Oleh: Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Thaharah bagi Orang yang Terputus Lengan atau Kakinya
Tanya:
Bagaimanakah cara menyempurnakan wudhu bagi orang yang tangannya putus
hingga lengan? Bagaimana pula bagi orang yang kakinya putus hingga
lutut?
Jawab:
Dengan adanya perintah Allah
untuk membasuh kedua tangan dan kaki dan menentukan batas-batasnya,
dapatlah diketahui bahwasanya shalat tidak sah hukumnya jika wudhu tidak
dikerjakan dengan sempurna. Dan di antaranya adalah membasuh
anggota-anggota tubuh yang telah disebutkan. Maka jika masih tersisa
pada orang tersebut bagian tubuh yang wajib dibasuh seperti lengan atau
telapak kaki, maka ia wajib membasuhnya.
Dan jika bagian tubuh
yang wajib dibasuh itu tidak tersisa sama sekali, maka para ahli fiqih
menyebutkan bahwa ia wajib membasuh bagian ujung lengan atau ujung betis
yang terputus hingga ia terhitung telah membasuh kedua tangan dan kedua
kaki.
Orang yang Menggunakan Perban
Tanya:
Apakah diharuskan mengusap perban dan luka menurut urutan ketika
berwudhu, yakni jika seseorang terluka tangannya kemudian ia terlupa
mengusap lukanya tersebut. Setelah membasuh kaki barulah ia teringat
belum mengusap tangan yang terluka tadi. Apakah ia menyempurnakan wudhu
baru kemudian mengusap luka itu atau ia mengusap luka baru membasuh kaki
kiri, atau ia harus mengulangi wudhunya kembali?
Jawab:
Dalam
kondisi seperti itu, hendaklah ia mengusap perban atau luka pada saat
ia membasuh tangannya (bila perban atau luka itu pada tangan), yakni
setelah membasuh wajah. Kemudian setelah mengusap perban ia lanjutkan
dengan mengusap kepala dan seterusnya. Jika ia terlupa mengusap perban
atau luka, maka ia mengusapnya setelah itu. Untuk kehati-hatian
hendaklah ia mengusap perban lalu mengulang pembasuhan kaki.
Jika
sudah berselang lama dan terluput al-muwaalat (kesinambungan pembasuhan
anggota wudhu) maka ia mengulang wudhu dan mengusap perban tersebut pada
tempat dan waktu membasuh anggota yang diperban.
Adapun jika luka
itu pada anggota wudhu lalu ia wajib mandi (karena junub atau lainnya)
dan tidak membasuh luka itu ketika mandi maka ia harus mengusapnya
setelah selesai mandi meskipun telah berselang lama. Sebab mandi tidak
disyaratkan al-muwalaat dan tertib. Wallahu a’lam.
Imam yang Tangannya Digips
Tanya:
Bolehkah orang yang tangannya dibungkus dengan gips mengimami shalat
sementara masih ada orang lain yang sehat dan setara dalam hal ilmu dan
bacaan?
Jawab:
Benar, hal itu diperbolehkan
jika ia adalah seorang imam tetap. Ia lebih berhak menjadi imam
meskipun ada orang lain yang menyamainya dalam ilmu ataupun bacaan.
Seseorang tidak boleh menjadi imam di masjid itu tanpa izin darinya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Seseorang tidak boleh mengimami orang lain di wilayah kekuasaannya… hingga akir hadits.”
Adapun
jika keduanya sama-sama bukan imam tetap, tentu saja yang lebih berhak
menjadi imam adalah yang lebih sempurna anggota tubuh dan sempurna
thaharahnya. Disebabkan gips tersebut ia tentu terhalang untuk
menyempurnakan thaharah. Ia tentu hanya bisa mengusap gips tersebut atau
ia tidak dapat sujud dengan sempurna. Maka shalatnya terdapat sedikit
kekurangan, di samping itu ia juga tidak memiliki keistimewaan daripada
yang lainnya.
