Oleh Anis Mashduqi
Mukadimah
Pada umumnya, pondok pesantren
(seterusnya disebut pesantren) dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang
mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut kaca mata umum, modern.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang lahir dan
tumbuh dari kultur Indonesia yang bersifat indegenous. Ia tumbuh atas
prakarsa dan dukungan masyarakat, serta didorong oleh permintaan dan
kebutuhan masyarakat (Madjid, 1997: 3, Sulaiman, 2010: 2). Menurut Van
Bruinessen dan Kohlejo (dalam Sulaiman, 2010: 2), walaupun belum
diketahui secara pasti kapan pesantren ada untuk pertama kalinya, namun
dari pendapat beberapa sejarawan dapat diketahui bahwa pesantren di
Indonesia sudah ada sejak zaman Wali Songo.
Pada saat
sekarang ini, di tengah perkembangan dunia modernistik yang semakin
intensif dan ekstensif adalah suatu fenomena yang menarik jika terdapat
kenyataan adanya lembaga pendidikan yang konsisten mengembangkan tradisi
akademik dan intelektualisme tradisional secara otonom. Suatu fenomena
yang menarik pula apabila di tengah skeptisisme atau bahkan sinisme
banyak kalangan terhadap adabtabilitas pesantren (lagging behind the time)
namun pada realitasnya ia menunjukkan dinamika yang luar biasa. Dengan
tetap mempertahankan tradisi akademik dan intelektualisme
tradisionalnya, pesantren tetap eksis dalam hegemoni modernitas yang
ada. Kredo pesantren yang diulang-ulang dan dipegang teguh, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah
barangkali menjadi jurus ampuh yang mengantarkan pesantren menjadi
sosok yang terlihat modern akan tetapi sekaligus otentik, baik secara
manajemen kelembagaan maupun pada tataran ontologi, espitemologi dan
aksiologi pemikiran.[1]
Maka tidak mengherankan apabila kemudian berkat kehati-hatian (cautious policy)
pesantren dalam merespon modernitas, justru menjadikannya semakin unik
dan mendapat lirikan untuk menjadi alternatif banyak lapisan masyarakat
di Indonesia.[2] Sekarang saja mulai terlahir suatu anggapan yang
diamini bersama bahwa sistem pendidikan pesantren yang mempunyai akar
kuat pada masyarakat dan kebudayaan lokal itu bisa merupakan suatu
sistem alternatif atau sekurang-kurangnya menambah preferensi-kreatif
bagi pembaharuan sistem pendidikan nasional (Abdullah, 2005: 68). Ini
lah yang akhir-akhir ini mendongkrak perkembangan pesantren dan menarik
perhatian pemerintah untuk mulai memperhatikan potensi besar yang
dimiliki pesantren setelah sekian dasawarsa ia ditempatkan pada posisi
yang tidak menguntungkan oleh pemerintah melalui politik alienasi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat
yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, memunculkan
tuntutan-tuntutan baru dalam bidang pendidikan yang semakin baragam,
terutama bagi pesantren. Keragaman tuntutan pendidikan tersebut pada
gilirannya menimbulkan orientasi pesantren menjadi beragam pula dan
secara sosiologis mengantarkan pada pengkategorian tipologi pesantren
yang semakin berkembang. Dalam arti, bentuk pesantren yang memang sejak
awal sedemikian plural, maka seiring perkembangan dunia, pluralitas
pesantren mengonsekwensikan tipologi-tipologi baru yang mencirikan diri
dari lainnya yang telah ada.
Dilihat dari segi kurikulum
dan materi yang diajarkan, menurut penelitian Ditjen Kelembagaan Agama
Islam Depag RI pada tahun 2004 (dalam Sulaiman, 2010: 5) pesantren dapat
digolongkan ke dalam empat tipe, yaitu: 1. Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal, dengan penerapan kurikulum nasional
pada satuan-satuan pendidikan keagamaan, seperti Madrasah Ibtidaiyyah
(MI) untuk tingkat sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyyah (MTs) setingkat
SMP, Madrasah Aliyah (MA) setingkat SMA dan Perguruan Tinggi Agama
Islam. Juga ada yang menerapkan satuan pendidikan umum, seperti Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan Perguruan Tinggi Umum. 2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
formal dalam bentuk satuan pendidikan keagamaan (madrasah) dengan
penerapan kurikulum yang sebagian besar berisi pengetahuan agama. 3.
Pesantren yang menyelenggarakan satuan pendidikan non-formal dalam
bentuk Madrasah Diniyah (MD) yang menerapkan kurikulum berisi
pengetahuan agama. 4. Pesantren yang hanya berfungsi sebagai tempat
pengajian.
