Oleh Irwan Masduqi
Penelitian
tentang asal-usul sistem pendidikan pesantren telah dilakukan oleh
banyak pakar. Amir Hamzah Wirjasukarto dan Soegarda Poerbakawatja
menyatakan bahwa asal-usul pesantren jika dilihat dari bentuk dan
sistemnya adalah dari India. Sebelum terjadinya Islamisasi di Indonesia,
sistem pesantren telah digunakan untuk lembaga pendidikan Hindu di
Jawa. Setelah Islam diterima di Jawa, lambat-laun sistem Hindu tersebut
diadopsi oleh Islam. Pendapat ini berdasarkan pada alasan terminologis
bahwa istilah pondok, pesantren, dan ngaji tidak berasal dari bahasa
Arab, tetapi dari bahasa India. Pendapat ini disangkal oleh Karel A.
Steenbrink dengan alasan karena sistem ala pesantren sebetulnya bisa
ditemui di dunia Arab, antara lain Baghdad. Istilah pondok pun
kemungkinan berasal dari istilah Arab funduk yang artinya
pesanggrahan atau asrama. Dengan alasan ini Steenbrink berpendapat bahwa
pesantren berasal dari Arab, meskipun unsur-unsur lokal sangat mewarnai
dalam proses asimilasinya.[1]
Tanpa mengurangi
urgensitas penelitian asal-usul pesantren dari aspek terminologis,
penulis akan mengkaji asal-usul pesantren dari aspek epistemologis.
Dengan menggunakan pembacaan epistemologis, maka kerangka berpikir dunia
pesantren akan dapat dipahami secara holistik. Pendekatan ini
memunculkan sejumlah pertanyaan; apa itu pengetahuan menurut dunia
pesantren? Bagaimana pengetahuan itu diperoleh oleh para santri? Dan
bersumber dari manakah pengetahuan itu? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini diperlukan analisis historis terkait proses
transmisi keilmuan pesantren dari dunia Arab. Hal ini tidak dapat
diabaikan sebab sejarah kemunculan pesantren dan kurikulumnya tidak bisa
dilepaskan dari dinamika pemikiran di dunia Islam pada umumnya. Inilah
alasan mengapa pesantren dinilai sebagai sebuah lembaga pendidikan yang
unik dan paradoks. Dalam satu aspek, pesantren merupakan lembaga
pendidikan tradisional yang ada di Indonesia, namun, dalam aspek lain,
pesantren memiliki orientasi ideologis trans-nasional yang terkait
dengan peta pemikiran yang berkembang di Arab.
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang kurikulumnya mengacu pada tradisi
pemikiran Islam yang berkembang dalam kebudayaan Arab-Islam. Para ulama
besar di Indonesia mengambil ilmu-ilmu yang bersumber dari Makkah dan
Madinah yang merupakan pusat Islam. Mereka melakukan ekspedisi spiritual
dan intelektual ke kantong-kantong keilmuan Islam dan menjadi media
yang menghubungkan antara tradisi pemikiran Arab-Islam dengan tradisi
Islam di Indonesia yang masih dalam fase formatif (‘ashr al-takwin).
Transmisi keilmuan Arab-Islam ke Indonesia tersebut pada mulanya
terjadi sekitar abad ke-16 M, sebuah periode dimana kebudayaan
Arab-Islam telah mengalami fase kemunduran (‘ashr al-inhithath)
sejak abad ke-12 M. Sebagian besar produk kitab yang muncul pada era
kemunduran merupakan komentar atau elaborasi karya sebelumnya (syarh), resume atas komentar yang panjang (mukhtashar),
penggabungan teks-teks yang terpisah tetapi saling berkaitan tanpa ada
upaya sintesis, penataan ulang teks-teks yang masih simpang-siur, dan
penyimpulan dari premis-premis yang telah dibangun oleh ulama pendahulu.
Kebanyakan karya-karya yang berkembang pada masa ini merupakan produk
pembacaan repetitif atau pengulang-ulangan (qira’ah al-tikrar) atas capaian para ulama terdahulu, bukan pembacaan produktif inovatif (qira’ah al-muntijah). Oleh karena itu, Kenneth E. Nollin menyebut karya-karya ulama pada masa ini sebagai “corpus of conservative tradisionalism”.[2]
Corpus of conservative tradisionalism
ini kemudian dibakukan menjadi kurikulum pesantren. Kalangan pesantren
menyebutnya “kitab kuning” karena bahan dasar kertasnya berwana kuning.