Orang Buta dan Kiblat
Tanya:
Bagaimanakah seorang yang buta menentukan arah kiblat? Jika seorang
yang buta tidak dapat mengenali arah kiblat dan tidak ada orang yang
menunjukinya maka apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Ia
bisa mengetahuinya dengan meraba dinding jika hal itu terjadi di
rumahnya sendiri. Jika tidak maka ia dapat bertanya kepada orang yang
ada di situ. Jika tidak ada orang lain di situ maka ia menghadap ke arah
yang menurut dugaannya adalah arah kiblat lalu shalat. Dan tidak ada
kewajiban mengulangi shalatnya bila ternyata arahnya salah. Sebagaimana
halnya orang yang normal penglihatannya berijtihad menentukan arah
kiblat ketika dalam perjalanan kemudian ternyata ijtihadnya keliru,
tidak ada kewajiban baginya mengulangi shalat. Wallahu a’lam.
Cara Shalat bagi Orang Bisu
Tanya: Haruskah orang yang bisu menggerak-gerakkan bibirnya ketika membaca Al-Fatihah di dalam shalat?
Jawab:
Ia
harus mempelajari bacaan Al-Qur’an yang wajib dibaca dalam shalat. Jika
ia tidak mampu, maka ia harus berusaha berdzikir, membaca Al-Qur’an dan
berdoa dalam hatinya. Ia juga harus menggerak-gerakkan kedua bibirnya
semampunya ketika membaca. Jika tidak dapat dipahami maka cukup dengan
niat dan menghadirkan bacaan tersebut di dalam hati yang akan terlihat
dari kekhusyukannya, ketundukkannya dan ketenangan seluruh anggota
tubuhnya di dalam shalat sebagaimana halnya orang lain.
Sakit Mata dan Sujud
Tanya:
Bagaimanakah tata cara shalat orang yang sakit kedua matanya. Ia telah
menjalani operasi mata, ia tidak mampu mencucinya dengan air dan tidak
mampu sujud. Kami mohon pengarahan anda untuknya, semoga Allah
menetapkan kebaikan bagi anda!
Jawab:
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Jika aku memerintahkan kalian untuk mengerjakan sesuatu perkara maka lakukanlah menurut kemampuan kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Berdasarkan
kedua nash di atas maka seorang yang sakit boleh mengerjakan shalat
menurut kemampuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah
berkata kepada Imran radhiyallahu ‘anhu:
“Shalatlah dengan
berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu
juga maka shalatlah dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari)
Bagi yang
tidak mampu membasuh matanya dengan air karena baru saja menjalani
operasi maka ia cukup membasuh bagian bawah matanya dan membasuh bagian
yang mampu dibasuh. Jika ia tidak mampu sujud, maka ia boleh
menggantinya dengan berisyarat. Jika ia tidak mampu ruku’ dan sujud maka
ia boleh menggantinya dengan isyarat dalam keadaan berdiri dengan
membungkukan sedikit punggungnya. Lalu bangkit kemudian duduk dan ia
boleh mengganti sujud dengan berisyarat. Demikianlah ia lakukan sehingga
Allah memberinya kesembuhan dengan izin-Nya.
Sakit Punggung dan Shalat
Tanya:
Seorang menderita sakit pada punggungnya. Para dokter mengatakan bahwa
ia harus terus berbaring telentang di atas tempat tidur selama sebulan
atau lebih. Bagaimanakah caranya mengerjakan shalat dalam kondisi
seperti ini?
Jawab:
Apabila ia merasa
kesulitan berdiri dan duduk ia boleh shalat dengan berbaring. Jika tidak
mampu juga maka ia boleh shalat dengan telentang, hendaklah ia berniat,
bertakbir, membaca Al-Qur’an, kemudian ruku’, sujud, berdiri dan duduk
dengan berisyarat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidurnya sebab
ia berhalangan dan harus tetap berbaring. Wallahu a’lam.
Pingsan Sebulan dan Shalatnya
Tanya:
Jika seorang muslim tidak sadarkan diri selama sebulan kemudian Allah
memberinya kesembuhan, maka bagaimanakah status shalat yang tertinggal
selama sebulan tersebut? Apakah wajib diqadha?