Rahardjo (dalam Sulaiman, 2010: 5) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren
memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi
khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya tampak
adanya pola umum sheingga pesantren dalam dikelompokkan ke dalam dua
tipe. Pertama, pesantren modern (khalafiyyah) yang ciri utamanya adalah
1. Gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif. 2. Program
pendidikannya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum. 3. Materi pendidikan agama bersumber dari kitab-kitab klasik
(kitab kuning) dan non-klasik. 4. Pelaksanaan pendidikan lebih banyak
menggunakan metode-metode peebelajaran modern dan inovatif. 5. Hubungan
antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan kolegial. 6.
Kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif.
Kedua,
pesantren tradisional (salafiyyah) yaitu pesantren yang masih terikat
kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa krakteristik tipe pesantren ini
adalah; 1. Sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada di tangan
kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren. 2. Hanya
mengajarkan pengetahuan agama 3. Materi pendidikan bersumber dari
kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning 4. Menggunakan sistem
pendidikan tradisional seperti sistem weton atau bandongan dan sorogan
5. Hubungan antara kiai, ustadz, dan santri bersifat hierarkis 6.
Kehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter.
Sedangkan
Dhofier (dalam Sulaiman, 2010: 5-6) yang melihat pesantren berdasarkan
keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan sosial, mengelompokkan
pesantren dalam dua kategori, yaitu pesantren salafi dan khalafi.
Pesantren salafi atau tradisional yaitu pesantren yang masih
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan ilmu agama
berdasarkan kitab-kitab kuning sebagai sumber literatur yang utama.
Sedangkan penyelenggaraan pendidikannya menggunakan sistem bandongan dan
sorogan. Pesantren khalafi adalah pesantren yang telah memasukkan mata
pelajaran umum dalam kurikulum pendidikannya, menggunakan sistem
klasikal, dan orientasi pendidikannya cenderung mengadopsi sistem
pendidikan formal.
Selanjutnya, Dhofier mengemukakan tiga ciri yang pada umumnya dimiliki pesantren. Pertama,
pesantren menanamkan nilai-nilai keagamaan yang sama, yaitu ketakwaan
sebagai nilai utama. Nilai ini kemudian dijabarkan ke dalam nilai-nilai
yang lebih spesifik seperti keikhlasan, kebersamaan, kesederhanaan dan
perubahan atau pembaharuan. Kedua, kiai adalah orang yang
umumnya tergolong mampu secara ekonomi di lingkungan komunitasnya,
sehingga tidak heran apabila ia mampu membiayai sendiri kebutuhan hidup
dan pesantrennya tanpa harus tergantung pada pihak lain. Ketiga,
prestise dan kharisma yang dimiliki kiai memungkinkan untuk memperoleh
akses informasi yang luas, termasuk akses terhadap sumber-sumber
keuangan untuk pembiayaan berbagai kebutuhan dalam pengelolaan
pesantren.[3]
Identitas pesantren yang pada awal
perkembangannya merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam
kini identitas tersebut mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan
masyarakatnya. Sungguhpun demikian, pergeseran yang dialami pesantren
sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya.
Pesantren dengan karakterisitik kemandirian dan independensi
kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi yaitu: 1. Sebagai lembaga
pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agam dan
nilai-nilai keislaman (Islamic values) 2. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan kontrol sosial (social control) dan 3. Sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Dengan demikian paling tidak selama ini pesantren memerankan tiga
fungsi sekaligus yaitu: fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi
pendidikan.
Pendidikan Kitab Kuning di Pesantren
Kitab
Kuning adalah salah satu dari elemen pendidikan pesantren yang utama
selain kepemimpinan kyai. Dari kitab-kitab ini lah digali segenap tata
nilai dan ilmu pengetahuan Islam. Kitab kuning sebagai hasil karya para
ulama klasik yang nota bene merupakan kiblat nilai dan
intelektual para civitas akademika pesantren menempati posisi yang
tinggi setelah Al-Quran dan Al-Sunnah.[4] Dengan mengadaptasi tesis
pemikiran Abu Zayd (2000; 9) yang menempatkan budaya Islam-Arab sebagai
budaya teks maka tidak berlebihan bagi penulis menempatkan pula bahwa
budaya pesantren adalah budaya teks yang terbentuk melalui cara berpikir
referensial yang terpusat pada kitab kuning. Jika budaya pesantren
adalah budaya teks maka bisa dikatakan pula bahwa budaya pesantren
adalah budaya kitab kuning, mengingat kitab kuning adalah teks yang
sedemikian utama dan sentral dalam tradisi pesantren.
