Oleh Irwan Masduqi
قُلْ إِنَّنِي
هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
[ الأنعام : 161 ]
Umat
Islam dewasa ini menghadapi persoalan multi-dimensional dan
keterbelakangan yang, mau tidak mau, menuntut para pemikir dan tokoh
agama mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya sembari mencari
solusinya. Mereka bertanya-tanya kenapa dunia Barat maju sedangkan dunia
Islam mundur? Pertanyaan seperti ini telah muncul sejak keruntuhan
dinasti Islam Andalusia dan semakin sering diajukan pasca kekalahan
dunia Arab-Islam dari Israel.
Umat Islam yang sadar akan
hal ini merasa prihatin karena menyaksikan adanya semacam kesenjangan
antara klaim superioritas—sebagai agama ya’lu wa la yu’la ‘alayh—dengan
realitas empirik bahwa Islam sangatlah inferior. Umat Islam yang pada
masa kejayaannya sangat percaya diri dan narsis akhirnya terjangkit oleh
sense of inferiority ketika melihat kemajuan dan modernitas Barat.
Sense of inferiority umat
Islam secara fenomenologis mengambil bentuk yang beragam. Para pemikir
muslim apologis berusaha menutup-nutupi perasaan itu dengan narsisme
bahwa Islam merupakan agama berperadaban dan beretika. Memang harus
diakui bahwa dalam pergaulan internasional, dunia Islam kurang
diperhitungkan secara politis, sementara secara ekonomi makro dunia
Islam hanya menjadi pasar konsumtif. Namun dalam bidang etika, dunia
Islam masih mereka yakini unggul dibandingkan Barat yang sarat budaya
amoral. Para pemikir muslim apologis getol mencari-cari borok dan
kebobrokan dunia Barat sembari menutup-nutupi koreng dan noda-noda yang
melekat dalam tubuh dunia Islam. Bagi mereka, kemajuan dunia Barat
hanyalah bersifat duniawi, materialistis, semu, dan fana. Hal ini
berbeda dengan keunggulan dunia Islam yang bersifat ukhrawi,
spiritualistik, nyata, dan baqa’.
Itulah ekspresi
orang-orang yang kalah tapi tak mau merasa kalah. Mereka tak mampu
melawan Barat secara ekonomi dan tekhnologi sehingga mencari tempat
pelarian yang bersifat spiritualistik dan eskatologis. Kekalahan di
dunia tak mengapa, asalkan menang di akhirat. Mereka rela tidak terlibat
dalam pengendalian kebijakan internasional, asalkan mendapatkan
bidadari surga yang bahenol. Dalam kondisi psikologis seperti ini,
spiritualitas sejatinya telah direduksi menjadi sarana pelarian negatif
dari perasaan kalah. Agama akhirnya seolah-olah hanyalah obat bius
pelipur lara.
Fenomena seperti ini tentunya sangat
mengenaskan. Oleh karenanya kita sebagai generasi harapan Islam
seharusnya mengembalikan fungsi revolusioner spiritualitas Islam.
Spiritualitas dalam agama bukan semata-mata upacara pelarian yang
berciri teosentris, tetapi merupakan penggerak dinamika kehidupan kaum
muslim yang bersifat teo-antroposentris.
Sense of inferiority
tak jarang juga mendorong sebagian umat Islam untuk melakukan
otokritik. Mereka kemudian sadar bahwa kemunduran dunia Islam disebabkan
oleh kian jauhnya umat dari ajaran Quranik dan profetik yang otentik.
Dunia
Islam belakangan telah terkotori oleh deviasi-deviasi dan
miskin inspirasi dari ajaran otentik. Sebagai solusi, mereka
mengumandangkan semangat kembali kepada al-Quran dan hadits (ruju’ ila al-Quran wa al-hadits)
agar mampu menggali ajaran-ajaran agama otentik. Bagi mereka, kemajuan
dan kebangkitan kembali umat Islam hanya akan diraih apabila umat Islam
kembali pada ajaran fundamental agama otentik. Semangat revivalistik ini
mengambil empat ragam ekspresi yang kadang-kadang mengalami tumpang
tindih dan pembauran; revivalisme puritanistik, modernistik, dan
radikalistik.
Pertama, revivalisme puritanistik
mengandaikan bahwa kemunduran dunia Islam disebabkan deviasi dari Islam
otentik dalam bentuk tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC). Mereka
berpendapat bahwa TBC telah mengakibatkan umat Islam terjerumus pada
kemusyrikan sehingga harus dikembalikan pada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim).
Mereka mengharamkan ziarah kubur dan tawasul dengan dalih pemurnian
agama Islam. Seakan-akan dengan upaya purifikasi ini umat Islam akan
mengalami kemajuan kembali. Tetapi dalam realitas praksis, ternyata
bukan kemajuan umat yang diraih, spirit puritanistik itu justru
mengakibatkan munculnya sikap-sikap negatif seperti absolutisme dan
eksklusivisme. Mereka merasa paling iman dan murni sendiri sementara
kelompok lainnya adalah musyrik, sesat, dan bid’ah.