Kitab kuning yang diterima di kalangan pesantren adalah hasil seleksi
yang ketat berdasarkan kerangka ideologis Sunni yang dilakukan oleh
ulama Indonesia, sehingga kitab kuning cakupannya sangat sempit jika
dibandingkan dengan cakupan istilah turats. Turats
mencakup semua peninggalan intelektual ulama klasik dan skolastik, baik
dari sekte Sunni, Mu’tazilah, maupun Syiah.[3] Namun kitab kuning
cakupannya hanya pada kitab-kitab Sunni, bahkan lebih sempit lagi hanya
mencakup madzhab empat dalam bidang fikih, Asy’ariyah dan Maturidiyah
dalam bidang akidah, dan tasawuf al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan Abd
al-Qadir al-Jilani. Corpus of conservative tradisionalism yang
diterima oleh pesantren pun kebanyakan bukanlah karya-karya primer,
melainkan karya sekunder yang ditulis oleh para komentator madzhab.
Dalam bidang fikih, karya-karya yang dikaji bukanlah Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah atau al-Umm karya al-Syafi’i, melainkan Fath al-Qarib karya Ibn al-Qasim, al-Mahali karya al-Qulyubi dan Umayrah, Fath al-Wahab karya Zakaria al-Anshari, Fath al-Mu’in
karya Zainudin bin Abd al-Aziz al-Malibari, dan lain-lain yang notabene
merupakan karya-karya periode kemunduran. Dalam bidang akidah, karya
primer seperti al-Ibanah karangan al-Asy’ari dan al-Tauhid karangan al-Maturidi sangat jarang dikaji. Yang sering dikaji justru karya sekunder seperti Umm al-Barahin
karya al-Sanusi. Diterimanya karya-karya sekunder secara luas di
pesantren ini menunjukkan bahwa transmisi keilmuan Arab-Islam ke
Indonesia lebih mengacu pada produk periode kemunduran ketimbang produk
periode keemasan Islam (al-‘ashr al-dzahabi).
Selain
merujuk pada khazanah Islam di kota-kota suci Hijaz, transmisi keilmuan
Islam di Indonesia juga terpengaruh oleh dinamika pemikiran Islam yang
berkembang di India. Martin Van Bruinessen memberikan contoh bahwa
besarnya pengaruh tarekat Syatariyah dan popularitas berbagai adaptasi
tasawuf-falsafi wahdah al-wujud Ibn Arabi menunjukkan adanya
pengaruh dari India, namun pengaruh itupun masuk ke Indonesia melalui
ulama India yang mengajar di kota-kota Hijaz.[4] Hanya saja model
tasawuf falsafi Ibn Arabian ini kemudian mendapatkan resistensi yang
kuat di kalangan pesantren akibat pengalaman historis Siti Jenar,
penganut tasawuf-falsafi, yang dieksekusi oleh ulama Demak yang mewakili
otoritas formalisme syariat. Sebagai alternatif, tasawuf-‘amali
ala al-Ghazali dan Abd al-Qadir al-Jilani lebih diapresiasi di kalangan
pesantren. Ulama-ulama nusantara sendiri banyak memberi kontribusi
dalam pengkayaan kitab kuning yang dikaji di pesantren saat ini, seperti
Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudh Termas, Syaikh Ihsan Jampes,
Syaikh Yasin Padang, dan lain-lain.
Kitab kuning yang dikaji di pesantren tersebut hampir semuanya merupakan ilmu-ilmu yang berbasis pada epistemologi bayani dan ‘irfani. Episteme bayani
adalah sistem pengetahuan eksplikasi dalam bidang bahasa, fikih, ushul
fiqh, kalam, dan balaghah. Sistem eksplikasi muncul dari teori-teori
penafsiran teks-teks al-Quran dan hadits. Karakteristik episteme
eksplikasi secara umum menggunakan metode analogi. Para ahli hukum dan
nahwu menyebutnya dengan istilah Qiyas, para teolog menyebutnya dengan al-istidlal bi al-shahid (=far') 'ala al-ghaib (=ashl), sementara ahli balaghah memilih istilah al-tasybih. Sedangkan episteme ‘irfani adalah sistem pengetahuan gnostik dalam bidang tasawuf. Epistemologi kitab kuning di pesantren menganut bayani dan ‘irfani dalam arti yang sempit; sistem bayani dibatasi pada ilmu-ilmu tekstual Sunni, sementara sistem ‘irfani dibatasi pada tasawuf-amali sehingga pesantren menolak tasawuf-falsafi ala Ibn Arabi.[5]
Dengan demikian maka epistemologi pesantren adalah berbasis pada bayani dan ‘irfani, karena kitab kuning yang dianggap otoritatif dan terpandang (kutub mu’tabarah) lebih mengacu pada disiplin ilmu al-naqliyyah dan al-isyariyyah (tasawuf). Pesantren tradisional kurang mengapresiasi, bahkan ada resistensi, terhadap disiplin ilmu-ilmu rasional (‘ulum al-‘aqliyyah) dan empirik (‘ulum al-tajribiyyah). Satu-satunya ilmu rasional yang terima hanyalah ilmu logika (mantiq) yang berasal dari syllogism Aristoteles. Diterimanya mantiq ini berkat lisensi yang diberikan oleh al-Ghazali. Ia mengkafirkan para filosof Yunani dalam Tahafut al-Falasifah, namun dalam al-Mustasfa ia tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada mantiq. Lisensi itu diungkapkannya dalam sebuah statemen; “Seseorang yang tidak memahami mantiq
maka ilmunya tidak bisa dipercaya”.[6] Berkat lisensi al-Ghazali inilah
akhirnya logika Yunani diterima secara luas di kalangan pesantren.