Mengikuti kategorisasi Hasan Hanafi (2000; 9-10) keilmuan Islam dibagi menjadi tiga rumpun ilmu pengetahuan yaitu: ulum naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual yaitu: hadits, tafsir, fiqh, sirah dan ulumul quran), ulum naqliyyah-aqliyyah (tekstual-rasional yaitu: ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan teologi) dan ulum aqliyyah (ilmu-ilmu
rasional: sains dan humaniora) maka pesantren pada saat ini menyediakan
semua disiplin ilmu tekstual, tekstual rasional maupun rasional murni.
Hanya saja karena pesantren lebih mengutamakan praksisme sosial dan
penanaman akhlak di samping ilmu pengetahuan maka ketersediaan
kitab-kitab dalam ilmu-ilmu tekstual - terutama dalam bidang fiqh dan
akhlak - merupakan titik temu semua varian pesantren.
Dalam
rumpun ilmu-ilmu tekstual dan tekstual-rasional ada sekitar sembilan
ratus (900) judul kitab kuning yang beredar di lingkungan pesantren
dengan prosentase 20% yang bersubstansikan fiqh dan ushul fiqh, teologi
berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharf, balaghah) 12 %, hadits Nabi
8%, tasawuf 7 %, akhlak 6%, pedoman doa (wirid, mujarrabat) 5% dan karya
puji-pujian kenabian (qishash al anbiya, maulid, manaqib) 6%.
Pengadopsian ilmu-ilmu rasional dalam pesantren terjadi seiring
perkembagan dunia pesantren yang bergerak kemudian dalam rangka merespon
modernitas yang ditandai dengan kebangkitan ilmu-ilmu sains dan
humaniora di dunia Islam secara pelan-pelan barangkali untuk yang kali
kedua setelah kejayaan rasionalisme Islam pada tujuh abad pertama.[5]
Sedangkan
terkait metode pengajaran kitab kuning, pesantren mengenal setidaknya
tiga metode yaitu: wetonan (bandongan), sorogan dan hafalan. Metode
wetonan merupakan metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran
dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri
menyimak kitab masing-masing dengan memberi makna gandul yang disebut
dengan istilah ngasahi dan memberikan catatan bila perlu. Metode
sorongan adalah di mana santri membaca kitab dan maknanya satu persatu
di depan kiai. Kiai cukup menunjukkan cara baca yang benar. Adapun
metode hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks yang
dipelajarinya baik berupa nadzam (syair) maupun makno gandul
dan penjelasannya dalam bahasa daerah (masyhud, 2003; 89). Sedangkan
sistem jalsah atau halaqah biasanya merupakan ajang debat akademik baik
bagi dan antar santri senior, ustadz maupun kiai yang sudah mumpuni.
Lebih
dari itu, pesantren memahami pendidikan tidak hanya sekedar transfer
ilmu pengetahuan melalui sistem dan metode yang ada tersebut, akan
tetapi lebih kepada pengamalan ilmu pengetahuan melalui akhlak mulia
sebagai the core of pesantren. Pentingnya pembentukan akhlak
mulia pada santri dipahami dari perspektif munculnya fenomena
pelanggaran tata nilai dan norma sosial di dalam masyarakat yang nota
bene seringkali dilakukan kalangan berilmu. Pesantren memahami bahwa
ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan akhlak akan jauh berbahaya
daripada orang awam yang berakhlak. Pengutamaan akhlak dalam pendidikan
pesantren ini barangkali dipahami dari pesan kenabian yang menjelaskan, innama bu’istu li utammima makarima al-akhlaq.
Pesantren
memahami bahwa terbentuknya akhlak yang baik pada anak didik tidak bisa
berlangsung cepat dan dalam waktu yang singkat. Akhlak yang terkait
erat dengan spiritualitas dalam pandangan pesantren sebagaimana diktum
Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, harus diupayakan melalui mujahadah wa riyadhah (kesungguhan
dan laku prihatin). Maka pendidikan ilmu pengetahuan di pesantren, di
samping berbarengan dengan pendidikan karakter dengan praktik akhlak
mulia juga penempaan spiritual melalui ritus mujahadah dan laku
prihatin.
Saking kuatnya orientasi akhlak ini, maka tidak
heran apabila ijazah sebagai salah satu elemen formal pendidikan bukan
lah tujuan utama bagi santri maupun wali santri. Sebab dalam pandangan
civitas akademika pesantren, banyak lulusan pesantren yang menjadi orang
penting dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat, bahkan banyak pula
yang menjadi kiai atau suskes dalam usaha mereka meskipun hanya
berijazah pesantren atau bahkan tidak berijazah. Menurut Wahid (dalam
Sulaiman, 2010; 140) perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem
pendidikan umum melahirkan perbedaan dalam cara siswa atau santri
belajar. Orientasi mengejar nilai atau kelulusan mengharuskan siswa
belajar tekun, mengikuti bimbingan belajar atau kalau perlu nyontek.
