Oleh: Jum'an
Orang Amerika tetap memanggilnya President
Jimmy Carter meskipun sudah lama ia tidak menjabat sebagai presiden
Amerika lagi. Demikian pula dengan President Bush. Tetapi tidak demikian
halnya dengan B.J. Habibie. Beliau tidak boleh kita sebut presiden,
tetapi “mantan” presiden sebab yang presiden adalah SBY. Kecuali kelak
bila beliau (Habibie- semoga panjang umur) sudah meninggal; baru boleh
kita menyebutnya presiden Habibie lagi. Demikian pula dengan Bung Karno.
Kita menyebut presiden Suakarno hanya waktu beliau menjabat presiden RI
dan sesudah beliau meninggal. Entah karena begitulah bahasa Indonesia
yang baik dan benar atau budaya kita memang njlimet. Meskipun tidak ada
sebutan mantan haji, sebelum peristiwa wukuf di Arofah, siaran televisi
kita selalu menyebut "jamaah calon haji" bukan jamaah haji. Seolah-olah
menyebutkan Presiden Habibie sekarang berarti tidak mengakui kekuasaan
Presiden SBY. Dan menyebut haji sebelum wukuf berarti meremehkan jamaah
haji tahun sebelumnya. Seolah-olah salah besar untuk menyebutkan atribut
seseorang sehari sebelum manjadi haknya atau sehari sesudah bukan
haknya.
Dalam pidato Lahirnya Panca Sila, Bung Karno
mengatakan: "Ketika Dokuritsu Zunbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) akan bersidang, didalam hati saya banyak khawatir
kalau-kalau banyak anggota yang saya katakan dalam bahasa asing,
maafkan perkataan ini, zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil.
Zwaarwichtig sampai kata orang Jawa - njlimet. Kalau sudah membicarakan
hal-hal kecil sampai njlimet baru mereka berani menyatakan kemerdekaan!"
Dibagian lain beliau mengatakan:"......sampai lebur kiamatpun Indonesia
belum dapat merdeka!". Rupanya Bung Karno pun sudah menengarai bahwa
bangsanya suka njlimet. Sejak dulu sampai sekarang! Itulah sebabnya
semua perkara besar menjadi bias dan tak bisa dipilah-pilah lagi karena
dibicarakan sampai njlimet tanpa segera diambil keputusan yang jelas.
Seperti kata “mantan” Menteri Keuangan Orde Baru Fuad Bawazir, perkara
besar cukup digoreng-goreng saja lalu selesai.
Pernahkah
anda membayangkan Rasululloh SAW duduk bersila sambil kedua ibujari
tangannya ditekankan untuk menutup kedua lubang telinga, kedua jari
telunjuknya menekan kedua pelupuk mata untuk menutupnya, kedua jari
tengahnya memencet lubang hidung dari kiri dan kanan sedangkan jari
manis dan kelingkingnya menekan bibir atas dan bibir bawah semuanya
secara bersamaan? Rasanya belum pernah saya membaca atau mendengar kisah
seperti itu. Tetapi itulah sebagian ritual yang konon diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar salah seorang penyebar Islam ditanah Jawa pada abad ke
15. Dalam ajaran tarekat Syekh Siti Jenar dikenal konsep menyatunya
manusia dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti). Dalam hubungan itulah
ritual yang menurut ukuran orang awam njlimet dan ribet itu lahir. Untuk
memperoleh jalan menuju Alloh kita harus menutup sembilan lubang tubuh
kita yaitu mata, telinga, mulut, hidung, kelamin dan dubur dari maksiat,
dosa dan barang haram. Kalau Rasululloh saja tidak pernah melakukan
ritual seperti itu, mengapa harus njlimet dan ribet, padahal beliaulah
utusan Alloh yang benar?
Ada pilihan selain menjadi bangsa
yang njlimet dan ribet yaitu menjadi kaum sederhana dan seadanya.
Membahas perkara memang penting tetapi memngambil keputusan lebih
penting. Beribadah dengan khusyuk juga penting tetapi menutup 9 lubang
terlalu njlimet dan tidak sederhana. Menurut Jendral Colin Powell,
negarawan kulit hitam Amerika, “Para pemimpin besar hampir selalu
penyederhana besar, yang dapat memotong argumen, debat dan keraguan,
untuk menawarkan solusi yang dapat difahami setiap orang”. Begitu pula
Rosululloh dalam bayangan saya.