Jawab:
Tidak
ada kewajiban mengganti shalat yang terluput dalam rentang waktu yang
lama itu. Karena hal itu dapat menyusahkannya dan membuatnya jemu
beribadah. Akan tetapi hendaknya ia banyak-banyak melakukan shalat
sunnah dan ibadah-ibadah lainnya sebagai pengganti shalat-shalat yang
terluput selama ia tak sadarkan diri. Sebab pingsan dalam jangka waktu
yang lama serta kehilangan kesadaran dan pikiran sama statusnya dengan
orang yang kehilangan akal (gila). Orang gila tentunya tidak dikenai
kewajiban hingga ia waras sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi.
Haji bagi Orang yang Menggunakan Kaki Palsu
Tanya:
Ada seorang lelaki yang cacat kakinya. Ia menggunakan kaki palsu dan ia
harus mengenakan celana panjang untuk menutupinya. Apa yang harus
dilakukannya jika hendak menunaikan ibadah haji atau umrah (berkaitan
dengan kain ihramnya, -pent)? Sementara ia tidak bisa menanggalkan
celana panjang (berjahit) tersebut? Mohon penjelasannya semoga Allah
memberi berkah kepada anda.
Jawab:
Hal itu
termasuk udzur syar’i yang membolehkannya mengenakan celana berjahit.
Demikian pula menggunakan kaki palsu dan ia juga boleh mengenakan kaus
kaki untuk menutupi kaki palsunya itu. Ia juga boleh menggunakan khuff
(kasut kaki) atau sepatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah
mengizinkan hal tersebut jika memang dibutuhkan. Iamam Ahmad dan lainnya
meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkhutbah di padang Arafah,
beliau berkata dalam khutbahnya:
“Barangsiapa tidak mendapatkan
kain sarung hendaklah ia mengenakan celana, barangsiapa tidak memiliki
sandal hendaklah ia mengenakan khuff (kasut kaki).”
Jika saja
orang yang tidak memiliki kain sarung dan sandal boleh mengenakan celana
dan sepatu tentunya lebih dibolehkan lagi bila keadaannya darurat,
seperti orang-orang yang menggunakan kaki palsu. Namun demikian untuk
kehati-hatian hendaklah ia membayar fidyah karena melanggar larangan
haji, yaitu puasa tiga hari dan memberi makan enam orang fakir miskin
atau menyembelih seekor kambing sebagaimana fidyah orang yang mencukur
rambutnya sebelum waktunya karena sakit. Wallahu a’lam.
Thawaf di Kursi Roda
Tanya:
Seorang lelaki berusia senja jatuh sakit dan terpaksa ditandu untuk
mengerjakan thawaf dan menggunakan kursi roda untuk sa’i. Ia bertanya:
Apakah saya memperoleh pahala yang sama seperti orang yang mengerjakan
thawaf dengan berjalan?
Jawab:
Hendaklah ia
mengerjakan menurut kesanggupannya. Apabila ia tidak mampu mengerjakan
thawaf dan sa’i dengan berjalan, maka ia boleh ditandu dan ia memperoleh
pahala menurut niatnya dan menurut tingkat kesulitan yang dihadapi dan
harta benda yang telah dikeluarkannya. Dalam hadits disebutkan bahwa
jika seorang hamba sakit atau sedang bersafar maka akan ditulis baginya
pahala amal yang biasa dilakukannya sewaktu sehat dan mukim. Yakni orang
sakit yang tidak mampu mengerjakan shalat dan shaum akan ditulis
baginya pahala amal yang tidak mampu dikerjakannya karena sakit.
Demikian pula yang tidak mampu mengerjakannya karena safar. Wallahu
a’lam.
Kebutaan dan Ibadah Haji
Tanya:
Seorang lelaki menderita kebutaan karena usianya yang sudah lanjut. Ia
tidak lagi sanggup berdesak-desakkan untuk menunaikan ibadah haji, sebab
padatnya jamaah haji sekarang ini. Dan seorang wanita yang sudah lanjut
usia serta tidak baik kondisi kesehatannya juga tidak sanggup
berdesak-desakkan dengan orang lain. Pertanyaannya adalah bolehkah ia
memberangkatkan seseorang untuk menunaikan ibadah haji atas namanya?