Sementara di kalangan santri ketekunan dalam belajar dibarengi dengan
tirakat, serta puasa senin-kamis atau puasa ngrowot (tidak makan nasi
dalam jangka waktu beberapa tahun) sehingga pola kerja akal dibarengi
dengan kekuatan batin. Lebih jauh Wahid mengemukakan bahwa di pesantren
juga tidak ada ujian, kecuali dalam sistem klasikal sehingga tidak ada
santri yang nyontek. Kalau santri sudah selesai pengajian suatu kitab
maka ditutup dengan pembacaan doa bersama, pemberian ijazah dari kiai,
atau izin untuk mengajarkan kitab yang dipelajari kepada orang lain atau
ijazah-ijazah kanuragan. Di antara mereka ada yang berkeinginan menjadi
ahli agama (ulama) sehingga setelah mempelajari beberapa kitab
elementer mereka memperdalam bahasa Arab sebagai alat untuk memperdalam
kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, hadits, sastra, tauhid, tarikh dan akhlak.
Kitab Kuning: Posisi dan Signifikansi
Di
samping faktor kepemimpinan kiai, kitab kuning adalah faktor penting
yang menjadi karakteristik pesantren sebagai sub-kultur. Selain sebagai
pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning difungsikan sebagai
referensi nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
Ketika kitab kuning digunakan secara permanen dari generasi ke generasi
sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas
maka sebuah proses pembentukan dalam pemeliharaan tradisi yang unik itu
tengah berlangsung. Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus
kitab kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Bagaimanakah
pesantren memperlakukan kitab kuning dalam tradisi pendidikannya?
Pengamatan akan hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah
pertanyaan fundamental; Bukankah Al-Quran dan Al-Sunnah yang menjadi
referensi mereka? (Affandi Mochtar dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999:
230).
Alasan pemilihan kitab kuning, menurut sebagian
kalangan, bisa dijelaskan dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi
intelektual Islam Nusantara. Sejak periode paling dini bersamaan dengan
proses internasionalisasi yang berarti arabisasi, dokumentasi tentang
ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dengan bahasa Arab. Arabisasi
semacam ini tidak lain menempatkan keislaman di Indonesia selalu dalam
konteks universal. Proses semacam ini terus belanjut sejalan dengan
semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa daerah dan
pesantren nampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai
momentumnya ketika pesantren berada dalam tekanan kekuatan asing dan
melakukan gerakan defensive non-kooperatif terhadapnya.
Mochtar
(dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999: 233) memaparkan penjelasan Mas’udi
yang melihat masalah ini dari sudut lain yang lebih inheren dalam
kehidupan pesantren, yakni berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren
tentang ilmu. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang hanya
bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pewarisan, transmisi dan bukan
sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu kitab kuning
yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq Al-Ta’allum, diajarkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal
(guru atau kiai) karena mereka telah menghafal bagian yang paling baik
dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari
yang pernah mereka hafal.
Di kalangan pesantren memang
diakui adanya cara lain untuk memperoleh ilmu tidak hanya dengan
transmisi seperti itu. Namun cara lain yang dimaksud bukan lah cara yang
paling rasional melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan
langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu dan identik dengan proses
pewahyuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui cara lain ini oleh
kalangan pesantren diakui sebagai ilmu ladunni. Dengan demikian, bagi
masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral,
tidak boleh spekulatif dan akal-akalan. Puncak dari padangan ini adalah
ilmu dianggap wahyu tersendiri atau, paling tidak, hadir sebagai
penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya dimonopoli oleh Nabi,
ilmu diyakini juga hanya bisa dikuasai oleh ilmuan (ulama). Pandangan
mereka ini tampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang hadits
Nabi; Al-ulama warasatul anbiya (ulama adalah pewaris para Nabi).
Dengan
pandangan keilmuan yang sedemikian ketat, tidak dinamis, pengajaran dan
pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas
kata-kata ulama. Ada dua konsekwensi yang saling berkaitan dengan hal
ini. Pertama, keseragaman (homogenitas) akan dengan mudah
menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalu saja terjadi perbedaan maka
perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapan (ibarah)-nya saja. Kedua,
kitab sebagai karya para ulama terdahulu yang memberikan keterangan
langsung tentang kata-kata wahyu bersifat sentral. Sementara kiai yang
memberikan keterangan atas kitab itu hanyalah subordinat atau sekedar
alat baginya- tidak berhak mengevaluasinya (Mochtar dalam Marzuki Wahid,
dkk (Ed.), 1999: 235)
Pandangan Mochtar dan Mas’udi benar
dengan pendekatan historis-positifistik-obyektifistik semacam itu
terhadap fenomena keilmuan pesantren dan pandangan mereka tentang ilmu.