Salah satu kitab mantiq yang secara luas dikaji di pesantren adalah Syarh} Idhah al-Mubham karya al-Damanhuri. Fakta ini menunjukkan bahwa pesantren tidak terbuka menerima episteme burhani secara luas yang mencakup ilmu-ilmu rasional dan empirik, kecuali hanya secara parsial mengajarkan mantiq.
Berdasarkan episteme bayani dan ‘irfani
yang dianut oleh pesantren, maka karya-karya filsafat Ibn Rusyd,
al-Kindi, al-Farabi, dan lain-lain dilarang dikaji di pesantren. Karya
Ibn Rusyd yang terima di pesantren hanyalah Bidayah al-Mujtahid dalam bidang fikih. Namun Fashl al-Maqal yang berisi upaya harmonisasi antara syariat dan filsafat maupun al-Kasyf ‘an Manahij Adilah
yang mengkritik metode Asy’ariyah dalam bidang teologi kurang mendapat
penghargaan. Tidak diapresiasinya karya-karya filsafat di pesantren ini
disebabkan beberapa faktor; pertama, pada abad kemunduran
kebudayaan Arab-Islam, pemikiran rasional dan empirik tidak tersebar di
Arab-Timur, tak terkecuali di kota-kota Hijaz. Yang tersebar secara luas
dalam kebudayaan Arab-Timur adalah ilmu-ilmu agama yang berbasis pada
episteme bayani dan ‘irfani. Hal ini berbeda dengan di
Andalusia, Granada, Sevila, dan kota-kota Arab-Barat (Maghrib) dimana
pemikiran rasional-empirik berkembang luas.[7] Pemikiran Islam
rasional-empirik lebih banyak berkembang di Arab-Barat dan berpengaruh
di Eropa sebelum Abad Pencerahan ketimbang di dunia Arab-Timur. Peta
pemikiran Arab ini menjelaskan kepada kita bahwa mayoritas khazanah
keilmuan Islam di pesantren ditransmisikan dari pemikiran yang
berkembang di Arab-Timur ketimbang Arab-Barat. Jikalau ada sejumlah
kitab kuning karya ulama Andalusia, Granada, Sevila, dan Arab-Barat yang
diterima di pesantren, maka karya itu terbatas pada bidang nahwu dan
fikih, seperti Alfiyah karya Ibn Malik dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd yang telah diterima di Arab-Timur; kedua,
pengkafiran al-Ghazali terhadap para filosof dianggap sebagai kebenaran
mutlak oleh ulama tradisional, sehingga mereka tidak sudi
mempertimbangkan pembelaan Ibn Rusyd terhadap para filosof dari kritikan
al-Ghazali. Di mata ulama tradisional, al-Ghazali adalah Hujjah al-Islam yang lebih berwibawa dan disegani ketimbang Ibn Rusyd.
Kritik
al-Ghazali terhadap para filosof ini mengakibatkan dampak besar di
kalangan pesantren tradisional dimana sebagian besar menolak
rasionalisme dan empirisisme. Akibatnya, kurang ada penghargaan dari
pesantren tradisional terhadap ilmu-ilmu metafisika Aristotelian,
sosiologi, psikologi, kosmologi, kimia, kedokteran, dan lain-lain.
Pesantren secara tak terelakkan kemudian tergiring pada paradigma
fikihisme dan sufisme yang ahistoris. Mitos tampak mengalahkan logos.
Teks lebih superior dibandingkan dengan akal. Kajian-kajian fikih dalam
forum Bahtsul Masail pun terasa kering dari analisis sosiologis,
psikologis, dan medis. Tak diragukan lagi bahwa para santri mampu
memahami produk-produk hukum fikih klasik, namun—diakui atau
tidak—mereka gagap ketika harus mendialogkannya dengan realitas
kontemporer yang kompleks. Konsekuensinya, problem-problem realitas
sosial dipaksa tunduk di bawah norma-norma teks klasik yang sejatinya
muncul untuk konteks sosio-kultural masa lalu.
