
Iqro' warabbukal akram.
Allamal insaana bil kalam.
Allamal insaana maa lam ya' lam.
Al-Qalam. Qalam dalam bahasa Arab berarti “memotong ujung sesuatu menjadi runcing”, atau kini dikenal sebagai “pena”.
Apakah Allah Azza wa Jalla mengajar manusia dengan perantaraa n tulis baca.
Apakah kalam itu adalah alat tulis...
Apakah Allah menulis dengan alat tulis?
Apakah Jibril membawa wahyu dalam bentuk tulisan yang harus dibaca oleh Nabi?
Apakah Allah menulis dalam huruf sebagaiman a tulisan tangan manusia?
Apakah Al Quran yang tertulis di Lauhil Mahfuz itu ditulis dengan huruf
Arab?
Sekarang.. . ketika disuruh belajar membaca.
Baru sadar... Aku tak bisa membaca.
Bacalah kalam Allah yang merasuk di hati.
Bacalah kalam yang bertebaran di depan mata.
Supaya tahu bahwa Allah Azza wa Jalla itu selalu "berbicara " dengan kita. Hanya kita yang tidak "mendengar kan" Allah. Dan kita pun tak tahu bagaimana caranya "berbicara " dengan Allah.
Begitulah yang dialami oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Bukan baca tulis huruf Arab yang Nabi shallallah u alaihi wasallam maksudkan. Tapi... baca tulis kalam Allah Azza wa Jalla yang dimaksudka n.
Lalu bagaimana kita membaca ayat-ayat Allah?
Jawabannya ada pada dua kata: Tadabbur dan Tafakkur.
Terhadap ayat-ayat qauliyah, kewajiban kita adalah tadabbur, yakni membaca dengan mendengar ayatnya dari lisan ulama-ulam a bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah dan berusaha untuk memahami dan merenungi makna dan kandungann ya.
Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah, kewajiban kita adalah tafakkur, yakni melihat, memperhati kan, merenungi, dan mempelajar inya dengan seksama.
Untuk melakukan dua kewajiban tersebut, kita menggunaka n akal pikiran dan akal qalbu (hati) yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Mengenai kewajiban tadabbur, Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai melakukann ya. Allah berfirman dalam QS Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak mentadabbu ri Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”
Dan mengenai kewajiban tafakkur, Allah menjadikan nya sebagai salah satu sifat orang-oran g yang berakal (ulul albab). Dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 – 191, Allah berfirman: “Sesungguh nya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantiny a malam dan siang terdapat tanda-tand a bagi orang-oran g yang berakal, (yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka mentafakku ri (memikirka n) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka.”
Tujuan Membaca Ayat-ayat Allah
Tujuan utama dan pertama kita membaca ayat-ayat Allah adalah agar kita semakin mengenal Allah (ma’rifatu llah).
Dan ketika kita telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis kita
akan semakin takut, semakin beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya . Karena itu, indikasi bahwa kita telah membaca ayat-ayat Allah dengan baik adalah meningkatn ya keimanan, ketakwaan, dan rasa takut kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaiman a firman Allah berikut ini: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat- Nya bertambahl ah iman mereka (karenanya ), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakka l.” (QS Al-Anfal: 2)
Dan yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaiman a firman Allah berikut ini: “Dan mereka mentafakku ri (memikirka n) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran: 191)
Selanjutny a, kita juga membaca ayat-ayat Allah agar kita memahami sunnah-sun nah Allah (sunnatull ah), baik itu sunnah Allah pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah Allah pada ciptaan-Ny a dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).
Dengan memahami ketentuan syar’i, kita bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang Dia kehendaki,
dan dalam hal ini kita bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar.
Namun, apapun pilihan kita, taat atau ingkar, memiliki konsekuens inya masing-mas ing.
Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan , baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, kita akan mampu memanfaatk an alam dan sarana-sar ana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahter aan
umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut,
kita akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan.
Kesimpulan nya adalah memahami Al Qur'an dan As Sunnah janganlah bersandark an hanya dengan akal pikiran (logika/ rasio) atau pemahaman secara ilmiah namun dengan karunia Allah yakni memahami dengan akal qalbu atau pemahaman secara hikmah.
Para ulama telah menyampaik an bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah), kemungkina n besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihill ah Bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluq Nya.
Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) ditimbulka n dari kesalahpah aman misalkan kesalapaha man tentang bid’ah yang dapat menjerumus kan kedalam kekufuran sebagaiman a yang diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/12/06/ 2011/11/03/ ahli-bidah- sebenarnya / atau kesalahpah aman berakibat pengingkar an hadits Rasulullah sebagaiman a contoh yang diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/22/ tidak-cukup /
Tasybihill ah Bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluq Nya berakibat terjerumus kedalam kekufuran.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati
Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang
dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula peringatan yang disampaika n oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah
sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi ).
Akibat tasybihill ah bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluk Nya telah diuraikan dalam tulisan pada
Jangan sampaikan terjemahan nya saja
Makna istiwa yang pantas bagiNya
Tidak ada perumpamaa n bagiNya
Mustahil dibatasi atau berbatas dengan Arsy
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaik annya. Inilah yang disebut bertalaqqi , mengaji dengan guru bersanad ilmu / sanad guru tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Jadi pada hakikatnya tidak dibenarkan memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah) karena pada hakikatnya Al Qur’an tidaklah “dibukukan ”.
Malapetaka telah terjadi, para ulama di wilayah kerajaan dinasti Saudi yang seharusnya menjadi kiblat ilmu kaum muslim, mereka terkena hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) oleh kaum Zionis Yahudi melalui p pusat-pusa t kajian Islam yang mereka dirikan atau melalui ulama yang “dibentuk” atau dipengaruh i oleh mereka.
Salah satunya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward
Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens
Of Arabian. Laurens menyelidik i dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti tharikat-t harikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulam a yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemah kan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis .
Para ulama di wilayah kerajaan dinasti Saudi tidak lagi
mengikuti pemahaman para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid
Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi langsung kepada Salafush Sholeh. Mereka lebih menyandark an kepada ulama-ulam a memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah) seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan ulama Al Albani.
Contohnya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang hidup setelah 350 tahun lebih wafatnya ulama Ibnu Taimiyyah, yang semula bertalaqqi pada ulama-ulam a bermazhab namun pada akhirnya beliau bersandark an dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah) Sebagaiman a contoh yang diriwayatk an dalam tulisan pada http:// arisandi.co m/?p=964 berikut kutipannya
***awal kutipan*** *
Di antara karya-kary a ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-kary a Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianla h meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(s alinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan , seakan-aka n semua yang diidam-ida mkan
oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari
pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul
Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian
beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama,
sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehi nya, terutaman di bidang hadith danmusthal ahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggala n pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangk an sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaiman a lazimnya para ulama besar Islam mengembang kan ilmu-ilmun ya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutny a untuk dapat dikembangk an dan digali sendiri oleh yang bersangkut an.
****akhir kutipan*** **
Mereka adalah para ulama yang menyibukka n diri dengan mengulangi kembali apa yang telah dilakukan oleh Imam Mazhab yang empat namun sayangnya mereka belum berkompete nsi seperti kompetensi
Imam Mazhab yang empat dan bahan ijtihad mereka terbatas pada hadits
yang telah dibukukan sedangkan kita tahu bahwa hadits yang telah
dibukukan hanya sebagian saja dan sebagian lagi dalam bentuk hafalan
para penghafal hadits yang tidak lagi kita dapat temukan. Hadits-had its yang tidak dibukukan merupakan bagian bahan ijtihad dan istinbat para Imam Mazhab yang empat.
Mereka terhasut slogan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah namun dengan cara muthola’ah , menelaah perkataan/ lafazh Salafush Sholeh dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Mereka dirikanlah Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa). Akibatnya mereka berpendapa t bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar dalam memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat Allah telah terjatuh/ tergelincir pada penakwilan terhadap sifat-sif at Allah. Pen dapat mereka bahwa pemahaman tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh. Pada kenyataany a
yang dimaksud oleh mereka tidak sesuai dengan pemahaman Salafush
Sholeh adalah tidak sesuai dengan pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan
para pengikutny a dalam memahami lafaz/ tulisan perkataan Salafush Sholeh. Hal ini terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ klaim-merek a/
Padahal Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar adalah para ulama yang bertalaqqi kepada ulama-ulam a yang bersanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah dan mereka pengikut pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat.