Akan tetapi dengan pendekatan fenomenologis, kegandrungan pesantren
untuk selalu mempertimbangkan kitab kuning sebenarnya lahir sebagai
hasil pemahaman dan penghayatan yang dalam para ulama pesantren tentang
metodologi penalaran Islam yang memang harus dimulai dengan apresiasi
pendapat ulama-ulama sebelumnya terlebih dahulu sebelum secara
independen menentukan suatu status pengetahuan melalui Al-Quran dan
Al-Sunnah. Al-Ghazali (2010; 585) menjelaskan bahwa seorang mujtahid pun
tidak diperkenankan langsung berijtihad melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah
akan tetapi memperhatikan Ijma’ para ulama yang nota bene banyak
tercecer dalam kitab-kitab kuning. Seorang ulama kontemporer yang
kesohor di seluruh dunia pun, Yusuf Al-Qaradhwi (1998: 24) membagi
ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad intiqai (selektif) dan ijtihad insyai (konstruktif). Dengan ijtihad intiqai,
para ulama sudah harus pasti mengetahui pendapat ulama terdahulu yang
terkodifikasi dalam kitab kuning dan melakukan penyulingan (seleksi) dan
pengunggulan (preferensi) jika diperlukan.
Ontologi Kitab Kuning
Beberapa
dasawarsa yang lalu, kitab kuning pernah dihadapkan pada
pandangan-pandangan yang nyinyir tentang dirinya. Kitab kuning dianggap
mewakili keterbelakangan (al-takhalluf) budaya sekaligus intelektual di kalangan non-pesantren. Ia tidak hanya dianggap berkadar ilmiah rendah, out of mode
dan murahan akan tetapi juga, sebagaimana tasawuf dikambing-hitamkan,
telah menyebabkan stagnasi umat Islam. Lambat laun suara-suara negatif
itu mulai pudar seiring ketrampilan eksponen-eksponen pesantren di dalam
menjelaskan kedudukan dan substansi kitab kuning sebenarnya dan
kemungkinan dinamisasinya dalam konteks kekinian.
Kitab
kuning adalah hasil penalaran para ulama terhadap Al-Qur’an dan
Al-Sunnah dengan menggunakan metode tertentu beserta syarat-syarat
kualifikasi maupun komptensi khusus yang harus dimiliki. Metode yang
prosedural dan syarat kualifikasi maupun kompetensi yang dimilki oleh
para ulama lah yang menjadikan proses penalaran terhadap Al-Quran dan
Al-Sunnah berjalan sebagaimana seharusnya. Para ulama perlu melakukan
penalaran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah mengingat kedua sumber
pengetahuan Islam yang absolut ini tidak bisa serta merta dipahami.
Sebagai sebuah teks, keduanya mengandaikan analisis sejarah dalam ilm al-riwayah, analisis lingusitik dalam mabahis al-alfadz dan analisis praksis dalam maqashid al-syariah (‘illah) sebagaimana yang berlaku dalam ushul fiqh (metode penalaran hukum Islam) (Hanafi, 1955: 5)
Dus,
penalaran yang dilakukan oleh para ulama yang kemudian hasilnya
terkodifikasi dalam kitab kuning itu sebenarnya merupakan keniscayaan
ketika Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai penjelasnya telah mengklaim
sebagai penjelas segala sesuatu yang ada di dunia ini. Para ulama
menyadari bahwa teks Al-Quran dan Al-Sunnah terbatas sedangkan kenyataan
dunia terus berubah, terbarui dan tidak terbatas. Ini lah yang kemudian
memunculkan sebuah kredo terkenal di kalangan ahli ushul fiqh, al-nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghair mutanahiyah, maka ijtihad dengan penalaran adalah sebuah kenicayaan.
Para
santri ketika belajar ushul fiqh kemudian mengenal metode penalaran
ilmu pengetahuan yang dimulai dengan sumber Al-Quran diikuti Al-Sunnah,
Ijma dan Qiyas. Hanya saja, perlu diketahui bahwa sebagaimana konsep bayan
Al-Syafi’i (Al-Syafi’i, tt: 15-16) bahwa hierarki sumber pengetahuan
itu tidak bediri sendiri pada masing-masing sumber akan tetapi terjadi
inter-relasi sehingga perujukan kepada Al-Quran kadangkala perlu bantuan
dengan perujukan kepada Al-Sunnah. Sedangkan Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama atas hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuannya di
dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Qiyas adalah semacam ijtihad individual
atas apa-apa yang tidak ada rujukannya di dalam ketiga sumber sebelumnya
yang apabila terjadi perbedaan antara ulama maka akan terjadi ikhtilaf (perbedan pendapat) dan apabila bertemu dalam satu pendapat maka akan terjadi Ijma’.