Melihat
kesenjangan antara tradisionalisme dengan kemajuan zaman saat ini,
bukan mustahil muncul gagasan-gagasan yang ingin mendorong terjadinya
pergeseran paradigma pesantren ke arah yang rasionalistik dan empirik.
Pesantren diharapkan menanamkan benih-benih inklusivisme sehingga mampu
membuka diri dari ilmu-ilmu rasional-empirik. Hal ini merupakan langkah
krusial apabila pesantren ingin menyelaraskan peran vitalnya dengan
semangat zaman. Selain mengapresiasi episteme bayani dan ‘irfani, pesantren diharapkan sudi mengapresiasi episteme burhani
agar terjadi keseimbangan yang dinamis antara teks, hati, akal, dan
realitas sosial empirik. Keseimbangan ini merupakan komposisi pemikiran
yang mampu menjawab pertanyaan para sarjana muslim Arab modern, limadza taakhkhara al-muslimun wa taqaddama al-gharbiyyun?;
kenapa umat muslim tertinggal, sementara Barat maju? Umat muslim
tertinggal karena kuatnya cengkraman tradisionalisme yang mengabaikan
ilmu-ilmu rasional-empirik, sementara modernitas Barat dicapai melalui
rasionalisme dan empirisisme. Namun hal ini bukan berarti bahwa upaya
modernisasi pemikiran pesantren tradisional harus meniru seutuhnya
modernitas Barat. Thaha Abdurahman, pemikir Maroko yang cukup ternama
saat ini, mengusulkan bahwa modernisasi pemikiran tradisional Islam
harus berdasarkan pada rasionalisme-etis (al-‘aqlaniyyah al-akhlaqiyyah).[8]
Di sinilah kita perlu menyadari pentingnya keseimbangan pemikiran
pesantren yang berbasis pada teks, hati, akal, dan realitas empirik agar
pesantren mampu menjawab tantangan-tantangan zaman secara dialogis.
Yogyakarta, 18 November 2011
[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 20-22.
[2] Kenneth E. Nollin, The al-Itqan and Its Sources: A Study of Itqan fi 'Ulum al-Qur'an by Jalal al-Din al-Suyuthi with Special Reference to al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an by Badr al-Din al-Zarkasyi
(Disertasi di Hartfor Seminary Foundation, USA, 1968, disadur dan
dikritisi oleh Ilham Saenong, Jurnal Studi Al-Quran, vol. I, No. I,
Januari, 2006), hlm. 153.
[3] Abed al-Jabri, Nahnu wa Turats (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. II, 1999), hlm. 16-18. Bandingkan dengan Abed al-Jabri, al-Turath wa al-Hadatsah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. III, 2006), hlm. 15-33.
[4] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Penerbit Mizan, cet. 1, 1995), hlm. 23.
[5]
Di dunia Arab kontemporer, Mohammed Abed al-Jabri merupakan pemikir
yang mengenalkan analisis epistemologis ini untuk mengkaji peta
pemikiran Arab-Islam. Penulis mencoba mengaplikasikannya untuk membaca
epistemologi pesantren. Lihat Abed al-Jabri, Takwin al-'Aql al-'Arabi (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VIII, 2002). Bandingkan Abed al-Jabri, Binyah al-'Aql al-'Arabi (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VIII, 2004).
[6] Al-Damanhuri, Syarh Idhah al-Mubham (Surabaya: Hidayah), hlm. 5.
[7]
Klasifikasi Arab-Timur (Masyriq) dan Arab-Barat (Maghrib) ini mengacu
pada batas kebudayaan maupun geografis. Mashriq secara umum mencakup
wilayah negara-negara Arab di sebelah timur Mesir dan utara Semenanjung
Arab. Masyriq mengacu pada area yang luas di Timur Tengah, dibatasi
antara Laut Mediterania dan Iran. Sedangkan Maghreb, yang berarti
“Barat”, merujuk pada negara-negara berbahasa Arab di sebelah Barat
Afrika Utara. Mesir menempati posisi ambigu karena memiliki ikatan
budaya, etnis dan linguistik dengan Mashriq dan Maghrib, namun Mesir
dianggap lebih lekat dengan budaya Mashriq.
[8]http://www.arabphilosophers.com/Arabic/aphilosophers/acontemporary/acontemporary-names/Taha_Abdulrahman/Arabic_Article_Abdulrahman/Arabic_Article_Abdulrahman.htm