Oleh: Jum'an Basalim
Kita selalu solat menghadap kiblat yaitu
kearah barat karena kita di Indonesia. Di Banyumas, Yogya dan Jakarta,
kota-kota yang paling lama saya tempati, kiblat saya tentu sama saja
yaitu ke barat. Tetapi menurut perasaan saya arah barat diketiga tempat
itu berbeda meskipun sama-sama mengarah ke terbenamnya matahari. Kalau
saya berpatokan kepada kiblat saya di Jakarta sekarang, maka di Banyumas
dulu rasanya saya solat menghadap keselatan sementara di Yogya
menghadap ke utara. Di Jakarta saja, di Kemayoran dan di Tanah Abang
arah baratnya berbeda. Tentu saja perbedaan perasaan itu dapat
diterangkan dengan jelas tetapi keterangan yang jelas sekalipun kalau
tidak masuk kedalam hati akan hambar rasanya. Seorang teman sekampung
saya yang sama-sama mengais rejeki di Jakarta bahkan mengatakan solatnya
di Jakarta tidak khusuk karena kiblatnya tidak terasa menghadap
kebarat. Beda dengan biasanya di Banyumas. Disana wajah dan hatinya
sama-sama menghadap kiblat. Meskipun selalu ada jalan untuk mencari arah
kiblat, suatu saat kita kita terpaksa mengandalkan perasaan untuk
menentukan kemana arahnya. Entah didalam perjalanan atau dipenginapan.
Biasanya saya putuskan: kalau dirumah, barat arahnya kesana... Saya
tidak tahu perantau dari daerah lain. Apakah kiblat mereka di Jakarta
terasa kebarat juga atau tidak.
Tiga anak muda dikantor
saya yang berasal dari Banyuwangi, Sleman dan Bekasi mengaku mempunyai
pengalaman yang sama.Tetapi karyawan lain asal Tanjung Balai Sumatra
Utara tidak faham ketika saya tanyakan apakah kiblat disana rasa-arahnya
sama dengan sekarang di Jakarta. Ia mengatakan bahwa disana orang tidak
pernah menggunakan mata angin untuk menunjukkan arah jalan atau letak
suatu tempat. Ketika suatu kali melancong ke Yogya, ia merasa frustrasi
karena setiap kali menayakan arah atau letak suatu tempat selalu
mendapat jawaban: dari sini terus ke timur atau disana disebelah selatan
Gedung Agung. Dia tidak mengerti karena tidak terbiasa menyebutkan arah
mata angin. Padahal di Jawa, kata saya, tidak tahu mana utara mana
selatan (ora weruh lor-kidul), merupakan ungkapan yang artinya orang
tersesat, tidak berpengetahuan atau linglung!
Di desa
dulu, kami sangat terbiasa menggunakan timur-barat atau utara-selatan
untuk menunjukkan letak dan arah. Kita biasa menyebutkan letak sesuatu
ada disebelah utara masjid, diselatan balaidesa atau menunjukkan arah
dengan terus ke timur nanti belok keselatan. Bahkan kami menggunakan
arah-arah sebagai ungkapan. Membujur keutara artinya mati; tidak pernah
menghadap kebarat artinya tidak pernah solat. Pertanyaan ketimur
dijawab kebarat artinya tidak nyambung. Kita juga akrab dengan arah
matahari untuk mengetahui waktu. Anak-anak sekolah yang masuk pagi,
masuk siang, petani pulang dari sawah, solat lohor, asar, berangkat
jum'atan semua dilakukan setelah menatap matahari lebih dahulu.
Dihalaman masjid biasanya dibangun jam matahari atau tongkat istiwa
untuk menunjukkan waktu solat berdasarkan peredaran matahari yang lebih
praktis ketimbang tiap kali harus mendongak keatas.
Karena
solat adalah kewajiban ummat Islam yang arah dan waktunya tertentu,
maka wajar bila sepanjang zaman kita selalu peduli dengan arah dan
waktu. Kita tidak akan bosan-bosan memperbincangkan tentang rukyah dan
hisab, kapan puasa dan kapan lebaran. Meskipun banyak orang mengeluhkan
tetapi saya menikmatinya………..