Penalaran
para ulama terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah baik dalam merespon
kasus-kasus pengetahuan yang ada maupun nihil secara eksplisit di dalam
keduanya terkodifikasi di dalam kitab kuning yang digunakan oleh
pesantren. Kitab kuning dengan begitu adalah hasil tafsir yang
otoritatif – karena dilakukan oleh ulama yang memenuhi syarat
kualifikasi dan kompetensi dengan metode yang prosedural - terhadap
Al-Quran dan Al-Sunnah dalam rangka menjelaskan keduanya ataupun
merespon hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuan di dalam
keduanya secara eksplisit.
Para ulama pesantren ketika
dihadapkan juga pada kasus-kasus pengetahuan baru pada zamannya maka
serta merta mereka akan merujuk kepada kitab kuning yang sudah merupakan
produk matang para ulama. Suatu tindakan yang melelahkan apabila mereka
harus mengolahnya dari awal melalui perujukan langsung dari Al-Quran
dan Al-Sunnah, di samping hal itu juga merupakan tindakan pengabaian
terhadap otoritas ilmiah ulama sebelumnya. Dalam banyak kasus, kitab
kuning menyimpan hasil penemuan pengetahuan yang berbeda antar ulama
maka dalam hal ini para ulama pesantren seingkali mengevaluasi dan
melakukan tarjih (preferensi). Lain halnya apabila kasus-kasus
pengetahuan baru yang dihadapi para ulama pesantren tidak diketemukan di
dalam kitab kuning maka mereka akan berijtihad sebagaimana para ulama
berijtihad. Di dunia pesantren, ajang itjihad biasanya dilakukan secara
jama’I (kolektif) meski tidak menutup kemungkinan adanya ijtihad fardi (individual) oleh beberapa ulama pesantren.
Kitab
kuning yang merupakan hasil tafsir tehadap Al-Quran dan Al-Sunnah
sebagai sumber pengetahuan islam yang komprehensif terdiri dari berbagai
disiplin ilmu sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Kitab kuning
dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan
masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Bidang ini dikategorikan sebagai ilmu alat (instrumental science) yang merupakan pintu masuk (madkhal) untuk mempelajari dan mengkaji kitab kuning lebih jauh. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah
karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah. Ada juga satu
kitab shorf teramat ringkas dan tidak beredar luas yang sering disebut
dengan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi,
Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani.
Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah
karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H). masih
termasuk dalam kategori kitab kuning pemula akan tetapi lebih tinggi
tingkatannya adalah Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan kitab Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil.
Adapun yang membahas balaghah
sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal dan digunakan di
kalangan pesantren secara luas. Yang pertama adalah kitab Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M) kitab syakh dan mukhtashar
(resume) kitab ini juga beredar luas masing-masing disusun oleh Ahmad
Al-Damanhuri (w. 1177 H/1763 M) dan Makhluf Al-Minyawi. Tak tertinggal
KH. Bisri Musthafa asal rembang juga telah turut menejemahkan ke dalam
bahasa jawa. Kitab kuning balaghah yang kedua adalah Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan
karya Sirajuddin Al-Sakkaki. Sedangkan kitab balaghah terakhir yang
beredar di pesantren adalah kitab Al-Rislaah Al-Samarqandiyyah karya Abu
Al-Qasim Al-Samarqandi.
Selian shorf, nahwu dan balaghah
yang termasuk dalam kategori ilmu alat di lingkungan pendidikan
pesantren adalah ilmu tajjwid dan mathiq. Obyek bahasan ilmu tajwid
khusus diperuntukkan bagi Al-Quran, yakni membahas sekitar kaidah-kaidah
dan aturan-aturan bacaan Al-Quran secara tepat dan benar. Di pesantren,
yang masyhur dikaji adalah antara lain kitab kuning Tuhfah Al-Athfal karya Sulaiman Jumzuri dan kitab Hidayah Al-Shibyan yang tidak diketahui penulisnya.
Sementara itu ilmu mantiq
menyediakan teori-teori logika Aristoteles. Di kalangan pesantren ilmu
ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempertajam analisis fiqh dan
penerapan ilmu ushul fiqh. Kitab kuning yang paling terkenal dalam
masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
Sedangkan
kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam
kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Survei Van Bruinessen dalam hal ini
penting untuk dicatat. Ia mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i
berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang
muncul sebelumnya.[6] Masing-masing adalah kitab Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), kitab Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M).