Para Imam Mazhab yang empat bertalaqqi langsung kepada Salafush Sholeh. Mereka mendengark an dan memahami langsung dari lisannya Salafush Sholeh bukannya memahami dengan menelaah (muthola’a h) lafaz/ tulisan perkataan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi’i ra, bertalaqqi langsung kepada Salafush Sholeh secara berpindah- pindah
mulai dari tempat awalnya di Mekah, kemudian pindah ke Madinah,
pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke
Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu
dimaklumi bahwa perpindaha n beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-had its, untuk pengetahua n agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ra lebih banyak mendapatka n hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ra dan Imam Maliki ra
Oleh karenanya para hakim agama, para mufti atau mereka yang
akan berfatwa sebaiknya berpegang pada pendapat atau pemahaman Imam
Mazhab yang empat sebagaiman a yang dicontohka n oleh mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaiman a contoh yang terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/30/ hukum-penut up-muka/
Kesimpulan nya adalah lafaz iqro yang diterjemah kan bacalah , bukanlah membaca lafaz/ tulisan namun pada hakikatnya maknanya adalah dengar dan pahamilah dari lisan ulama yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam serta pahamilah ayat-ayat Allah disegenap penjuru bumi. Sedangkan yang dimaskud bahwa Rasulullah adalah ummi atau “tidak tahu” dihadapan Allah yang Maha Mengetahui atau apa yang diketahuin ya tentang Risalah atau agama hanyalah bersumber dari ilmuNya bukan dari hawa nafsunya atau akal pikirannya sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Sebagaiman a (Kami telah menyempurn akan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarka n kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarka n kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. “ (QS Al Baqarah [2]:151)
Sungguh Allah Azza wa Jalla yang mengajari manusia untuk dapat memahami ayat-ayatN ya. Untuk itulah kita berupaya untuk dapat melihatNya dengan hati, bertemu denganNya , berkomunik asi denganNya.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-ka ta dengan dia kecuali dengan perantaraa n wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhn ya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS Asy Syuura [42]:51)
Diriwayatk an dari Abu Musa al-‘Asy’ar i:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ
يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُ هُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه مسلم)
Berdiri Rasulullah صلى الله عليه وسلم di depan kami dengan menyampaik an lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguh nya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkat nya,
diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang
Sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)
Berkomunik asi dengan Allah Azza wa Jalla untuk memahami ayat-ayatN ya dibelakang tabir cahaya yang menghujam ke dalam hati manusia.
Ketidakmam puan manusia menggunaka n ilham yang telah dihujamkan kedalam hati mereka dikarenaka n
keadaan hati mereka. Semakin mereka berlumur dosa maka ketiadaan
cahayaNya pada hati mereka , menuju kegelapan , kehinaan sehingga
mereka buta hatinya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaa n-perumpam aan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)
“Barangsiap a yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40 )
“Maka apakah orang-oran g yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az Zumar [39]:22)
Manusia sebagai makhluk yang mulia dengan dikaruniak an akal (qalbu) dan akan mendapatka n kemuliaan (An Nuur) atau “naik” jika manusia memperguna kan akal (qalbu) di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau memperguna kan akal (qalbu) untuk mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a dan sebaliknya akan mendapatka n kehinaan (An Naar) atau “jatuh” jika manusia tidak memperguna kan akalnya atau memperturu tkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatka n kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Katakanlah : “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatla h aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-oran g yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Mengikuti atau memperturu tkan hawa nafsu = tidak mengikuti petunjukNy a atau tersesat dari jalan Allah, menuju kegelapan atau ketiadaan cahayaNya
Manusia yang mendapat kemuliaan atau yang kembali ke sisi
Allah yang Maha Mulia adalah Mereka yang mengikuti cahayaNya atau
petunjukNy a yakni mereka yang memperguna kan akal (qalbu) di jalan Allah dan RasulNya atau dengan kata lain adalah manusia yang bertaqwa.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhn ya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujura at [49]: 13 )
Mereka yang mulia dan di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka yang
istiqomah di jalan yang lurus, mereka yang telah diberi ni’mat ,
mereka hanyalah terdiri dari 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang
utama adalah Rasulullah ), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-oran g sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
[http://0.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=314934178529397&refid=7]