Kedua,
revivalisme modernistik di mana Muhammad Abduh dan madrasah reformisnya
dianggap sebagai pioner modernisme Islam. Bagi mereka, kemunduran umat
Islam disebabkan oleh isolasi dan hegemoni “tradisi” (turats)
sehingga nalar umat Islam cenderung berorientasi kepada romantisme masa
lalu tanpa bisa beranjak menatap masa depan. Kalangan modernis
mengkritik kalangan tradisional yang senantiasa membaca tradisi secara
repetitif demi sebuah otentisitas ajaran (al-ashalah). Namun, di sisi lain, kalangan tradisionalis mengabaikan modernitas (al-hadatsah).
Oleh karena itu, kalangan modernis mengajak umat Islam agar kembali
kepada spirit otentik Quranic dan profetik melalui reinterpretasi guna
memenuhi tantangan modernisasi dan menggali otentisitas.
Spirit
modernistik merupakan antitesis paradigma tradisionalistik yang
meyakini bahwa kebangkitan umat Islam hanya bisa diraih dengan
melestarikan ajaran para pendahulu. Pandangan ini tercermin dalam jargon
tradisional; la yashluhu hadzihil ummat illa bima shaluha bihi al-awwalun
(Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan ajaran para pendahulu yang
terbukti telah mengantarkan mereka pada pintu kejayaan). Meskipun kolot,
kalangan tradisionalis pun secara teoretis mempunyai solusi konseptual
bagi kemajuan, yakni sebagaimana yang tercermin dalam jargon al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi jadid al-ashlah
(melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang
lebih baik). Keseimbangan antara tradisi lama dan kontribusi tradisi
baru diyakini oleh kalangan tradisionalis akan mampu mengantarkan umat
pada kebangkitan tanpa harus kehilangan identitasnya.
Namun sayangnya, dalam realitas praksis, kalangan tradisionalis tidak kritis memilah-milah antara tradisi lama yang positif (qadim al-shalih) dan yang negatif (qadim al-thalih).
Mereka seolah-olah yakin bahwa semua tradisi lama adalah baik dan
positif. Nihilnya kritisisme inilah yang mengakibatkan kalangan
tradisional terjebak dalam nilai-nilai kuno yang usang. Mereka terhalang
melihat otentisitas ajaran agama karena tertutup oleh tabir-tabir
tradisi yang negatif. Di sisi lain, mereka tidak maju-maju karena apatis
dan sinis terhadap pembaharuan dan reinterpretasi.
Ketiga,
revivalisme radikalistik. Kelompok radikal dan teroris pun mendaku
memeluk agama Islam otentik melalui penafsiran mereka atas ajaran
Quranik dan profetik. Bagi mereka, Islam otentik adalah agama yang
mengajarkan membunuh non-muslim hingga tidak ada kekafiran di muka bumi
ini. Mereka, baik secara sadar atau tidak, telah mereduksi Islam yang
sejatinya mengajarkan perdamaian dan kasih sayang menjadi agama
kekerasan dan kebencian. Kelompok fundamentalis-radikal juga meyakini
bahwa kejayaan kembali Islam hanya bisa diperoleh dengan mendirikan
Khilafah Islam dan menerapkan syariat Islam secara harfiyah. Sistem
politik khilafah dan tathbiq al-syariah diyakini oleh mereka
sebagai bagian dari agama otentik dan bukan sebagai sistem yang dinamis
sesuai perkembangan zaman. Konsekuensinya, mereka tak segan-segan
mengkafirkan kelompok lain yang tak sepaham karena dinilai mengingkari
ajaran agama yang otentik.
Sebagai respon atas
penafsiran-penafsiran kalangan fundamentalis-radikalis ini maka
muncullah Islam liberal yang berupaya mereinterpretasikan Islam sebagai
agama toleran dan demokratis. Arkoun, misalnya, menilai bahwa kita harus
membedakan antara agama otentik dengan agama ideologis. Agama otentik
mengajarkan toleransi dan kedamaian, sedangkan agama ideologis
mengajarkan intoleransi dan kekerasan. Ali Abd al-Raziq pun menjelaskan
bahwa agama otentik tidak mengatur sistem pemerintahan, sedangkan agama
ideologis mengatur sistem pemerintahan yang dijustifikasi dengan
politisasi teks-teks agama.
Melihat wacana pemikiran Islam
yang beragam tersebut dapat diambil gambaran besar bahwa masing-masing
kelompok berusaha mencari-cari Islam otentik sehingga term “otentisitas”
pun memiliki beragam versi sesuai penghayatan dan pengalaman religius
mereka. Otentisitas agama, dengan demikian, telah menjadi wilayah
diskursus yang diperdebatkan, bahkan diperebutkan dimana masing-masing
kelompok merasa paling otentik. Namun wacana otentisitas agama sejatinya
merupakan konsepsi manusia yang bersifat nisbi, sementara ajaran
otentik yang benar-benar otentik secara multak tampaknya hanya Tuhan
yang tahu. Menyadari hal ini, maka penulis akan memaparkan gagasan agama
otentik menurut pandangan penulis sendiri.