Dari garis Al-Muharrar, kitab kuning generasi pertama yang lahir adalah Minhaj Al-Thalibin
karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian
generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas
Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan kitab Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), kitab Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan kitab Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan kitab Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M).
Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab.
Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan
intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul kitab Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), kitab Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 dan kitab Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M).
Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah kitab kuning Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan kitab Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari kitab Fath Al-Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan kitab Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir kitab kuning baru yaitu karya lain Ibn Hajar, Minhaj Al-Qawim, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan kitab kuning Al-Hawasyi Al-Madaniyyah,
tulisan kreatif seorang mufti madinah Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi.
Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di
hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin.
Selain
kitab kuning fiqh yang mempunyai hubungan dengan tiga atau empat kitab
garis asal muasal di atas, masih ada banyak lagi kitab kuning fiqh yang
terkenal di pesantren. Untuk sekedar menyebut beberapa contoh di
antaranya adalah kitab Sullam Al-Taufiq karya Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (w. 1271 H/1855 M) dan Safinah Al-Majah
karya Salim bin Abdullah bin Sumair seorang ulama Arab yang tinggal di
Jakarta pada pertengahan abad ke 19 M. Kedua kitab ini dipelajari oleh
hampir seluruh santri di Indoensia. Kitab kuning lain yang gencar
beredar dalam arus pendidikan pesantren adalah kitab Muhadzab karangan Ibrahim Al-Syirazi Al-Fayruzabadi (w. 467 H/1083 M), kitab Bughyah Al-Mustarsyidin, karya Abdurrhaman bin Husayn Al-Ba’lawi dan kitab Uqudullujjain fi Huquq Al-Zawjayn goresan tangan kreatif Syaikh Nawawi Al-Bantani. (Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), 1999: 241-244).
Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani (Hanafi, 2004: 33)
Konvensi yang terjadi antara ulama pesantren untuk menjadikan kitab tertentu sebagai text book
di pesantren-pesantren mereka dalam kurun waktu yang sekian panjang
akhirnya memapankan kitab-kitab tersebut menjadi sumber pengetahuan,
terutama keagamaan, di pesantren yang sulit tergantikan. Bukan hanya
semata-mata sebuah konvesi yang terjadi akan tetapi karena kitab kuning
telah membuktikan dirinya mampu membentuk kerangka berpikir santri yang
taat kepada ajaran agama di samping ia sendiri mempunyai potensi besar
sebagai sumber pengetahuan untuk merespon berbagai permasalahan hidup
dan menerima untuk ditransformasikan dalam konteks kekinian dengan tetap
mempertahankan apa-apa yang baik di dalamnya untuk diketahui dan
terapkan.
Penutup
Pesantren, dengan
Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan kitab
kuning sebagai penunjang utama kontruksi pengetahuan pesantren, telah
menghadapi banyak tantangan di sekian babakan sejarah semenjak masa-masa
formatifnya hingga periode perkembangannya kini. Pesantren terbukti
mampu mengatasi dan melakukan penyesuaian diri yang terus menerus dengan
berbagai pengembangan yang nyata namun kadang tersimpan dengan ciri
khas masing-masing tanpa mengorbakan identitasnya.
Sekarang
ini, tepatnya pada akhir dasawarsa pertama dan awal dasawarsa kedua
abad ke 21, pesantren dihadapkan bukan lagi pada tantangan globalisasi
Barat di mana pesantren sanggup mempertahankan karakteristiknya tanpa
lebur di dalam hegemoni modernitas, akan tetapi dihadapkan pada isu
fundamentalisme dan radikalisme yang sangat mungkin terinpirasi
pemikiran dan gerakan wahabisme global dan sudah merangsek semakin
intensif dan ektensif di Indonesia. Akan kah pesantren mampu
menyikapinya dengan bijak, menjinakkan dan memapankan Islam ala
pesantren sebagai Islam rahmatan lil alamin? Tantangan yang tidak mudah bukan?
[1]
Menurut Azra (dalam Madjid, 1997: xvi) untuk menghadapi semua perubahan
dan tantangan, eskponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa
mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan
modern Islam sepenuhnya tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan
kebijaksanaan hati-hati (cautious policy); mereka menerima
pembaruan (atau moderniasasi) pendidkan Islam hanya dalam skala yang
sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive.