Jawab:
Tidak
boleh mewakilkan haji wajib selama masih mampu secara jasmani maupun
secara finansial. Jika ia sudah mampu mengerjakan haji maka ia harus
pergi menunaikannya meskipun harus ditandu untuk mengerjakan thawaf dan
menggunakan kursi roda untuk mengerjakan sa’i. Meskipun ia harus wuquf
di atas tandu dan mewakilkan melempar jumrah kepada orang lain.
Ia
harus melakukan manasik haji yang mampu dilaksanakannya, seperti
talbiyah, mengenakan ihram, dzikir dan doa. Jika ia dalam keadaan sakit
dan harus berbaring di atas tempat tidur serta tidak bisa bangkit dan
tidak juga mampu naik turun kendaraan, maka ia boleh memberangkatkan
orang lain untuk menunaikan haji atas namanya, baik haji wajib maupun
sunnat.
Orang Tuli dan Kewajiban Beribadah
Tanya: Apakah orang tuli terkena seluruh kewajiban dan akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana orang yang normal?
Jawab:
Benar,
tentu saja ia terkena seluruh kewajiban. Sebab ia adalah mukallaf,
punya akal, bisa memahami dan punya panca indera. Pada umumnya orang
yang tidak punya pendengaran (alias tuli) masih bisa bertanya dan bisa
berkomunikasi lewat isyarat. Ia dapat menyaksikan orang lain mengerjakan
aktifitas ibadah, muamalah dan meninggalkan perkara haram. Ia juga
tertuntut mengerjakan kewajiban sebagaimana yang dilakukan oleh orang
lain itu yang mana ia mengetahui tata cara dan hukumnya. Tidak ada
satupun mukallaf yang mampu yang dikecualikan dalam hal ini.
Adapun
bila fungsi akalnya lemah sejak kecil sebelum ia dapat berbicara maka
inilah yang dinamakan orang bisu. Ia juga terkena kewajiban. Sebab Allah
telah memberinya akal yang dengan itu ia dapat memahami maksud dan
memberinya penglihatan yang dengan itu ia dapat membedakan dan
mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Ia dapat
memahami lewat bahasa isyarat. Ia juga mampu bertanya dan mempelajari
hukum-hukum serta dapat mengetahui kewajiban apa saja yang dituntut
darinya.
Ia juga dapat melihat orang lain dan meniru tata cara
ibadah yang mereka lakukan, seperti cara-cara bersuci, syarat-syarat
shalat, cara melaksanakan ibadah shalat, shaum, haji dan lain
sebagainya. Ia juga dapat meninggalkan perbuatan haram setelah ia
melihat orang lain menjauhi perbuatan itu atau melihat hukum yang
dijatuhkan atas orang yang melakukannya.
Maka ia tergolong
mukallaf sebagaimana halnya orang lain meski ia tidak bisa melakukan
beberapa perincian ibadah karena cacat yang dideritanya, seperti membaca
Al-Qur’an, membaca dzikir, doa dan lainnya.
Anak Cacat dan Shalat Berjamaah
Tanya:
Seorang laki-laki memiliki anak yang cacat. Setiap hari anaknya itu
pergi ke sekolah. Apakah ia wajib mengerjakan shalat berjamaah di masjid
setiap waktu? Sementara umurnya sudah lebih sepuluh tahun.
Jawab:
Jika
anak ini mengerti dan memahami pelajaran, serta mampu duduk dan
bergerak, maka ia wajib mengerjakan shalat jamaah di masjid, jika
usianya telah mencapai baligh, mampu bersuci, serta mengetahui tata cara
mengerjakan shalat. Orang tuanya berkewajiban membawanya shalat
berjamaah di masjid.
Adapun jika belum mencapai usia baligh, maka
ia tidak wajib memberikan pelajaran baik dengan perbuatan maupun
perkataan mengenai hukum-hukum shalat, bersuci dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
Dan jika ia berhalangan hadir ke masjid atau
berat baginya keluar masuk rumah hingga memerlukan orang yang membopong,
mendirikan dan mendudukannya, maka gugurlah kewajiban shalat berjamaah
di masjid sebagaimana orang sakit. Wallahu a’lam.
Sumber:
Fatawa-fatwa Seputar Pengobatan dan Kesehatan oleh Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al Jibrin (penerjemah: Abu Ihsan Al-Atsari), penerbit:
At-Tibyan, Solo.