Dalam QS. Al-An’am: 161 dijelaskan bahwa agama otentik adalah jalan yang lurus (mustaqim), yakni din Ibrahim (Abrahamic religion) yang mengajarkan monoteisme (tauhid).
Dalam monoteisme, ibadah, hidup, dan mati semata-mata hanya serahkan
kepada Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian maka paganisme dan trinitas
adalah bentuk penyimpangan dari agama otentik. Sebagian penafsir ada
yang menambahkan bahwa agama otentik adalah agama yang mengajarkan
keadilan (‘adl) dan kemurnian iman (khalish).
Selain
mengajarkan monoteisme, agama otentik merupakan agama murni yang tidak
terkontaminasi oleh penyimpangan. Agama otentik adalah ajaran-ajaran
yang mencerminkan spirit Quranik dan profetik. Para teolog
menterjemahkan agama otentik sebagai agama monoteis yang menekankan
“penyerahan diri” hanya kepada Allah. Para fuqaha menterjemahkan agama
otentik sebagai aturan hukum syariat yang mengatur kemaslahatan manusia,
sehingga semua hal yang tidak bermaslahat maka bukan termasuk bagian
dari agama, seperti kata ushuliyyin. Agama otentik adalah aturan yang
memihak pada kemaslahatan manusia (li mashalih ‘ibad). Dari
perspektif yang berbeda, para mistikus muslim mengartikan agama otentik
sebagai nilai-nilai kerendahan hati, kesabaran, kesederhanaan,
kesantunan, kesopanan, cinta kasih, kejujuran, dan lain sebagainya.
Namun
ajaran otentik Islam belakangan ini dipertanyakan ulang oleh kalangan
islamophobia. Benarkah ajaran otentik Islam mengajarkan intoleransi dan
kekerasan atas nama agama? Dalam menjawab keraguan itu, Ahmad Juhayni
menyatakan bahwa “Islam bukan Al-Qaeda atau Taliban, Kristen bukan
Crusaders, dan Yahudi bukan Zionis. Ada perbedaan antara agama dan
pemeluknya”. Islam menyerukan ajaran otentik rahmatan lil alamin,
namun sebagian pemeluknya menyimpangkannya melalui penafsiran radikal
bahwa Islam memerintahkan kekerasan. Islam otentik juga mengajarkan
kebebasan beragama (la ikraha fi al-din), namun ada sejumlah
ulama yang memahami Islam sebagai agama paksaan dengan pedang. Kristen
otentik menyerukan agama kasih sayang, namun Crusaders menghalalkan
pembunuhan kepada siapa saja yang tak mau dibaptis. Yahudi otentik
mengajarkan bahwa membunuh satu orang layaknya membunuh semua manusia,
tetapi Zionis menghalalkan pembunuhan dan pengusiran terhadap warga
Palestina atas dalih ideologi Eret-Israel, bumi Israel yang dijanjikan.
Agama
otentik memandang bahwa perdamaian merupakan prinsip sedangkan perang
adalah pengecualian. Islam tidak mengajarkan terorisme dan jihad
ofensif. Dalam Islam, jihad hanya dilegalkan demi tujuan defensif.
Perdamaian bahkan merupakan misi Adam sejak ia diturunkan di dunia
sebagai peganti (khalifah) makhluk sebelumnya yang berbuat
kerusakan dan pembunuhan di muka bumi. Dengan demikian, maka dapat
dipahami bahwa misi agama otentik adalah perdamaian.
Agama
otentik mengusung spirit teo-antro-cosmossentris yang menekankan
hubungan baik antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan alam semesta. Misi teologis, humanis, dan
cosmologis inilah yang menjadi landasan pokok agama otentik. Agama
otentik bukanlah agama langit yang hanya mengatur wilayah ketuhanan
semata, tetapi juga mengangkat derajat kemanusiaan serta mengatur
kehidupannya di dunia agar sejahtera dan bahagia. Di sisi lain, agama
otentik merupakan agama cosmosentris yang mendorong kelestarian
lingkungan. Agama otentik mengutuk mufsidin fi al-ardh yang mengeksploitasi kekayaan alam semesta dan merusak lingkungan hidup.
Perlu
juga digarisbawahi bahwa agama otentik bukanlah agama
formalistik-simbolistik. Islam yang murni dan sejati tidak bisa dipahami
sebagai agama Arabis yang lekat dengan simbol-simbol seperti jubah dan
surban. Islam otentik adalah ajaran substansial yang secara dinamis dan
elastis dapat berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya lokal
masing-masing kawasan. Dengan demikian, ajaran otentik Islam dapat
dipribumisasikan dalam budaya Indonesia yang plural. Dengan bahasa lain,
Islam otentik bukanlah terbatas pada kulit semata, tetapi yang paling
utama adalah isinya. Wallahu a’lam.
Yogyakarta 18 Juli 2011