[2]
Menurut data Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2004 (dalam
Sulaiman, 2010: 2) beberapa dasawarsa terakhir, jumlah pesantren di
Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Laporan Departemen
Agama RI tahun 1977 menyebutkan bahwa jumlah pesantren 4.195 buah dengan
jumlah santri 677.801 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan
signifikan pada tahun 1982, di mana jumlah pesantren 6.329 buah dan
jumlah santri 1.084.801 orang. Satu dasawarsa kemudian tepatnya pada
tahun 2001 jumlah pesantren mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri
sebanyak 2.737.805 orang. Menurut Riyasi (dalam Sulaiman, 2010: 1)
jumlah pesantren tersebut kebanyakan di pedesaan yaitu 8.829 (78.05%),
1.325 (11.71%) berada di perkotaan dan 1.158 (10.24%) berada di daerah
perbatasan antara kota dan desa. Sedangkan para santri yang belajar dan
tinggal di pesantren pada umunya berasal dari wilayah pedesaan dan
mereka akan kembali ke daerah masing-masing setelah menyelesaikan
pendidikan pesantren. Azra (dalam Madjid, 1997; xxii) menjelaskan bahwa
telah terjadi ekspansi pesantren dari pertumbuhan yang semula hanya rural based institusion kemudian menjadi lembaga pendidikan urban.
[3]
Kiai mempunyai komunikasi sosial yang efektif dipedesaan. Dalam
jaringan itu kiai memperoleh penerimaan dan dukungan umat. Patronasenya
berlaku dan diuji terus menerus. Kelembagaan social yang berada di bawah
naungan kiai begitu luas – untuk sekedar menyebut contoh langgar,
mushalla, pesantren, jamaah pengajian, kelompok tarekat – sehingga
memberikan akses luas kepada kiai untuk berhubungan dengan
masyarakatbya. Hal ini masih diperluas dengan hubungan sementara kiai
dengan pusat-pusat sumberdaya sosial-ekonomi seperti para dermawan,
lembaga swadaya masyarakat, funding agencies, birokrasi dan
politik seperti partai, aparat militer, pejabat pemerintah yang
kesemuanya dapat menjadi sarana atau rpasarana dan saluran demokratiasi
melalui pesantren (Fajrul Falakh, 1999: 165)
[4] Dalam
sebuah audensi penulis dengan hasan hanafi, salah seorang pemikir
kesohor Timur Tengah, yang banyak mengamati perkembangan islam di Asia
dan beberapa kali berkunjung ke Indonesia pernah mengungkapkan bahwa
kitab suci Islam Indonesia itu ada tiga yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah dan
Ihya’ Ulumuddin. Meskipun ini adalah seloroh seorang Hasan hanafi, akan
tetapi memiliki makna yang mendalam. Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah
sumber pertama dan kedua dalam ilmu pengetahuan Islam, akan tetapi
sumber yang ketiga sebetulnya adalah Ijma dank e empat Qiyas. Penyebutan
Ihya ulumuddin sebagai sumber hokum ketiga atau bahkan kitab suci
ketiga oleh hasan hanafi adalah sindiran kalangan islam Indonesia yang
elbih emmentingkan Al-Ghazali dengan pemikiran sufisitk dan madzhab dari
pada mementinggkan Ijma sebagai kesepakatan mayoritas ulama atau Qiyas
sebagai bentuk penalaran rasional daripada penalran tekstual.
[5]
Teori jatuh bangunnya sebuah kebudayaan dalam siklus 7 abad yang dibuat
Hanafi ini dianggap Ali Harb sebagai perdukunan dan bukan teori ilmiah
(Harb, 2000; 48)
[6] Dalam konteks disiplin ushul fiqh
paling tidak ada tiga motif kenapa para ulama memberikan syarkh,
khulasah maupun khasiyah atas karya-karya sebelumnya: Pertama, pentingnya
ushul fiqh dalam sistem pengetahuan Islam, baik dari segi ilmu maupun
teks tertentu yang diberikan komentar. Dari segi ilmu, ushul fiqh
menempati posisi yang menentukan karena memuat dasar-dasar fatwa yang
terkait dengan kebaikan seluruh umat Islam. Adapun dari segi pentingnya
sebuah teks karena karya-karya tertentu seperti Al-Mustashfa dan Syifa’ Al-Ghalil merupakan puncak kematangan teori di samping kematangan penulisnya. Kedua, upaya menjelaskan bagian-bagian yang kurang dipahami. Dalam hal ini, komentar
berfungsi mempermudah pemahaman, akan tetapi sebagian komentar juga
ditulis tanpa ada motivasi ini; mirip dengan karya-karya filsafat
sekarang ini yang ditulis hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan buku
ajar di madrasah dan universitas. Bentuk komentar kadang tidak disertai bab pendahuluan yang memuat alasan kenapa harus dilakukan komentar. Ketiga, mempertahankan kontinuitas. Komentar dilakukan sekedar meniru generasi sebelumnya yang melakukan hal sama. (Hanafi, 2004, 380)